Impact of Excise to Retail Price of Cigarettes Case Study of Excise System Comparison in Indonesia for the Period of 2005-2010

vol 17 no.3 Kajian Ekonomi dan Keuangan (2013) by nasruddin djoko surjono

This paper analyzes the impact of implementation of ad valorem , hybrid and specific excise system periods to tobacco price. The main hypothesis HO i.e. there is no difference impact of implementation of ad valorem , hybrid and specific system period to the price. The research question is to answer what fraction of excise is passed on to consumers in each excise systems period and which one of excise system periods has the greatest negative impact on price, which is important to know, when country makes choice on appropriate excise system policy in order to reform their excise system for tobacco control. Monthly data production from 2005-2010 is explored in order to estimate tax incidence in Indonesia. In this period Indonesia has implemented ad valorem , hybrid and specific excise system consecutively. With brands consumption data in Indonesia, the model analyzes by including burden of excise in each excise system in the model. The estimation result of tax incidence model indicates that during government implement specific excise system, the impact of increasing excise is relative higher to the price.

Impact of Excise to Retail Price of Cigarettes Case Study of Excise System Comparison in Indonesia for the Period of 2005-2010

Impact of specific excise rate simplification on cigarette consumption and government revenue in Indonesia

World Customs Journal. Volume 10, Number 1 97.2016

Ade Hidayat and Nasruddin Djoko Surjono

Abstract : This study estimates the impact of excise tariff simplification on cigarette consumption and government revenue. In addition, the study compares the ‘simplification’ case with the ‘no simplification’ case. Several estimation models using unbalanced and sub-balanced panel data, random effect maximum likelihood estimation (MLE) and panel-corrected standard errors (PCSE) are explored to estimate the impact. The results indicate that tariff simplification has a greater impact on raising cigarette prices, reducing consumption, and increasing government revenue than regularly increased excise rates. The greatest impact can be seen in cigarettes produced by large companies and white cigarette machine-made product. The results also suggest that cigarette excise taxes are ‘under-shifted’ to consumers and that producers bear some of the tax burden.

Conclusions Based on the above analyses, the following conclusions can be made:

1. Simplification of a specific excise (tax) rate has a higher impact on raising the prices than the usual rate increase.

2. Increasing the specific excise has the greatest effect in raising prices on tobacco products produced by large manufacturers. The large manufacturers group (Group I/Gol I) is a group of manufacturers that have a production capacity exceeding 2 billion cigarettes per year.

3. The empirical model on tax incidence analysis shows under-shifting, where producers tend to raise prices under the tax increase. This means that producers bear most of the burden of excise.

4. The level of cigarette consumption due to cigarette prices affected by simplification is generally smaller than the consumption of cigarettes which do not undergo simplification of excise rate.

5. Simplification of the tariff structure significantly raises the price and reduces the consumption of White Cigarettes Machine Made (SPM), while it has no effect on consumption of Clove Cigarettes Hand Made (SKT) and even raises this kind of cigarette consumption, likely due to SPM consumers ‘switching’ to this cheaper category of product. SKT is a unique Indonesian tobacco product.

6. Demand for three types of cigarettes—SKM, SKT and STF—is inelastic so it is appropriate to apply the high excise rate to optimise the government revenue from the tax.

7. Simplification of the tariff structure generally has a greater impact on revenue increase than nonsimplification.

 

 

Impact of specific excise rate simplification on cigarette consumption and government revenue in Indonesia

Apakah Penghapusan Pajak Bumi dan Bangunan Adalah Alternatif Terbaik?

Beberapa gagasan kebijakan populis saat ini tengah digulirkan antara lain wacana penghapusan PBB. Ide ini dimulai dari Kementrian Agraria dan Tata Ruang. Kebijakan yang rencananya akan berlaku pada bangunan pribadi atau non komersil dan tempat tinggal. Beberapa pejabat negara menyampaikan bahwa gagasan ini adalah pro rakyat yang tidak mampu. Alasan tersebut mengemuka bagaimana tidak, sebagai contoh seorang nenek tinggal di kota tergusur hanya karena tidak mampu membayar PBB yang makin lama makin tinggi. Kebijakan ini juga tentunya akan mempermudah persyaratan di sektor perumahan dan pertanahan khususnya sektor properti jelas akan mendukung dengan rencana ini.

Saat ini kalau seseorang melakukan pembelian rumah akan terkena pembayaran PBB dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Rencana penghapusan PBB bertujuan untuk meringankan beban masyarakat saat membeli rumah. Dengan penghapusan ini idenya pembayaran hanya dilakukan satu kali bukan pemajakan yang dilakukan setiap tahun. Rencana penghapusan ini terkait dengan Nilai jual obyek pajak (NJOP) memang sudah saatnya ditata dan diperbaiki dengan menyesuaikan kondisi pasar tanah dan bangunan. NJOP perlu diganti dengan harga patokan yang lebih jelas. Namun, kebijakan ini bisa membebani pembeli properti. Sebab pemerintah daerah bisa saja semena-mena menetapkan pungutan baru dan besaran tarifnya.

Munculnya ide penghapusan tersebut adalah wajar saja dimana banyak masyarakat mengeluh akibat terkena dampak kenaikan PBB. Pada dasarnya setiap warga negara kalau bisa tidak perlu membayar pajak, namun pembiayaan pembangunan pemerintah dari mana sumbernya? Bagaimana bisa membangun infrastruktur tanpa dukungan dana masyarakat. Dilain sisi target pendapatan pajak naik menjadi sekitar 1484 triliun tahun 2015.

Pemerintah Pusat bisa saja menyampaikan bahwa penghapus PBB tidak akan berdampak besar pada penerimaan negara. Sebab, pemerintah pusat sudah melimpahkan pengelolaan PBB ke pemerintah daerah sejak 1 Januari 2014 setelah BPHTB terlebih dulu dilimpahkan pada 1 Januari 2011. Pelimpahan kedua jenis pungutan itu dilakukan berdasarkan pada UU Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Argumentasi pengalihan PBB Perdesaan dan perkotaan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah pada waktu itu bertujuan untuk meningkatkan local taxing power pada kabupaten/kota. Karena keberadaan PBB ini akan memperluas objek pajak daerah dan retribusi daerah, menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah, memberikan diskresi penetapan tarif pajak daerah, dan menyerahkan fungsi pajak sebagai instrumen dan pengaturan pada daerah.

Jika dihapus maka akan berakibat kerugian penerimaan negara dalam hal ini pemerintah daerah (dari pemberitaan media), untuk pemerintah DKI akan kehilangan sekitar Rp 13 triliun dan  Tangerang sekitar  Rp 319 miliar, bukan jumlah yang sedikit bagi Pemda untuk memperoleh pendapatan sebesar itu. Sehingga meski tidak berpengaruh pada penerimaan pusat, namun hal ini jelas akan mempengaruhi dana pusat yang nantinya akan ditransfer ke daerah.

Prinsip Desain Pajak

Desain pajak memiliki prinsip yakni keadilan, efisiensi, simple, sustainable dan kebijakan yang konsisten. Memenuhi rasa keadilan yakni memperlakukan individu yang memiliki kapasitas ekonomi yang sama diperlakukan secara sama. Apakah seorang nenek miskin berada di tengah kota dengan lahan yang luas adalah adil dipajaki tinggi? Hal ini memang terus mengundang perdebatan prinsip keadilan, dimana ada yang berpandangan bahwa memang sudah layak nenek miskin untuk dibebaskan PBBnya namun di sisi lain ada yang berpandangan bahwa kondisi keberadaan ibu tua tersebut seyogyanya berada di pinggir kota, agar tanah yang ditengah kota tersebut dapat dimanfaatkan oleh para pengusaha muda yang lebih efisien dalam mengembangkan usahanya untuk kegiatan yang lebih produktif.

Prinsip efisiensi yakni pungutan yang dilakukan akan diredistribusikan pada kegiatan ekonomi yang efisien dan administrasi pungutan yang biayanya murah. Simple artinya mudah dipahami dan dipatuhi dimana sistemnya dilakukan secara transparan. Sustainable artinya  sistem tersebut berlangsung berkesinambungan dan prinsip terakhir konsistensi yang artinya kebijakan tersebut tidak menabrak kebijakan yang lain. Kebijakan pembebasan PBB tentunya akan menabrak kebijakan penerimaan pemda dalam upaya memungut pendapatan daerahnya. Ketika pendapatan daerah tidak tercapai akhirnya pemerintah pusat yang harus menalanginya.

Posisi dana yang ada di masyarakat Indonesia terlihat sebagaimana tabel dibawah. Potensi pajak di Indonesia terbanyak pengenaannya ada di cash and cash equivalen kurang lebih 27%, kemudian di real estate kurang lebih 21%. Sehingga real estate merupakan potensi pajak yang harusnya menjadi sumber penerimaan yang sustainable apabila dikelola dengan baik.

pbb

https://www.worldwealthreport.com/apwr/reports/asset_allocation/asia_pacific/indonesia

Alternatif Solusi

PBB pada dasarnya bisa digunakan oleh Pemda sebagai instrumen fiskal daerah untuk meningkatkan perekonomiannya. Sebab, Pemda akan menerima sepenuhnya penerimaan pajak tersebut. Hal ini berbeda ketika ketika PBB masih dikelola pemerintah pusat, pemda hanya menerima bagian sebesar 64,8 persen. Selain itu, di dalam UU PDRD, hanya membolehkan pemda mematok tarif PBB maksimal 0,3 persen dan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) paling rendah Rp 10 juta.

Sebenarnya kebijakan populis tidak harus menghapuskan seluruh PBB sebagaimana usulan dari pemerintah pusat, mengacu pada UU 28/2009 otoritas itu saat ini berada di Pemda, Pemda juga berhak untuk tidak memungut PBB. Jika, berdasarkan perhitungan, biaya pemungutan akan lebih besar dibandingkan penerimaan yang akan diperoleh. Sebelum memungut, Pemda juga perlu mennyiapkan perangkat hukum, sumber daya manusia, Struktur organisasi dan tata kerja, sarana dan prasarana, pembukaan rekening penerimaan, dan lainnya. Kebijakan populis melindungi orang miskin tetap dilakukan dengan cara mengecualikan kebijakan pajak terhadap nenek miskin yang tinggal di tengah perkotaan. Kebijakan ini bisa diselesaikan melalui pengecualian yang dilakukan oleh Pemda atau lewat cara lain dimana pajak tetap dipungut namun si miskin diberi bantuan belanja tunai lewat program pemberantasan kemiskinan. Sehingga penerimaan tetap sustainable dan kebijakan pro poor juga terus berjalan.

Apabila alasan penghapusan PBB adalah karena NJOP nilainya tidak sesuai dengan harga tanah sebenarnya bisa saja tarif pungutannya diubah dari tarif ad valorem menjadi tarif spesifik, yakni pungutan PBB per meter dengan nilai rupiah tertentu.

Apakah Penghapusan Pajak Bumi dan Bangunan Adalah Alternatif Terbaik?

Ketidakstabilan Kurs Rubbel, Dampak terhadap Rupiah dan Alternatif Solusi

Seberapa kokoh pondasi suatu negara, bisa dilihat dari symptom stabilitas mata uangnya…struktur sistem keuangan global memang perlu terus dicermati karena “pertempuran (sentimen rubel vs dollar) itu” sedang dimulai…..Solusi  Taxing capital outflow dan Dorong export.

Ekonomi Rusia saat ini tengah mengalami kesulitan dalam beberapa bulan terakhir. Nilai rubel turun drastis sebanyak 19 persen dalam 24 jam terakhir, penurunan terburuk bagi rubbel dalam 16 tahun terakhir. Tekanan terhadap perekonomian rusia akibat tiga hal yakni, pertama, jatuhnya harga minyak, dan kedua adalah adanya sanksi ekonomi ke Rusia karena Kasus Crimea. Ketiga, dari sisi Industri minyak dan gas menghasilkan sekitar setengah dari pendapatan Rusia, jadi ketika harga minyak dunia jatuh dari $ 110 per barel awal tahun ini menjadi US $ 60, kondisi ini menekan pertumbuhan perekonomiannya. Di lain sisi sanksi yang dikenakan oleh Eropa dan Amerika Serikat dirancang untuk menghukum perusahaan Rusia atas tindakan Presiden Vladimir Putin di Ukraina, tentunya hal ini semakin memperburuk kinerja perekonomian Rusia.

Ketidakstabilan kurs mata uang rubbel akhir-akhir ini menimbulkan banyak kepanikan bagi investor. Ketakutan pedagang dan investor untuk mendapatkan uang atau aset  membuat mereka keluar dari Rusia. Sehingga Bank Sentral Rusia berusaha untuk mengintervensi kecenderungan ini, dengan menggunakan cadangan devisa untuk intervensi pasar dengan membeli rubbel dan mengumumkan kenaikan tingkat suku bunga. Dalam teori makro ekonomi jika Bank sentral menaikkan  suku bunga, maka investor diharapkan akan menyimpan uang mereka dalam bentuk rubbel. Namun untuk sementara ini langkah tersebut masih kurang kredibel dalam meyakinkan investor agar menyimpan uang mereka dalam bentuk rubbel.

Ketika perekonomian rusia makin terpuruk, maka mata uang melemah dan terjadi  kontraksi dalam pertumbuhan perekonomian dan inflasi meningkat tajam oleh karena itu selain langkah kebijakan ekonomi, Rusia perlu mengambil langkah-langkah untuk meyakinkan Eropa dan Amerika Serikat agar memperlunak sanksi ekonomi. Upaya ini perlu dilakukan guna  membendung kepanikan dan juga menawarkan solusi manfaat ekonomi yang konkret. Untuk melakukan itu, Rusia harus secara dramatis menarik kembali aktivitas militer di Ukraina walaupun rasanya sangat tidak mungkin.

Ukraina negara yang berbatasan dengan Uni Eropa dan Rusia. Ukraina menjadi wilayah yang dilewati saluran pipa gas ke Eropa, memiliki industri energi dan senjata. Ukraina menjadi penting bagi USA-Uni Eropa dan Rusia. Manfaat Ukraina bagi USA-Uni Eropa adalah sebagai negara penyangga (buffer state) dalam menghadapi pengaruh politik Rusia. Ukraina berbatasan dengan Polandia yang sudah terlebih dahulu masuk dalam Uni Eropa dan aktif sebagai anggota Nato. Jika Ukraina jatuh tidak ada lagi negara penyangga Eropa karena langsung berhadapan dengan Rusia. Eropa berupaya agar Ukraina dapat berintegrasi ke Uni Eropa dengan memberi bantuan pembangunan, jasa dan ketika Ukaina masuk akan di dukung pendanaan.

rusia

Sedang manfaat Ukraina bagi Rusia adalah untuk menghentikan pengaruh Nato (sejak 1990 berakhir perang dingin) di negara-negara pecahan Rusia sehingga berupaya agar tidak di bawah pengaruh Uni Eropa yang dapat menjadi ancaman bagi Rusia. Bagi USA dan Uni Eropa, Ukraina menjadi negara penyangga dalam menghadapi politik Rusia di Eropa. Membawa Ukraina ke lingkup pengaruh Rusia dengan mengambil alih kendali perekonomian Ukraina dan membangun infrastruktur energi di laut hitam untuk kepentingan ekonomi Rusia. Warm Water Policy-Politik Air Hangat Rusia untuk bisa berada di laut hitam. Rusia berupaya menguasai Ukraina untuk akses masuk ke Mediterania dan Arab, Timur Tengah melalui laut hitam yang menjadi wilayah Ukraina. Ukraina bekas negara bagian Uni Soviet yang kaya dimana terdapat industri berat, industri senjata, energi, dan saluran pipa gas dari Rusia ke Uni Eropa.

Kondisi perekonomian dunia yang saling kait mengkait tentunya akan berdampak domino effect ke negara-negara yang memiliki mitra dekat dengan Rusia tidak terkecuali Indonesia. PTT Pcl perusahaan minyak berbasis di Bangkok misalnya merosot 4,9 persen, menyeret indeks saham Thailand turun terbesar sejak Januari. Demikian pula China Mobile Limited jatuh ke tujuh minggu rendah. China Ponsel jatuh 1,9 persen ke penutupan terendah sejak 27 Oktober 2014 di Hong Kong. Tencent Holdings Ltd (700) meluncur ke posisi terendah enam bulan.

Kondisi global ini pula menyebabkan mata uang Rupiah jatuh ke level terendah sejak krisis keuangan Asia pada tahun 1998 sebagai peningkatan pembelian dolar oleh perusahaan lokal sebelum akhir tahun. Tentunya kondisi perekonomian Rusia yang memburuk perlu disikapi dengan kebijakan-kebijakan yang tepat, agar tidak menjalar ke Indonesia. Indonesia masih beruntung saat ini karena jatuhnya kurs ini tidak terlalu banyak membuat perekonomian semakin terpuruk, karena selama ini perekonomian Indonesia didukung fundamental ekonomi yang masih solid. Subsidi minyak yang sudah dipangkas di APBN membuat belanja pemerintah semakin efektif.

Turunnya kurs rupiah mestinya disikapi dengan optimalisasi program ekspor ke negara-negara mitra tradisional maupun pengembangan ekspor ke negara mitra non tradisional. Dengan rupiah yang sedikit melemah maka insentif ekspor Indonesia ke luar negeri otomatis menjadi menarik mengingat harga barang ekspor dari Indonesia menjadi relatif murah di mata pengimpor. Potensi ini perlu dimanfaatkan secara optimal, dengan mencari pasar-pasar baru terutama negara-negara yang permintaan impor terhadap barang Indonesia tinggi. Atau Indonesia perlu melakukan diversifikasi barang-barang ekspor dengan terlibat dalam global value chain.

Grafik 1. Perdagangan Indonesia Ukrainia

ukrainia

Perdagangan Indonesia Ukrainia terkonsentrasi pada perdagangan non migas, dengan unggulan ekspor di sektor pertanian.

Sekiranya dirasa tekanan rupiah semakin menguat jangka pendek maka peran intervensi BI dalam menahan jatuhnya kurs perlu dilakukan, dan tentunya langkah ini akan menggerus devisa apabila dilakukan dalam jangka panjang. Langkah alternatif selanjutnya kalau terpaksa maka perlu diperketat arus modal keluar dengan memberikan diinsentif untuk capital outflow, misalnya dengan memajakinya.

Grafik 2. Kurs Indonesia USD dan Rubbel USD

rubel

Berdasarkan data di atas, kurs IDR terhadap USD terus mengalami pelemahan sampai dengan tahun 2015, namun IDR terus menunjukan kecenderungan yang menguat terhadap Rubbel sampai dengan tahun 2015.  Namun demikian dalam hal investasi dan perdagangan, Rusia hubungan langsung yang sangat rendah ke Indonesia. Dengan demikian, apa pun yang terjadi pada Rusia tidak mungkin memiliki dampak yang signifikan terhadap Indonesia.

Ketidakstabilan Kurs Rubbel, Dampak terhadap Rupiah dan Alternatif Solusi

Analisis Dampak Perdagangan Bebas Indonesia-Chili Comprehensive Economic Partnership Agreement (IC-CEPA) : Sebuah Masukan Dalam Rangka Putaran Pertama Negosiasi Perdagangan

Tulisan ini dibuat bersama Sulthon Sjahrir sabaruddin, telah dimuat di Jurnal Analisis CSIS, berjudul “ Analisis Dampak Perdagangan Bebas Indonesia-Chili :Sebuah Masukan dalam Rangka Putaran Pertama Negosiasi Perdagangan”, Vol. 43, No. 3, September 2014, hlm. 269-291

1. Latar Belakang

Intensitas hubungan kerjasama ekonomi Indonesia dengan negara-negara di kawasan Amerika Latin selama ini masih relatif rendah, menunjukkan sedikit kemajuan dibandingkan dengan mitra seperti dari kawasan Amerika Utara, Eropa Barat, dan wilayah Asia Timur yang memang sejak lama menjadi mitra utama ekonomi dan pasar tradisional Indonesia. Namun demikian, inisiatif untuk memperkuat kerjasama ekonomi di pasar non-tradisional (pasar alternatif) seperti Amerika Selatan dan Karibia, Amerika Tengah, Eropa Tengah dan Timur, Asia Tengah, dan Afrika sudah mulai dilontarkan walaupun belum menunjukkan perkembangan yang signifikan. Pada tahun 2012 dan 2013, dalam Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri RI (PPTM) disampaikan bahwa diplomasi ekonomi di pasar non-tradisional perlu untuk terus dijalankan secara intens dengan harapan hasil diplomasi ekonomi ini dapat memberikan manfaat bagi pembangunan perekonomian nasional. Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan kerjasama dengan negara-negara dari kawasan Amerika Latin, Indonesia berupaya meningkatkan hubungan perdagangan bilateral, membuka perwakilan di kawasan Amerika Latin, meningkatkan jumlah kerjasama MoU, meningkatkan people to people contact; dan meningkatkan kegiatan Trade, Tourism, and Investment (TTI).

Amerika Latin merupakan salah satu kawasan yang cukup dinamis dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi selama beberapa tahun terakhir. Sebagai gambaran, pada tahun 2011 pertumbuhan ekonomi Amerika Latin mencapai 4.34 persen, sedangkan pertumbuhan ekonomi MERCOSUR (Brasil, Argentina, Paraguay, Uruguay, Venezuela) sekitar 3.92 persen (lihat tabel 1). Pada tahun 2012, walaupun krisis masih melanda di Amerika Serikat dan Eropa, International Monetary Fund (IMF) pertumbuhan ekonomi Amerika Latin masih relatif baik yakni sebesar 3.2 persen. Pertumbuhan ekonomi kawasan yang baik ini terutama didorong oleh pertumbuhan ekonomi Panama, Peru, Chili, Kolombia dan Bolivia yang terus mengalami pertumbuhan ekonomi antara 5 sampai 10 persen. Sedangkan Brasil, Meksiko dan Argentina masih mengalami kesulitan dalam mendorong pertumbuhan ekonominya karena pengaruh situasi domestik dan menurunnya harga komoditas ekspor andalan sehingga hanya mencatat pertumbuhan masing-masing sebesar 0.9 persen, 3.9 persen dan 4.2 persen pada tahun 2012.

Pada tahun 2012, negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di kawasan Amerika Latin adalah Panama sebesar 9.5 persen atau setara dengan pertumbuhan ekonomi di India dan China. Tingginya pertumbuhan ekonomi di Panama dipicu dengan besarnya ekspansi perbankan dan perdagangan serta investasi yang sangat besar pada terusan Panama. Peru juga sedang menikmati pertumbuhan ekonomi yang tinggi yakni sebesar 7 persen yang banyak didorong oleh sektor konstruksi dan jasa serta sektor pertambangan. Sedangkan pertumbuhan ekonomi Chili dengan perekonomian yang terbuka dan banyak mengandalkan ekspor mencapai 5.5 persen yang diuntungkan dengan kondisi dunia dimana beberapa harga dunia produk ekspor andalannya mengalami perbaikan.

Berdasarkan indikator Produk Domestik Bruto (PDB) dapat terlihat bahwa sejak pertengahan 2000-an, PDB di kawasan Amerika Latin mengalami peningkatan yang sangat pesat dan pada tahun 2011 mencapai puncaknya sebesar US$5.6 trilyun (lihat tabel 1). Pada tahun 2011, perekonomian terbesar di kawasan Amerika Latin adalah Brasil (US$2.477 trilyun), diikuti Meksiko (US$1.153 trilyun), Argentina (US$446 milyar), Venezuela (US$316.5 milyar), dan Chili (US$179.6 milyar). Jumlah populasi di Amerika Latin meningkat cukup pesat dan pada tahun 2011 mencapai 573.6 juta jiwa. Brasil memiliki populasi terbesar di kawasan sebesar 195 juta jiwa diikuti Meksiko (118 juta jiwa), Kolombia (47 juta jiwa), Argentina (41 juta jiwa), dan Peru (40 juta jiwa).

Lebih lanjut, jika dilihat dari PDB Per Kapita (Purchasing Power Parity), maka dapat terlihat bahwa PDB Per Kapita di kawasan Amerika Latin mengalami peningkatan yang cukup pesat seiring dengan perkembangan waktu. Pada tahun 2011, PDB Per Kapita di wilayah Amerika Latin mencapai US$12158. Kawasan Amerika Latin seiring dengan perkembangan waktu cenderung memiliki sejumlah karakteristik yaitu: 1) Mampu menghadapi krisis ekonomi global dengan kondisi ekonomi yang relatif kuat; 2) Jumlah populasi yang besar; 3) Masyarakat kelas menengah meningkat pesat; dan 4) Meningkatnya urbanisasi dan industrialisasi.

Berdasarkan indikator Consumer Price Index (CPI) dapat terlihat bahwa selama periode 1980-1995 inflasi di wilayah Amerika Latin sangat berfluktuatif dan bahkan pada tahun 1990 hingga mencapai 1152 persen dan pada MERCOSUR bahkan mencapai 1352 persen. Namun demikian sejak pertengahan 1990-an hingga 2011 relatif stabil dengan angka yang relatif rendah. Pada tahun 2011, inflasi di wilayah Amerika Latin hanya mencapai 6.9 persen. Keberhasilan mempertahankan angka inflasi yang relatif rendah dikarenakan upaya kebijakan makroekonomi yang cukup baik dijalankan oleh banyak negara-negara Amerika Latin. Namun demikian fluktuasi harga komoditas di pasar internasional telah menyebabkan ketidakstabilan inflasi dan perekonomian di kawasan tersebut.

Tabel 1: Data Makroekonomi Amerika Latin dan MERCOSUR Periode 1980-2011

(di jurnal tsb)

Namun demikian, walaupun potensi kerjasama di bidang ekonomi besar namun Indonesia belum memanfaatkan dengan baik peluang potensi kerjasama ekonomi dengan negara-negara di kawasan Amerika Latin. Volume perdagangan Indonesia dengan mitra di kawasan Amerika Selatan dan Karibia (Amselkar) yang berjumlah 25 negara, selama periode 2011-2012 hanya mencapai US$6.78 milyar atau 1.77 persen dari total perdagangan Indonesia. Sedangkan nilai perdagangan Indonesia dengan mitra di kawasan Amerika Tengah dan Utara (Amuteng) yang berjumlah 8 negara (kecuali Amerika Serikat dan Kanada) selama periode 2011-2012 hanya mencapai US$1.71 milyar atau 0.45 persen dari total perdagangan Indonesia. Dengan ini maka dapat terlihat bahwa hubungan perdagangan Indonesia dengan mitra di kawasan Amerika Latin yang berjumlah 33 negara hanya sebesar US$8.49 milyar atau 2.22 persen dari total perdagangan Indonesia pada tahun 2012 atau sedikit mengalami peningkatan dibanding tahun 2011 sebesar US$8.492 milyar. Volume perdagangan Indonesia dengan Amerika Latin juga belum terlalu signifikan jika dibandingkan dengan volume perdagangan Amerika Latin dengan Asia secara keseluruhan. Sebagai gambaran, pada periode yang sama perdagangan Indonesia dengan mitra di pasar tradisional seperti Jepang (US$52.9 milyar), China (US$51 milyar), dan Amerika Serikat (US$26.47 milyar). Lebih lanjut, jika dibandingkan dengan perdagangan Indonesia seperti RI-ASEAN yang sebesar 25%,RI-Jepang yang sebesar 13.8%, dan RI-China yang sebesar 13.4% jumlah tersebut tidaklah terlalu signifikan.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan RI[2], mitra dagang terbesar Indonesia di kawasan Amselkar selama tahun 2012 adalah Brasil (US$3.45 milyar) diikuti oleh Argentina (US$2 milyar) dan Chili (US$382 juta). Ketiga mitra dagang terbesar menyumbang 86 persen dari total perdagangan Indonesia di kawasan Amselkar. Sedangkan di kawasan Amuteng, mitra dagang utama Indonesia adalah Meksiko (US$1.22 milyar) dan Panama (US$379.3 juta).

Tabel 2: Volume Perdagangan Indonesia – Amerika Selatan dan Karibia Periode 2011-2012 (US$ dalam Juta)

(di Jurnal tsb)

Sumber: Kementerian Perdagangan RI (2013)

 

Tabel 3: Volume Perdagangan Indonesia – Amerika Utara dan Tengah Periode 2011-2012(US$ dalam Ribu)

(di Jurnal tsb)

Sumber: Kementerian Perdagangan RI (2013)

Di bidang investasi, negara-negara di kawasan Amerika Latin juga telah menjadi salah satu kawasan dunia yang cukup dinamis dan cukup banyak menarik investor asing. Sebagai gambaran sumber daya alam utama yang dimiliki Amerika Latin antara lain adalah emas, perak, tembaga, bijih besi, timah, dan minyak bumi. Selama periode 1980-2011, Penanaman Modal Asing (PMA) ke wilayah Amerika Latin mengalami peningkatan yang cukup pesat namun dengan fluktuasi pada tahun-tahun tertentu. Pada tahun 2012, Amerika Latin menyerap PMA sebesar US$174 milyar yang merupakan tertinggi sepanjang sejarah di kawasan Amerika Latin. Sebagian besar PMA di kawasan merupakan eksploitasi sumber daya alam khususnya pertambangan sebesar 51 persen, diikuti jasa (37 persen) dan manufaktur (12 persen) dan hingga saat ini Brazil masih merupakan penerima PMA terbesar di kawasan yakni US$65.2 milyar (2012) atau sekitar 41 persen dari total PMA di kawasan.

Nilai investasi negara-negara Amerika Latin di Indonesia tergolong relatif rendah dengan nilai US$892.68 juta atau 3.63% dari nilai investasi asing di Indonesia. Nilai investasi negara-negara Amerika Latin di Indonesia masih belum terlalu signifikan terutama jika dibandingkan dengan negara-negara pasar tradisional. Nilai investasi terbesar datang dari Brazil yang menanamkan modal sebanyak enam proyek sebesar US$223.34 juta dengan proyek terbesar oleh Perusahaan VALE, sebuah perusahaan tambang nikel (PT. Vale Indonesia) dan merupakan perusahaan tambang terbesar kedua di dunia. Argentina juga telah menanamkan modal di Indonesia melalui perusahaan Tenaris yang bergerak di bidang baja, teknik sipil, dan konstruksi senilai US$73.5 juta (2009) dan US$30 juta (2011). Tenaris memiliki pabrik di Cilegon (PT. Seamless Pipe Indonesia Jaya) dan Batam. Sementara itu, Peru melalui AJE GROUP juga menanamkan modalnya sebesar US$35 juta melalui PT AJEINDONESIA. AJE Group memproduksi minuman ringan, air minum dalam kemasan, dan produk-produk dari plastik. Kedepan, dalam waktu dekat AJE Group akan membuka pabrik keduanya di Cikarang dan Surabaya.

Sedangkan, berdasarkan data BKPM (2013) investasi Indonesia di kawasan Amerika Latin tercatat cukup besar yaitu: Panama senilai US$763.129.038 yang terdiri dari 46 perusahaan dan sebagian besar merupakan jasa sewa kapal, pengangkutan muatan kapal laut, serta pengoperasian dan pemilikan kapal; Cayman Island sebesar US$2.622 milyar; Ekuador sebesar US$350 juta dimana PT Bakrie Kalila Investment telah mendapatkan konsesi di tiga ladang minyak di Orienta Basin di Blok Lago Agroyo, Guanta, dan Parachuacu. Kawasan ini diperkirakan mempunyai cadangan minyak sebesar 65 juta barel; St. Vincent and Grenadines sebesar US$473.860 yang bergerak di sektor pengangkutan muatan kapal laut; dan Brasil sebesar US$500 juta oleh perusahaan Riau Andalan Pulp & Paper (pabrik kertas) dan US$1553 yang bergerak di sektor manajemen perkapalan.

Tabel 4: Perkembangan Penanaman Modal Asing di Kawasan Amerika Latin dan MERCOSUR Periode 1980-2011

(di Jurnal tsb)

Sumber: United Nations Economic Commission Latin American Countries (2013)

International Enterprise Singapore (IES) menyarankan bahwa kerjasama ekonomi negara-negara Asia dengan Amerika Latin ke depan tidak hanya terkonsentrasi pada energi dan komoditas tetapi harus “moving beyond energy and commodities” yaitu di sektor infrastruktur, logistik dan pendidikan[3]. Hambatan faktor jarak, budaya, bahasa, serta kurangnya pengetahuan pasar lokal masih relatif mudah diatasi namun permasalahan pajak, peraturan pemerintah dan pasar, serta lemahnya infrastruktur merupakan tantangan yang besar yang harus diatasi. Indonesia memandang wilayah Amerika Latin sebagai pasar alternatif yang potensial yang perlu terus digarap di masa mendatang, namun sayangnya volume perdagangan saat ini menurut banyak kalangan tidak mencerminkan potensi volume perdagangan sebenarnya, oleh karena itu, perlu ada upaya yang lebih kuat lagi dari seluruh pemangku kepentingan untuk mendorong hubungan perdagangan Indonesia di kawasan Amerika Latin di masa mendatang.

Hubungan ekonomi RI-Amerika Latin masih belum cukup intens hal ini dapat terlihat dimana nilai perdagangan dan investasi masih cukup rendah, jumlah inisiatif kerjasama perdagangan dan investasi masih relatif sedikit, serta jumlah sumber daya yang dialokasikan oleh Pemerintah di pasar alternatif termasuk Amerika Latin relatif cukup kecil. Justru terdapat pandangan seperti Sulthon Sjahril[4] bahwa hubungan kerjasama ekonomi Indonesia di kawasan Amerika Latin lebih didorong oleh upaya kebijakan luar negeri Amerika Latin yang sangat agresif untuk menjalin kerjasama ekonomi di kawasan Asia Pasifik.

Tabel 5: Investasi Amerika Latin di Kawasan Asia Tenggara

(di Jurnal tsb)

Sumber: MERCOSUR (2012)

Berbagai upaya sebenarnya telah dilakukan untuk meningkatkan nilai perdagangan dan investasi antara Indonesia dan Amerika Latin. Namun demikian belum menunjukkan hasil yang signifikan. Indonesia hingga saat ini belum memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan negara manapun di Amerika Latin, dan baru terdapat satu inisiatif perjanjian perdagangan bilateral yang digagas, yaitu Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Chili (IC-CEPA). Pada tingkat regional, upaya untuk lebih meningkatkan kerjasama ekonomi dengan mitranya di wilayah Amerika Latin telah dilakukan, antara lain melalui pembentukan ASEAN-MERCOSUR, ASEAN-Andean Group dan Forum East Asia-Latin American Cooperation (FEALAC). Namun demikian, kesemuanya relatif masih berjalan di tempat.

Keseriusan untuk lebih mengintensifkan khususnya kerjasama ekonomi bilateral dapat dilihat dimana Indonesia merupakan tuan rumah dalam menyelenggarakan ASEAN Latin Business Forum 2012 (ALBF 2012) pada tanggal 9-10 Juli 2012 di Jakarta.  Forum ini adalah yang terbesar di Indonesia dan bahkan di kawasan ASEAN. Lebih lanjut, pada bulan Juni 2013 lalu Indonesia menjadi tuan rumah Pertemuan Menteri FEALAC di Bali. Sebagai catatan, FEALAC yang didirikan pada tahun 1999 dengan nama East Asia Latin American Forum (EALAF) pada awalnya didirikan sebagai forum informal menghubungkan negara-negara Asia Timur dan Amerika Latin. Kini FEALAC bertujuan untuk memajukan saling pengertian, dialog politik dan ekonomi, serta kerjasama di berbagai bidang guna mencapai hubungan yang efektif dan bermanfaat, serta kerjasama yang lebih erat di antara negara-negara anggota FEALAC. Namun demikian, hasil dari seluruh upaya dimaksud setidaknya hingga saat ini belum signifikan. Atas latar belakang dimaksud, maka kajian ini mencoba untuk mengevaluasi hasil kinerja dan memberikan saran kebijakan kedepannya diplomasi ekonomi RI di kawasan Amerika Latin khususnya terkait dengan diplomasi perdagangan RI di kawasan Amerika Latin.

Hingga kini studi mengenai hubungan kerjasama ekonomi Indonesia – Amerika Latin masih relatif sedikit ditemukan. Oleh karena itu, studi ini mencoba memberikan evaluasi upaya Indonesia untuk meningkatkan kerjasama perdagangan dengan negara-negara di kawasan Amerika Latin. Dalam makalah ini, Chili dipilih sebagai negara yang ditelaah mengingat Indonesia dan Chili telah menjalin kesepakatan IC-CEPA dan tak lama lagi akan memasuki putaran pertama negosiasi perdagangan. Studi ini mencoba untuk mengidentifikasi potensi dan peluang perdagangan RI-Chili yang dianalisis dengan metode daya saing ekspor. Lebih lanjut, studi ini juga akan melakukan evaluasi skenario perdagangan bebas RI-Chili.

Kajian ini diharapkan dapat memberikan masukan kebijakan diplomasi ekonomi bagi Kemlu dan Kementerian serta instansi terkait yang terlibat dan memiliki kepentingan dalam kerjasama perdagangan RI-Chili. Selain itu, kajian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam memperkaya literatur ekonomi ilmiah, khususnya di bidang perdagangan internasional.

2. Metodologi Penelitian

Dalam rangka untuk mengevaluasi kinerja diplomasi perdagangan RI-Chili, pada kajian ini terdapat dua perangkat kuantitatif ekonomi yang akan dimanfaatkan yaitu: Revealed Comparative Advantage (RCA) dan Software for Market Analysis and Restrictions on Trade Model (SMART Model). Adapun penjelasan indikator ekonomi yang digunakan dalam kajian ini adalah sebagai berikut:

1. Revealed Comparative Advantage (RCA)

Dalam rangka meningkatkan daya saing produk Indonesia, perlu dilakukan analisis atas produk-produk yang memiliki keunggulan komparatif. Salah satu proposisi teori perdagangan klasik yang sangat berpengaruh adalah dimana pola perdagangan internasional ditentukan berdasarkan keunggulan komparatif yaitu terdapat suatu negara dengan keunggulan komparatif pada suatu komoditi akan mengekspor, dan negara lain yang tidak memiliki keunggulan komparatif (comparative disadvantage) akan mengimpor. Banyak studi empiris dilakukan terkait mengaplikasikan konsep teori keunggulan komparatif khususnya untuk menganalisis kinerja perdagangan dan sumber keunggulan komparatif. Tingkat daya saing komoditas ekspor suatu negara atau industri dapat dianalisis dengan berbagai macam metode seperti Revealed Comparative Advantage Index (RCA), Constant Market Share (CMS) dan Real Effective Exchange Rate (REER)[5]. Namun pada kajian ini, analisis keunggulan komparatif (daya saing) akan dilakukan dengan pendekatan indeks RCA.

RCA merupakan sebuah indikator untuk melihat daya saing ekspor suatu negara. Indikator dimaksud penting untuk melihat apakah produk ekspor Indonesia selama ini merupakan produk-produk unggulan atau produk-produk berdaya saing tinggi. Secara matematis, RCA adalah indeks yang menunjukkan perbandingan antara pangsa ekspor komoditas atau sekelompok komoditas suatu negara terhadap pangsa ekspor komoditas tersebut dari seluruh dunia. Atau, dengan kata lain, indeks RCA menggambarkan keunggulan komparatif atau daya saing ekspor dari suatu negara dalam suatu komoditas terhadap dunia. Rentang indeks adalah antara 0 sampai dengan tak terhingga (). Jika nilai indeks RCA dari suatu negara untuk komoditas tertentu lebih besar dari satu (1), berarti negara yang bersangkutan mempunyai keunggulan komparatif dari sisi ekspor di atas rata-rata dunia dalam komoditas tersebut. Sebaliknya, bila lebih kecil dari satu (1) berarti keunggulan komparatifnya untuk komoditas tersebut rendah, di bawah rata-rata dunia. Secara matematis, indeks RCA adalah sebagai berikut:

dimana:

= nilai ekspor komoditas j dari negara i

= nilai ekspor total (produk j dan lainnya) negara i

= nilai ekspor komoditas j di dunia

= nilai ekspor total dunia

2. Software for Market Analysis and Restrictions on Trademodel (SMART model)

Metode penelitian akan menggunakan pendekatan model ekuilibrium parsial yakni Software for Market Analysis and Restrictions on Trade model (SMART model) untuk melihat dampak liberalisasi perdagangan RI-Chili terhadap kesejahteraan masyarakat serta mengevaluasi perdagangan, tariff revenue, dan welfare effects. Pada artikel ini, penulis akan melakukan skenario liberalisasi perdagangan RI-Chili dengan complete tariff dismantlement atau nol tarif untuk seluruh produk pada tahun 2012. Software for Market Analysis and Restrictions on Trade (SMART) model merupakan model simulasi perdagangan ekuilibrium parsial, yang digunakan untuk menilai dampak liberalisasi perdagangan atau perdagangan bebas terhadap perdagangan (trade), pendapatan tarif (tariff revenue), dan kesejahteraan (welfare effects). Perangkat SMART model ini merupakan bagian dari World Integrated Trade Solution (WITS) yang dikembangkan oleh World Bank dan United Nations Conference on Trade and Development[6] (UNCTAD). Metode ini relatif mudah digunakan karena hanya memerlukan data perdagangan (trade flows), trade policy (misalnya tarif proteksi awal) dan nilai parameter behavioral (elastisitas) tertentu[7].

Kelebihan metode ini adalah dapat menghitung dampak dari liberalisasi perdagangan/perdagangan bebas di sebuah pasar tingkat disagregasi hingga sangat dalam/terinci, artinya dapat menyelesaikan masalah terkait “aggregation biases”, sebagai contoh, SMART model dapat menganalisis dampak liberalisasi perdagangan impor “brown rice” oleh India dimana agregasi terinci tersebut mungkin tidak tepat atau bahkan tidak bisa dilakukan dalam kerangka model keseimbangan umum[8]. Adapun asumsi-asumsi dalam Model SMART adalah sebagai berikut:

  • Partial Equilibrium: tidak ada efek pendapatan.
  • Export supply elasticity (supply elasticity) adalah perfectly elastic dimana harga dunia dari setiap produk (misalnya, apel dari Indonesia) adalah given atau sudah ditentukan. Secara default, SMART menggunakan 99 untuk infinite elasticity (elastisitas tak terhingga) untuk semua barang dan mitra negara. Artinya peningkatan permintaan suatu barang akan selalu sesuai/sama dengan produsen dan eksportir dari barang tersebut, tanpa adanya pengaruh terhadap harga barang tersebut.
  • Substitution elasticity (import substitution elasticity) yang merupakan nilai substitusi antara dua barang dari berbeda negara asal. Dalam artikel ini, SMART model dengan asumsi Armington digunakan, maka barang-barang impor dari negara yang berbeda adalah imperfect substitutes, misalnya, apel dari Chili adalah imperfect substitutes dengan apel dari Indonesia. Dalam SMART, import substitution elasticity adalah sebesar 1.5 untuk setiap produk.
  • Import demand elasticity bertujuan untuk mengukur respon permintaan terhadap perubahan harga impor. Nilai default adalah sama untuk semua reporters(negara) tetapi berbeda berdasarkan produknya. Terdapat lebih dari 100 nilai import demand elasticity yang berbeda dan dapat dirubah-rubah namun nilai elastisitas tersebut adalah unik untuk setiap produknya.
  • Perfect competition (persaingan sempurna) yang artinya sebagai contoh, pemotongan tarif secara penuh terefleksi pada harga yang dibayar oleh konsumen.

Simulasi tarif yang digunakan dalam penelitian adalah melalui complete tariff dismantlement (nol tarif) sehingga opsi yang dipakai adalah opsi pertama yaitu new rate dengan nol tarif. Dalam simulasi penerapan nol tarif diberlakukan secara penuh pada tahun 2012. Dengan asumsi-asumsi tersebut, dengan SMART model penulis dapat mengevaluasi dampak dari perubahan kebijakan perdagangan (dalam hal ini diukur dari tarif) terhadap variabel-variabel sebagai berikut: a) Trade creation effects, trade diversion effects, dan net trade effects; b) Tariff revenue effects, consumer surplus dan welfare.

Data untuk menganalisis adalah data perdagangan RI-Chili menggunakan 6 Digit Kode HS 2007 yang bersumber dari World Integrated Trade Solutions (WITS) dan The United Nations Commodity Trade (COMTRADE). UN COMTRADE merupakan database yang sangat komprehensif mengenai statistik barang dalam perdagangan internasional.

3. Pembahasan Hasil Kajian

3.1       Evaluasi Perkembangan Hubungan Perdagangan RI-Chili

Hubungan perdagangan RI-Chili selama 10 tahun terakhir mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari sebesar US$118.05 juta (2002) dan mencapai puncaknya pada tahun 2011 sebesar US$586.23, namun menurun pada tahun berikutnya menjadi US$381.99 juta (2012) dan per November 2013 tercatat hubungan perdagangan bilateral sebesar US$367.57 juta. Selain itu, berdasarkan neraca perdagangan terlihat pula bahwa sejak tahun 2003, hubungan perdagangan defisit selalu berada di pihak Indonesia. Berikut adalah data hubungan perdagangan RI-Chili selama periode 2002-2013:

Tabel 6: Hubungan Perdagangan RI-Chili Selama Periode 2002-2013

(Juta USD)

Year RI Export RI Import Total Trade Balance
2002 65.96 52.10 118.05 13.86
2003 67.83 62.09 129.93 5.74
2004 90.76 110.47 201.24 -19.71
2005 113.84 135.61 249.45 -21.77
2006 152.80 197.95 350.75 -45.14
2007 135.44 202.63 338.07 -67.19
2008 128.29 274.28 402.57 -145.98
2009 166.70 189.21 355.91 -22.51
2010 192.65 309.05 501.71 -116.40
2011 213.97 372.26 586.23 -158.29
2012 175.35 206.64 381.99 -31.29
2013 159.57 207.99 367.57 -48.42 (Nov)

Sumber: Kementerian Perdagangan (2013)

Perkembangan hubungan perdagangan kedua negara tersebut sebenarnya relatif kecil dan masih dibawah potensinya. Namun demikian, kami melihat potensi kerjasama perdagangan dapat lebih ditingkatkan lagi kedepannya, karena dengan memanfaatkan indikator Trade Complementarity Index (TCI) terlihat bahwa perdagangan RI-Chili sejak awal tahun 2000an telah bersifat komplementer.

Dengan menggunakan TCI, selama periode 1989-2012 walaupun terdapat fluktuasi, namun secara umum komplementaritas perdagangan RI-Chili mengalami peningkatan dimana pada tahun 1989, nilai TCI hanya sebesar 22.24 poin, dan pada tahun 2012 mencapai 52.78 poin. Artinya hubungan perdagangan kedua negara yang sebelumnya lebih cenderung substitutif, kini sejak awal tahun 2000an menjadi cenderung komplementer. Hasil TCI membuktikan bahwa Indonesia dan Chili memiliki struktur perdagangan yang berbeda, dalam arti bahwa kedua negara memiliki pelimpahan sumber daya yang berbeda, sehingga kedua negara memiliki keunggulan komparatif yang berbeda. Oleh karena itu, hasil TCI juga menjelaskan bahwa terdapat ruang yang besar bagi kedua negara untuk memperkuat lagi hubungan perdagangan kedepannya.

Grafik 1: Trade Complementarity Index RI-Chili

(di Jurnal tsb)

Sumber: World Integrated Solutions (2013)

 

Lebih lanjut, dengan memanfaatkan Trade Intensity Index (TII), kajian ini menemukan bahwa selama periode 1995-1999, rata-rata TII mencapai 60 persen, namun demikian pada tahun-tahun setelahnya TII menurun dan pada tahun 2012 menurun hingga menjadi 22 persen. Hal ini menjelaskan bahwa hubungan perdagangan yang terjalin selama ini semakin menjadi tidak intens. Salah satu alasan adalah belum adanya minat yang besar dari kedua guna meningkatkan kerjasama perdagangan lebih jauh. Faktor-faktor klasik selalu menjadi alasan seperti jarak geografis, minimnya informasi, dan biaya transportasi yang besar dalam rangka meningkatkan kerjasama perdagangan kedua negara. Namun demikian, kesepakatan kedua negara untuk menjalin Indonesia-Chili Comprehensive Economic Partnership Agreement (IC-CEPA) pada April 2013 lalu, tentu merupakan salah satu terobosan penting dalam rangka meningkatkan hubungan perdagangan kedua negara di masa mendatang.

Grafik 2: Trade Intensity Index RI-Chili

(di Jurnal tsb)

Sumber: World Integrated Solutions (2013)

Lebih lanjut, dengan memanfaatkan indeks RCA (HS 4 Digit) studi ini menemukan bahwa secara umum ekspor 10 besar produk RI ke Chili pada tahun 2012 berdaya saing baik, walaupun terdapat beberapa produk yang tidak berdaya saing yang turut masuk dalam pasar Chili. Produk ekspor RI yang berdaya saing lemah namun masuk ke Chili adalah: Machinery for sorting, screening, separating, washing, crushing, grinding, mixing or kneading earth, stone, ores or other mineral substances, in solid (including powder or paste) form; machinery for agglomerating, shaping or moulding solid mineral fuels; dan Motor cars and other motor vehicles principally designed for the transport of persons (other than those of heading 87.02), including station wagons and racing cars. Disini dapat terlihat bahwa masih terdapat peluang yang cukup besar bagi Indonesia untuk meningkatkan lagi ekspor produk-produknya yang lebih berdaya saing tinggi lagi. Beberapa produk unggulan Indonesia yang belum berhasil masuk ke pasar Chili adalah: minyak kelapa sawit, minyak kelapa, aluminium dan nikel.

Tabel 7: Sepuluh Besar Produk Ekspor RI ke Chili Tahun 2012

RCA Index (Commodity Based)

(di Jurnal tsb)

Sumber: World Integrated Solutions (2013)

 

3.2       Chili

3.2.1    Skenario Dampak Perdagangan Bebas Bilateral RI-Chili terhadap Consumer            Surplus dan Trade Creation Effect

Hasil simulasi SMART menemukan perdagangan bebas bilateral RI-Chili akan memberikan dampak positif bagi kedua negara dalam bentuk consumer surplus dan trade creation effect (peningkatan impor). Indonesia diperkirakan akan memperoleh keuntungan dalam bentuk consumer surplus sebesar US$381159 dan produk Cathodes & Sections of Cathodes, of Refined Copper, Unwrought menyumbang kontribusi terbesar yakni US$221928 (58.2 persen dari total consumer surplus Indonesia) diikuti dengan Gear boxes & parts thereof, of the motor vehicles of headings 87.01 to 87.05 sebesar US$41160 (10.8 persen), dan Grapes, Fresh sebesar US$34710 (9.1 persen).

Sedangkan, dilihat dari hasil trade creation effect (perubahan impor) diperkirakan impor Indonesia dari Chili akan meningkat sebesar US$9.17 juta. Peningkatan impor terbesar diperkirakan merupakan produk Cathodes & Sections of Cathodes, of Refined Copper, Unwrought sebesar US$5.03 juta (54.9 persen); diikuti dengan Ammonium nitrate, whether/not in aqueous solution sebesar US$1.01 juta (11.33 persen), Grapes, Fresh sebesar US$0.97 juta (10.61 persen), dan Mineral/chemical fertilisers, potassic (excl. of 3104.20 & 3104.30) sebesar US$0.76 juta (8.2 persen).

 

Tabel 8: Dampak Skenario Perdagangan Bebas RI-Chili terhadap

Consumer Surplus Indonesia (Top 10)

Product Code Product Name Consumer Surplus in Thousands USD
740311 Cathodes & sections of cathodes, of refined copper, unwrought 221.93
870840 Gear boxes & parts thereof, of the motor vehicles of headings 87.01 to 87.05. 41.16
080610 Grapes, fresh 34.71
310490 Mineral/chemical fertilisers, potassic(excl. of 3104.20 & 3104.30) 27.86
310230 Ammonium nitrate, whether/not in aqueous solution 25.91
150420 Fats & oils & their fractions, of fish, other than liver oils, whether/not refined but not chemically modified 8.79
230120 Flours, meals & pellets of fish/of crustaceans, molluscs/other aquatic invertebrates 8.34
440910 Wood (including strips & friezes for parquet flooring, not assembled) continuously shaped (tongued, grooved, rebated, chamfered, V-jointed, beaded, moulded, rounded/the like) along any of its edges, ends/faces, whether/not planed, sanded/end-jointed, con 2.37
730423 Casing, tubing & drill pipe, of a kind used in drilling for oil/gas, other than of stainless steel 1.29
081050 Kiwifruit, fresh 0.99

Sumber: World Integrated Trade Solution

Tabel 9: Dampak Skenario Perdagangan Bebas RI-Chili terhadap Perubahan Impor Indonesia (Trade Creation Effects) (Top 10)
Product Code Product Name Trade Creation Effects in

Millions USD

740311 Cathodes & sections of cathodes, of refined copper, unwrought 5.03
310230 Ammonium nitrate, whether/not in aqueous solution 1.01
080610 Grapes, fresh 0.97
310490 Mineral/chemical fertilisers, potassic(excl. of 3104.20 & 3104.30) 0.76
870840 Gear boxes & parts thereof, of the motor vehicles of headings 87.01 to 87.05. 0.42
230120 Flours, meals & pellets of fish/of crustaceans, molluscs/other aquatic invertebrates 0.32
150420 Fats & oils & their fractions, of fish, other than liver oils, whether/not refined but not chemically modified 0.21
440910 Wood (including strips & friezes for parquet flooring, not assembled) continuously shaped (tongued, grooved, rebated, chamfered, V-jointed, beaded, moulded, rounded/the like) along any of its edges, ends/faces, whether/not planed, sanded/end-jointed, con 0.07
441114 Medium density of fibreboard of wood/other ligneous materials, whether/not bonded with resins/other organic substances, of a thkns >9mm 0.04
310250 Sodium nitrate 0.03

Sumber: World Integrated Trade Solution

           


Sedangkan bagi Chili, dampak skenario perdagangan bebas bilateral akan memberikan dampak positif terhadap masyarakat Chili dalam bentuk consumer surplus sebesar US$289802. Produk-produk yang memberikan nilai consumer surplus terbesar adalah: Combined refrigerator-freezers, fitted with separate external doors, electric/other sebesar US$67770, diikuti dengan Other footwear without  outer soles of  leather, not covering the ankle sebesar US$23880, Sports footwear other than ski-boots/cross-country ski footwear/snowboard boots, with outer soles & uppers of rubber/plastics sebesar US$17140 dan Vehicles (excl. of 87.02 & 8703.10) principally designed for the transportof persons, with spark-ignition internal combustion reciprocating piston engine, of a cylinder capacity >1500cc but not >3000cc sebesar US$15410. Sedangkan jika dilihat dari trade creation effect, dampak perdagangan bebas bilateral akan mendorong peningkatan impor Chili sebesar US$12.93 juta. Produk-produk yang diperkirakan akan masuk ke pasar Chili adalah: Other footwear without  outer soles of  leather, not covering the ankle sebesar US$3.22 juta, diikuti dengan Combined refrigerator-freezers, fitted with separate external doors, electric/other sebesar US$2.74 juta dan Coal other than anthracite & bituminous, whether/not pulverised but not agglomerated (US$1.93 juta). Kedua negara diperkirakan akan memperoleh manfaat dalam bentuk consumer surplus dan trade creation effect (perubahan impor) akan tetapi Indonesia diperkirakan akan memperoleh manfaat consumer surplus yang lebih besar, sedangkan Chili diperkirakan akan memperoleh manfaat dari trade creation effect yang lebih besar.

 

Tabel 10: Dampak Skenario Perdagangan Bebas RI-Chili terhadap

Consumer Surplus Chili (Top 10)

Product Code Product Name Consumer Surplus in Thousands USD
841810 Combined refrigerator-freezers, fitted with separate external doors, electric/other 67.77
640399 Other footwear without  outer soles of  leather, not covering the ankle. 23.88
640219 Sports footwear other than ski-boots/cross-country ski footwear/snowboard boots, with outer soles & uppers of rubber/plastics 17.14
870323 Vehicles (excl. of 87.02 & 8703.10) principally designed for the transportof persons, with spark-ignition internal combustion reciprocating piston engine, of a cylinder capacity >1500cc but not >3000cc 15.41
550953 Yarn other than sewing thread, of polyester staple fibres mixed mainly/solely with cotton, not put up for retail sale 9.97
870431 Motor vehicles for the transportof goods (excl. of 8704.10), with spark-ignition internal combustion piston engine, g.v.w. not >5tonnes 8.85
400122 Technically spec. natural rubber (TSNR) 8.51
852190 Video recording/repr. apparatus other than magnetic tape-type, whether/not incorporating a video tuner 5.84
640411 Sports footwear; tennis shoes, basketball shoes, gym shoes, training shoes & the like, with outer soles of rubber/plastics & uppers of textile materials 5.30
640299 Other footwear with outer soles & uppers of rubber/plastics, not covering the ankle. 4.73

Sumber: World Integrated Trade Solution

 

Tabel 11: Dampak Skenario Perdagangan Bebas RI-Chili terhadap Perubahan Impor Chili (Trade Creation Effects) (Top 10)

Product Code Product Name Trade Creation

in Millions USD

640399 Other footwear without  outer soles of  leather, not covering the ankle. 3.22
841810 Combined refrigerator-freezers, fitted with separate external doors, electric/other 2.74
270119 Coal other than anthracite & bituminous, whether/not pulverised but not agglomerated 1.93
640419 Footwear (excl. waterproof) with outer soles of rubber/plastics & uppers of textile materials (excl. of 6404.11) 1.15
640219 Sports footwear other than ski-boots/cross-country ski footwear/snowboard boots, with outer soles & uppers of rubber/plastics 1.15
847420 Crushing/grinding machines for earth/stone/ores/other mineral substance, in solid (incl. powder/paste) form 1.14
870323 Vehicles (excl. of 87.02 & 8703.10) principally designed for the transport of persons, with spark-ignition internal combustion reciprocating piston engine, of a cylinder capacity >1500cc but not >3000cc 1.07
400122 Technically spec. natural rubber (TSNR) 1.03
847490 Parts of the machinery of 84.74 0.97
640299 Other footwear with outer soles & uppers of rubber/plastics, not covering the ankle. 0.94

Sumber: World Integrated Trade Solution

 


3.2.2    Dampak Skenario Perdagangan Bebas RI-Chili terhadap Penerimaan

            Hasil simulasi SMART model menemukan bahwa dampak perdagangan bebas RI-Chili akan menurunkan pendapatan tarif Indonesia sebesar US$8.78 juta dan Chili sebesar US$13.12 juta. Kerugian pendapatan tarif terbesar bagi Indonesia berasal dari produk Cathodes & sections of cathodes, of refined copper, unwrought sebesar US$5 juta (56.95 persen dari total perkiraan kerugian pendapatan), diikuti dengan Grapes, Fresh sebesar US$1.17 juta (13.3 persen) dan Ammonium nitrate, whether/not in aqueous solution sebesar US$0.66 juta (7.5 persen). Sedangkan bagi Chili, kerugian pendapatan berasal dari produk-produk: Other footwear without  outer soles of  leather, not covering the ankle sebesar US$1.48 juta, dan Coal other than anthracite & bituminous, whether/not pulverised but not agglomerated sebesar US$0.96 juta. Dalam estimasi kerugian pendapatan tarif, maka Chili diperkirakan akan mengalami kerugian pendapatan tarif yang lebih besar dibandingkan Indonesia. Namun demikian kerugian pendapatan tarif Indonesia terkonsentrasi pada satu produk yakni Cathodes & sections of cathodes, of refined copper, unwrought sebesar US$5 juta (56.95 persen dari total perkiraan kerugian pendapatan), sedangkan bagi Chili kerugian pendapatan tarif lebih tersebar pada berbagai produk.

 

Tabel 12: Estimasi Kerugian Penerimaan Indonesia (Top 10)

Product Code Product Name Revenue Loss

in Millions USD

740311 Cathodes & sections of cathodes, of refined copper, unwrought 5.00
080610 Grapes, fresh 1.17
310230 Ammonium nitrate, whether/not in aqueous solution 0.66
870840 Gear boxes & parts thereof, of the motor vehicles of headings 87.01 to 87.05. 0.51
310490 Mineral/chemical fertilisers, potassic(excl. of 3104.20 & 3104.30) 0.33
150420 Fats & oils & their fractions, of fish, other than liver oils, whether/not refined but not chemically modified 0.31
230120 Flours, meals & pellets of fish/of crustaceans, molluscs/other aquatic invertebrates 0.30
170290 Sugars, incl. invert sugar & other sugar & sugar syrup blends containing in the dry state 50% by weight of fructose (excl. of 1702.11-1702.60) 0.08
030322 Atlantic salmon (Salmo salar) & Danube salmon (Hucho hucho), frozen (excl. fillets/other fish meat of 03.04/livers & roes) 0.04
310250 Sodium nitrate 0.03

Sumber: World Integrated Trade Solution

Tabel 13: Estimasi Kerugian Penerimaan Chili (Top 10)
Product Code Product Name Revenue Loss

in Millions USD

640399 Other footwear without  outer soles of  leather, not covering the ankle. 1.48
270119 Coal other than anthracite & bituminous, whether/not pulverised but not agglomerated 0.96
841810 Combined refrigerator-freezers, fitted with separate external doors, electric/other 0.95
640419 Footwear (excl. waterproof) with outer soles of rubber/plastics & uppers of textile materials (excl. of 6404.11) 0.63
640219 Sports footwear other than ski-boots/cross-country ski footwear/snowboard boots, with outer soles & uppers of rubber/plastics 0.58
847420 Crushing/grinding machines for earth/stone/ores/other mineral substance, in solid (incl. powder/paste) form 0.49
870323 Vehicles (excl. of 87.02 & 8703.10) principally designed for the transport of persons, with spark-ignition internal combustion reciprocating piston engine, of a cylinder capacity >1500cc but not >3000cc 0.48
847490 Parts of the machinery of 84.74 0.43
640299 Other footwear with outer soles & uppers of rubber/plastics, not covering the ankle. 0.40
400122 Technically spec. natural rubber (TSNR) 0.39

Sumber: World Integrated Trade Solution

 

 4. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan

Kawasan Amerika Latin merupakan kawasan potensial secara ekonomi dan terdapat peluang yang cukup besar dalam meningkatkan kerjasama ekonomi Indonesia di kawasan Amerika Latin. Hingga saat ini, hubungan kerjasama RI di kawasan Amerika Latin belum maksimal dan masih berada dibawah potensi sebenarnya. Salah satu langkah nyata di bidang ekonomi adalah mendorong hubungan kerjasama perdagangan di kawasan Amerika Latin. Dalam studi ini ditelaah potensi kerjasama perdagangan RI-Chili dan kemungkinan implikasi skenario perdagangan bebas RI-Chili dalam skema IC-CEPA.

Hasil studi ini menemukan bahwa masih terdapat ruang yang cukup besar untuk meningkatkan hubungan perdagangan kedua negara. Studi ini menggambarkan bahwa pola perdagangan RI-Chili bersifat komplementer sejak awal tahun 2000-an dan belum sepenuhnya produk Indonesia yang masuk ke pasar Chili memiliki keunggulan komparatif. Artinya terdapat ruang yang cukup besar untuk meningkatkan ekspor ke Chili, khususnya produk-produk Indonesia yang berkeunggulan komparatif.

Hasil studi skenario perdagangan bebas RI-Chili menggambarkan bahwa kedua negara akan mendapatkan manfaat dalam bentuk peningkatan consumer surplus dan impor. Namun demikian kedua negara diperkirakan akan mengalami kerugian pendapatan tarif (tariff revenue loss). Berdasarkan hasil kajian dimaksud, maka menurut pandangan kami langkah Pemerintah Indonesia menyepakati perjanjian IC-CEPA sudah tepat, namun demikian guna mengevaluasi dampak terhadap perekonomian secara keseluruhan, diperlukan juga studi lebih lanjut khususnya terkait dengan dampak terhadap produsen kedua negara. Studi dimaksud kiranya dapat ditelaah sebelum perundingan IC-CEPA berlangsung.

Maka berdasarkan hasil kajian secara keseluruhan, secara umum rekomendasi kebijakan untuk menjadikan Amerika Latin (termasuk Chili) sebagai salah satu pasar andalan, Indonesia perlu mengembangkan produk yang memiliki nilai keunggulan komparatif tinggi dan bersifat komplementer, khususnya manufaktur. Belajar dari pengalaman pola perdagangan dari negara-negara Asia yang merupakan mitra dagang utama untuk Amerika Latin, Indonesia kiranya dapat meng-adopt pola perdagangan yaitu commodity for manufacture.

Referensi

[1] United Nations Economic Commission Latin American Countries (2013), Observatorio America Latina – Asia Pacifico Database. Dapat diakses:  http://www.observatorioasiapacifico.com/OBSExternalUI/pages/public/monitor.jsf;jsessionid=2ACF025D3E1D240EA08B799092943B06

[2] Kementerian Perdagangan RI, “Ekspor-Impor Indonesia: Neraca Perdagangan dengan Negara Mitra Dagang”. Dapat diakses: http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/indonesia-export-import/balance-of-trade-with-trade-partner-country

[3] Neo, K., (2012), “Moving Beyond Energy and Commodities in Latin America,” Latin Asia Business Forum, Singapura. Dapat diakses: http://www.latinasiabiz.com/files/lab2012_press_releases/CNA-%20Moving%20beyond%20energy%20and%20commodities.pdf

[4] Sjahril. S., 2012 “Assessing Potential and Impact on Bilateral Trade Expansion between Indonesia and Argentina,” Jurnal Luar Negeri, Kementerian Luar Negeri RI, Edisi Juli-Des, Vol.29, No.2.

[5] Tambunan, T., (2000), Perdagangan Internasional dan Neraca Pembayaran: Teori dan Penemuan Empiris, LP3ES, Jakarta.

[6] World Integrated Trade Solution (WITS) Database, the World Bank and the United Nations Conference on Trade and Development. Dapat diakses: http://wits.worldbank.org/wits/

[7] Plummer, M.G., Cheong, D., & Hamanaka, S., (2010), Methodology for Impact Assessment of Free Trade Agreements, Mandaluyong City, Asian Development Bank. Dapat diakses: http://aric.adb.org/pdf/FTA_Impact_Assessment.pdf

[8] Ahmed, S., (2010), India-Japan FTA in Goods: A Partial and General Equilibrium Analysis,  Jamia Millia Islamia (A Central University), New Delhi. Presentasi Makalah pada Thirteenth Annual Conference on Global Economic Analysis, Trade for Sustainable and Inclusive Growth and Development, Juni 9-11, Malaysia. Dapat diakses: https://www.gtap.agecon.purdue.edu/resources/download/4839.pdf

Analisis Dampak Perdagangan Bebas Indonesia-Chili Comprehensive Economic Partnership Agreement (IC-CEPA) : Sebuah Masukan Dalam Rangka Putaran Pertama Negosiasi Perdagangan

Jalan Panjang Menuju Asia Region Fund Passport

Pada pertemuan para Menteri Keuangan APEC di Bali, tanggal 20 September 2013, telah dilakukan penandatanganan Statement of Intent on ARFP oleh empat negara ekonomi anggota APEC untuk melakukan Pilot ARFP, yaitu Australia, Korea Selatan, Selandia Baru dan Singapura. Selanjutnya, keempat negara tersebut telah membentuk Working Group (WG) ARFP guna membahas persiapan implementasi Pilot ARFP dimaksud. Filipina dan Thailand telah menyatakan minatnya untuk ikut bergabung dalam kesepakatan ini. Adapun Jepang, Malaysia, dan Vietnam mulai meningkatkan keterlibatannya dalam inisiatif ini namun belum menyatakan akan menandatangani Statement of Intent dalam waktu dekat. Sementara itu, Indonesia sampai saat ini belum menyatakan posisi untuk bergabung atau tidak dalam inisiatif ini.

Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) Asia Region Fund Passport (ARFP) merupakan inisiatif pemberian semacam paspor untuk instrumen skema Kontrak Investasi Kolektif (KIK) / Collective Investment Scheme (CIS) atau semacam reksa dana lintas batas, agar dapat diperdagangkan di ekonomi-ekonomi yang tergabung di dalamnya.

Kelompok kerja ARFP saat ini secara intensif masih menggodok finalisasi naskah Multilateral Memorandum of Understanding (MMoU) dalam rangka implementasi dari ARFP. Naskah MMoU beserta Lampiran-nya dimaksud diharapkan sudah siap untuk disebarkan kepada publik dalam rangka Public Consultation akhir tahun ini 2014. Keseluruhan proses persiapan implementasi awal ARFP ini diharapkan dapat dimulai dengan penandatanganan MMoU pada kuartal pertama tahun 2015.

MMoU sendiri nantinya diharapkan dapat ditandantangani oleh Regulator yang memiliki kewenangan atas KIK/CIS atau Menteri Keuangan, tergantung struktur governance dari masing-masing ekonomi anggota APEC. Pilot ARFP selanjutnya akan mulai efektif dilaksanakan segera setelah empat negara yang telah menandatangani Statement of Intent on ARFP menyelesaikan proses amandemen legislasi dan kerangka peraturan, termasuk sistem perdagangan, yang dibutuhkan dalam implementasinya.

MMoU memuat hal-hal teknis terkait dengan pendirian ARFP dan mengatur ketentuan-ketentuan praktis dari sisi implementasi, operasi dan governance ARFP. MMoU ini akan didukung oleh lima Annexes, yaitu: (1) Host Economy and Laws and Regulations, (2) Common Regulatory Arrangements, (3) Passport Rules, (4) Arrangements Concerning Cross-Border Supervisory Cooperation, dan (5) Subsequent Participants. Pada kesempatan kali ini, Passport Rules mendapatkan porsi pembahasan yang cukup banyak dikarenakan lampiran ini mengatur hal-hal bersifat desain dan operasional ARFP, antara lain yang terkait dengan ketentuan mengenai Eligible Operators, Restrictions, Redemption, dan Valuation.

Indonesia sampai saat ini belum memutuskan untuk bergabung dalam ARFP, kalau sekiranya nanti akan bergabung maka akan menjadi Subsequent Participants yang sesuai ketentuan hanya akan menyesuaikan dengan level perkembangan dari ekonomi anggota ARFP sebelumnya. Sementara itu, definisi produk KIK/CIS perlu disusun dengan seksama, mengingat perbedaan definisi produk di masing-masing ekonomi anggota APEC.

Bagi operator saham di Indonesia nampaknya persyaratannya terlalu sulit untuk bisa bergabung dalam ARFP, hal ini karena standar persyaratan kualifikasi yang tinggi, sehingga akan sedikit sekali jumlah Manajer Investasi di Indonesia yang dapat memanfaatkan skema ARFP ini.

Demikian pula kendala lain jika nanti memutuskan untuk bergabung dalam ARFP, mengingat ketentuan yang mensyaratkan suatu ekonomi anggota APEC bergabung dalam ARFP adalah bukan ekonomi yang digolongkan ke dalam daftar high risk and non-cooperative jurisdictions pada Financial Action Task Force (FATF), dimana Indonesia, bersama dengan Myamar, saat ini masih merupakan dua negara di kawasan Asia-Pasifik yang masuk dalam daftar tersebut. Apabila tidak ikut maka industri keuangan kita tidak bisa mengimbangi perkembangan terbaru dari jaringan perdagangan reksa dana lintas batas, namun di lain sisi kalau ikut maka dampak negatif masuknya penjualan saham reksadana dari luar perlu diantisipasi lebih lanjut. Kalaupun Indonesia ingin lebih go internasional seyogyanya dimulai dari scope kawasan yang lebih kecil yakni ASEAN terlebih dahulu, kemudian kalau sudah dirasa industri keuangan tersebut kuat baru lanjut ke kawasan yang lebih luas seperti APEC. Sehingga perlu dikaji lebih jauh seberapa besar manfaat atau kerugian dari keterlibatan Indonesia dalam ARFP di masa mendatang.

Jalan Panjang Menuju Asia Region Fund Passport

Indonesia dalam Pembentukan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB)

Gagasan pembentukan Asian Infrastructure Asia Investment Bank ( AIIB ) dicetuskan oleh Xi Jinping, Presiden China, sebelum pertemuan APEC Oktober 2013 di Bali. Usulan ini cukup beralasan dengan ide dasar mempercepat pembangunan dan integrasi ekonomi di Asia dan mendorong pembangunan infrastruktur dan pembangunan kawasan Asia. Tujuan pembentukan AIIB adalah (i) untuk mendukung konektivitas, integrasi, dan meningkatkan perekonomian secara keseluruhan serta meningkatkan daya saing negara-negara Asia (ii) untuk memenuhi gap dalam pembiayaan infrastruktur yang tidak dapat dipenuhi oleh Bank Pembangunan Multilateral lain.

Dari sisi ekonomi, RRT melihat ada permintaan pendanaan yang besaryang belum terpenuhi untuk pembangunan infrastruktur, terutama di negara berkembang di Asia. Pada tahun 2011 , OECD memperkirakan bahwa kebutuhan infrastruktur global selama dua dekade mendatang  sekitar US $ 50 triliun. The Asian Development Bank (ADB) memperkirakan bahwa negara-negara berkembang di Asia perlu berinvestasi US $ 8 triliun pada tahun 2010-2020  untuk mengimbangi kebutuhan infrastruktur yang diharapkan. Pasokan tabungan yang dihasilkan di Asia lebih dari cukup untuk mulai memenuhi beberapa permintaan untuk infrastruktur.

Dari sisi geopolitik RRT ingin meningkatkan pengaruhnya untuk memainkan peran yang lebih besar di lembaga keuangan internasional. Tentunya hal ini butuh dukungan dari negara-negara di Asia untuk menjadi founding member AIIB tersebut.

Ada ruang untuk bank pembangunan baru , khusus dalam pembiayaan infrastruktur ekonomi skala besar dengan persyaratan komersial , selama ini Indonesia melakukan kerja sama bank-bank pembangunan multilateral yang ada baik melalui Bank Dunia, ADB ataupun IDB.

Indonesia terlibat aktif dalam Pertemuan Konsultasi Multilateral AIIB baik di tingkat Menteri dan Deputi Menteri. Pada level pertemuan tingkat Menteri Keuangan, Indonesia hadir dalam pembahasan pembentukan AIIB di Astana Kazakhtsan. Pada pertemuan Konsultasi Pertama tanggal 24 Januari 2014 membahas Memorandum of Understanding (MoU). Pertemuan ini dihadiri oleh 15 Negara, yang terdiri dari 10 Negara ASEAN, RRT, Pakistan, Mongolia, Sri Langka, dan Korea Selatan. Pada pertemuan pertama ini Delegasi RI terdiri dari perwakilan dari Kementrian Keuangan, Bappenas dan Menko Perekonomian. Pertemuan Konsultasi Multilateral kedua tanggal 28 Maret 2014, membahas mengenai perkembangan elemen kunci MoU Pembentukan AIIB, serta besaran kontribusi dimana RRT sebagai inisiator berkomitmen untuk berkontribusi sebesar 50% dari authorised capital—USD50 Miliar. Pada pertemuan Konsultasi Multilateral Ketiga tanggal 9-10 Juni 2014 dihadiri oleh 22 Negara. Pertemuan ini membahas mengenai jumlah authorised capital menjadi USD100 Miliar. RRT mengusulkan Beijing sebagai lokasi kantor pusat AIIB. Pertemuan Konsultasi Multilateral Keempat tanggal 7-8 Agustus 2014. Jumlah Negara yang hadir berjumlah 20 negara. RRT mengusulkan besaran kontribusi berdasarkan GDP dari ke-20 potensial founding member. RRT membuka kembali proses bidding lokasi kantor pusat.Dikarenakan Indonesia belum bisa menyatakan komitmen untuk bergabung menandatangani MoU, maka Indonesia tidak hadir dalam Pertemuan Konsultasi Multilateral Kelima pada tanggal 26-28 September 2014.

Di antara pertemuan Pertemuan Konsultasi tersebut, Indonesia juga aktif dalam menginisiasi Kaukus ASEAN mengenai pembentukan AIIB. Pada pertemuan Kaukus ASEAN pertama di Makati, tanggal 20 Mei 2014. Dilanjutkan pada tanggal 7 Juli 2014, Indonesia mengundang para Wakil Menteri Negara-negara ASEAN untuk membahas Pertemuan Kaukus ASEAN ke- 2 di Jakarta. Kaukus sepakat bahwa ASEAN harus memiliki keterwakilan yang kuat di AIIB. Untuk itu, Kaukus sepakat untuk mendorong penggunaan mekanisme konstituensi dalam tata kelola AIIB. Indonesia juga mengusulkan Kaukus ASEAN berlangsung sebelum pertemuan konsultasi multilateral di Beijing pada tanggal 7 Agustus 2014. Indonesia, Malaysia dan Thailand ditunjuk untuk menyampaikan hasil Kaukus kepada RRT.

Pada tanggal 24 Oktober 2014, 21 negara telah menandatangani MoU pendirian AIIB: 9 negara ASEAN (minus Indonesia), Bangladesh, India, Kazakhstan, Kuwait, Mongolia, Nepal, Oman, Pakistan, Qatar, Sri Lanka, Uzbekistan, dan RRT. Dibentuk Multilateral Interim Secretariat (MIS) yang bertugas untuk menyusun rancangan Articles of Agreement (AoA) dan memberikan dukungan teknis terkait dengan proses negosiasi AoA. Mr. Jin Liqun ditunjuk sebagai Sekretaris Jenderal MIS.

Ada enam Elemen Kunci Dalam MoU AIIB yakni (i) mandat, (ii) operasional, (iii) keanggotaan, (iv) Penyertaan Modal, (v) tata kelola dan (vi) headquarter. Mandat AIIB yakni mempercepat pembangunan ekonomi, menciptakan kesejahteraan dan meningkatkan konektivitas infrastruktur di Asia dengan berinvestasi dalam sektor infrastruktur dan sektor produktif lainnya yang dinilai tepat; dan Mendukung kerja sama dan kemitraan regional dalam menghadapi tantangan pembangunan

Hal lain yang perlu digarisbawahi bahwa salah satu point dalam MoU adalah non legally binding. Selain itu penandatangan MoU merupakan potential founding member dan bukan otomatis menjadi founding member. Hal ini juga berarti bahwa masih ada proses lebih lanjut dimana setelah penandatanganan MoU, untuk melangkah menjadi sebuah perjanjian atau agreement akan dibahas dengan anggota parlemen masing-masing negara, dalam hal ini dengan DPR.

Besaran Modal Awal AIIB Authorized capital sebesar USD 100 miliar. Authorized capital sebelumnya sebesar USD 50 miliar. Besaran modal USD 100 Miliar tersebut dibagi menjadi 2 yaitu: USD 50 Miliar pertama akan dibayar oleh 22 Founding Members, dan sisanya dibayarkan oleh anggota lainnya yang akan masuk belakangan dengan Paid in capital sebesar 20% dari Authorized capital sebelumnya. Penyertaan Anggota regional: tidak kurang dari 75% dan bukan anggota regional: tidak lebih dari 25% Alokasi modal anggota regional didasarkan pada besaran GDP.

Pada pertemuan bilateral antara Presiden RRT dan Presiden Indonesia di sela-sela pertemuan APEC tanggal 9 November 2014 di Beijing, membahas masalah keterlibatan Indonesia dalam AIIB. Presiden RI menyatakan niatnya untuk bergabung dan menandatangani MoU pembentukan AIIB. Hal tersebut ditindaklanjuti dengan penandatanganan MoU AIIB yang dilakukan oleh Menteri Keuangan pada tanggal 25 November 2014, bertempat di Ruang Rapat Menteri Keuangan, Gedung Djuanda I, Kementerian Keuangan. Penandatanganan dilakukan dengan disaksikan oleh Dubes Tiongkok untuk Indonesia, Xie Feng dan dihadiri oleh Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika, Kementerian Luar Negeri, Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementrian Keuangan beserta beberapa pejabat terkait dari Kementerian Keuangan dan Kementerian Luar Negeri Indonesia. Indonesia merupakan negara terakhir yang menandatangani MoU AIIB setelah 21 negara lainnya menandatangani MoU tersebut pada tanggal 24 Oktober 2014.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Pertimbangan bergabungnya Indonesia dalam AIIB yakni (i) Diharapkan dapat memperkuat kerja sama bilateral kedua negara (RI dan RRT); (ii) menjadikan sumber pendanaan baru bagi pembangunan infrastruktur Indonesia; (iii) Peran Indonesia dalam forum internasional akan semakin meningkat. Di sisi lain, terdapat peluang memainkan peranan strategis dalam struktur organisasi AIIB. Melalui peranan strategis tersebut, Indonesia memiliki kesempatan yang baik untuk menentukan kebijakan dan program kerja AIIB yang mendukung kepentingan nasional.

Dengan penandatanganan MoU ini, maka Indonesia menjadi salah satu potential founding member AIIB diantara 22 negara lainnya. Tahapan selanjutnya setelah penandatanganan MoU ini adalah penyusunan Article of Agreement (AoA) AIIB. AoA ini akan menjadi dasar pendirian dan operasional AIIB yang bersifat legally binding. Untuk memfasilitasi proses perundingan penyusunan AoA AIIB, potential founding member telah sepakat membentuk Multilateral Interim Secretariat (MIS) yang dipimpin oleh  seorang Sekjen. Dan masing-masing negara menentukan chief negotiator.

Tahapan Pembahasan pembentukan AIIB selanjutnya adalah negosiasi dengan negara-negara lainnya yang tergabung dengan AIIB. Para Chief Negotiator akan bertemu secara rutin untuk membahas rancangan AoA (Article of Agreement) dan isu-isu lainnya terkait dengan pembentukan AIIB. AoA  akan disusun secara bersama-sama oleh 22 negara (termasuk Indonesia) yang akan menunjuk Chief Negotiator dan Alternate Chief Negotiator.

Indonesia dalam Pembentukan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB)

Dampak Pendapatan & Harga Rokok Terhadap Tingkat Konsumsi Rokok Pada Rumah Tangga Miskin di Indonesia

*ditulis bersama Piping Setyo H. dimuat dalam jurnal BPPK (rumus tidak dicantumkan)

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Konsumsi tembakau sering kali menciptakan lingkaran setan kemiskinan. Konsumsi tembakau dapat meningkatkan kemiskinan karena sumber pendapatan keluarga miskin yang terbatas justru dibelanjakan untuk konsumsi tembakau, dan bukan untuk kebutuhan pokok, seperti makanan, biaya pendidikan anak, biaya kesehatan dan upaya meningkatkan gizi anak-anak dan keluarga (Irawan, 2005;2). Hal senada disampaikan oleh Ahsan (2012) bahwa konsumsi tembakau merupakan perangkap kemiskinan. Bagi keluarga miskin, sedikit saja pengalihan sumber pendapatan yang terbatas akan berdampak besar terhadap status kesehatan dan gizi mereka.

Ancaman konsumsi tembakau untuk kesehatan, ekonomi, dan sosial masyarakat kini semakin nyata. Tingginya prevalensi perokok di Indonesia dewasa ini sangat memprihatinkan. Seperti yang dilansir Bisnis Indonesia (2 Januari 2012) bahwa rokok kretek filter memberikan sumbangan terbesar kedua pada Garis Kemiskinan yang dihitung oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Sungguh mengkhawatirkan bahwa di dalam pengeluaran makanan, banyak penduduk miskin yang membelanjakan pendapatannya untuk hal-hal yang berdampak buruk bagi kesehatan diantaranya pengeluaran untuk rokok.

Dalam upaya mengendalikankonsumsi rokokdiperlukanpemahaman terhadap hubungan antara kemiskinan dan konsumsi rokok serta fakta terkait dengan rokok di Indonesia. Penelitian tentang pola konsumsi rokok di rumah tangga miskin masih sangat terbatas (Firdaus dan Suryaningsih(2010); Triana (2011)).

Pada tahun 2010, 190,260 penduduk Indonesia meningal karena penyakit terkait konsumsi tembakau atau 12,7 persen dari total kematian (Kosen, 2012). Kosen juga menjelaskan bahwa secara makro, pengeluaran tembakau di Indonesia tahun 2010 menyebabkan pengeluaran yang tidak perlu sebesar 231,27 trilyun rupiah, yang terdiri dari 138 trilyun rupiah untuk pembelian rokok, 2,11 trilyun rupiah untuk biaya perawatan medis rawat inap dan rawat jalan, dan 91,16 trilyun rupiah kerugian akibat kehilangan produktivitas karena kematian premature dan morbiditas-disabilitas. Sementara realisasi penerimaan cukai hasil tembakau pada tahun 2010 hanya sebesar 63 trilyun rupiah.

Rumah tangga di Indonesia yang mengkonsumsi rokok pada tahun 2003 mencapai 60 persen.  Pada tahun 2003-2006 pengeluaran rumah tangga per bulan untuk membeli rokok meningkat, dari 42,4 ribu rupiah pada tahun 2003 menjadi 52,3 ribu rupiah pada tahun 2006. Sementara, pada tahun 2006 pengeluaran rumah tangga termiskin untuk rokok hanya terkalahkan oleh pengeluaran untuk padi-padian.

Tabel 1:Urutan Lima Besar Pengeluaran Rumah  Tangga Termiskin (%), di Indonesia, Tahun 2003-2006

No. Jenis Pengeluaran Tahun
2003 2004 2005 2006
1 Padi-padian 19,01 19,19 20,16 22,10
2 Tembakau dan Sirih (termasuk rokok) 11,78 11,55 12,43 11,89
3 Listrik, Telpon dan BBM 8,29 9,08 6,68 10,95
4 Sewa dan Kontrak 7,37 8,84 8,31 8,82
5 Ikan 6,15 6,43 6,89 6,75

Sumber: Diolah dari Susenas 2003-2006

Hasil studi Irawan (2005) dan Ahsan (2012) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat kecanduan perokok, semakin miskin kondisi perekonomian keluarga. Porsi belanja rokok  yangsemakin besar akan mengurangi kemampuan keluarga untuk mencukupi kebutuhan lain, seperti makanan, biaya pendidikan anak, biaya kesehatan dan upaya meningkatkan gizi anak-anak dan keluarga, pengobatan, terlebih menabung. Hasil studi yang hampir sama dikemukakan Efroymson, et.al. (2001), pengeluaran untuk konsumsi rokok akan mengakibatkan kemiskinan dan secara signifikan menurunkan standar hidup keluarga miskin.

Berbagai kebijakan diambil oleh pemerintah untuk mengendalikan konsumsi rokok, diantaranya dengan menaikkan cukai rokok, sehingga harga rokok dari tahun ke tahun terus meningkat. Pemerintah terus berusaha menaikan cukai yang diharapkan dapat menurunkan konsumsi rokok masyarakat secara efektif. Di sisi lain program pengentasan kemiskinan dilakukan dengan cara menaikkan pendapatan mereka. Namun, kenaikan pendapatan tersebut diduga akan diikuti kenaikan konsumsi rokok rumah tangga.

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsumsi rokok rumah tangga miskin ketika terjadi kenaikan pendapatan dan harga rokok, serta untuk mengetahui belanja komoditi yang dikorbankan rumah tanggamiskin ketika konsumsi  rokok meningkat.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Rokok

Studi yang dilakukan Ross dan Chaloupka (2002) menerangkan bahwa konsumsi rokok dipengaruhi oleh harga rokok, harga barang lain, dan pendapatan per kapita. Sementara hasil studi Hidayat dan Thabrany (2010) menyatakan bahwa harga barang lain yang dapat mempengaruhi konsumsi rokok adalah alkohol, serta variabel status pekerjaan. Hasil tersebut sejalan dengan Wang, et.al.(2005) yang menemukan bahwa di Cina, alkohol merupakan komplemen dari rokok. Hal tersebut ditunjukkan dari adanya peningkatan persentase konsumsi rokok ketika pengeluaran untuk alkohol meningkat.

Hasil yang sedikit berbeda dikemukanan oleh Wilkins, et.al.(2000), yang menyatakan bahwa variabel karakteristik individu dan rumah tangga yang mempengaruhi konsumsi rokok adalah umur, pendidikan, dan agama, sedangkan variabel pengendalian tembakau yang dapat mempengaruhi konsumsi rokok diantaranya adalah adanya fasilitas kesehatan dan akses terhadap iklan lewat media elektronik. Hasil penelitian yang dilakukan Harahap (2003), menyatakan  bahwa faktor sosial demografi yang secara signifikan mempengaruhi jumlah konsumsi rokok adalah umur, pendidikan, jenis kelamin dan status perkawinan.

Penelitian mengenai konsumsi rokok pada rumah tangga miskin di Pulau Jawa yang telah dilakukan oleh Firdaus dan Suryaningsih (2010) serta Triana (2011)  menggunakan model dan variabel sosial demografi yang berbeda. Menurut Firdaus dan Suryaningsih (2010) faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi rokok rumah tangga miskin adalah pendapatan rumah tangga sebulan, jumlah anggota rumah tangga yang dewasa (18 tahun ke atas), dan konsumsi non rokok rumah tangga miskin sebulan. Sementara menurut Triana (2011) faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi rokok adalah jumlah anggota rumah tangga, tipe wilayah tempat tinggal, dan pendidikan kepala rumah tangga sebagai variabel kontrol dalam model konsumsi rokok.

Menurut Ulfah (2012), ternyata salah satu faktor yang menyebabkan pesatnya konsumsi rokok adalah kapasitas pengetahuan yang tidak memadai tentang dampak negatif atau bahaya rokok bagi kesehatan. Hal tersebut didasarkan pada pendataan laju pertumbuhan konsumsi rokok dari masyarakat tingkat elit sampai ke bawah. Data menunjukkan adanya penurunan konsumsi rokok di kalangan masyarakat elit dengan kapasitas pengetahuan yang memadai, dan justru meningkat secara signifikan pada masyarakat strata rendah yang merasa tabu terhadap pengetahuan tentang bahaya rokok.

Fungsi Permintaan Konsumen

Permintaan konsumen adalah jumlah barang yang diminta (diinginkan)  oleh konsumen pada berbagai tingkat harga dan periode waktu tertentu. Apabila terjadi kenaikan harga pada suatu barang, maka jumlah barang yang diminta oleh konsumen akan turun, ceteris paribus. Teori permintaan konsumen neoklasik menjelaskan bahwa konsumen baik individu maupun rumah tangga harus membuat keputusan untuk memilih kombinasi barang yang dikonsumsi.Namun teori permintaan konsumen neoklasik mempunyai kelemahan dalam menjelaskan perilaku konsumen (Moeis, 2003), sehingga dianggap perlu untuk memasukkan faktor sosial demografi ke dalam sistem permintaan neoklasik.

Untuk mengukur persentase perubahan permintaan suatu barang karena perubahan permintaan barang lain maupun pendapatan, digunakan ukuran elastisitas permintaan. Menurut teori konsumen, ada 3 jenis elastisitas permintaan, yaitu:

  1. Elastisitas pendapatan adalah ukuran yang menunjukkan respon permintaan konsumen akibat terjadinya perubahan pendapatan konsumen.
  1. Elastisitas harga sendiri adalah ukuran yang menunjukkan respon permintaan konsumen akibat terjadinya perubahan harga komoditi itu sendiri.
  1. Elastisitas harga silang adalah ukuran yang menunjukkan respon permintaan konsumen akibat terjadinya perubahan harga komoditi lain. Elastisitas tersebut adalah:

Ada banyak faktor yang mempengaruhi tingkat elastisitas harga, antara lain tingkat substitusi, jumlah pemakai, proporsi kenaikan harga terhadap pendapatan konsumen, jangka waktu, dan tingkat harga. Semakin sulit mencari substitusi suatu barang, permintaan terhadap barang tersebut semakin inelastis dan sebaliknya. Jika harga bergerak pada kurva permintaan yang lebih tinggi, maka permintaan akan cenderung lebih elastis daripada jika harga bergerak pada kurva permintaan yang lebih rendah.

Almost Ideal Demand System

Model dinamis permintaan rokok menghadapi permasalahan bahwa harga dan kualitas rokok sangat bervariasi, sehingga menimbulkan permasalahan endogenitas. Salah satu model permintaan rokok yang dinamis dan dapat digunakan untuk mengatasi masalah endogenitas yang disebabkan oleh adanya variasi harga adalah model LA/AIDS (Chen and Xing, 2011). Dalam studi ini peneliti menggunakan model LA/AIDS karena model tersebut secara teori maupun empiris mudah dan fleksibel untuk diaplikasikan (Lewbel, 1989 dalam Moeis, 2003).

Model AIDS yang dikembangkan oleh Deaton and Muellbauer, (1980) diturunkan dari suatu fungsi utilitas dengan aproksimasi order kedua (second order approximation) dari fungsi utilitas. Penggunaan indeks harga membuat model AIDS berbentuk non linier dan sulit untuk diestimasi, sehingga indeks harga akan diestimasi dengan menggunakan Indeks Harga Stone, Dengan menggunakan Indeks Harga Stone maka persamaan menjadi linier dalam harga dan pengeluaran.Fungsi tersebut dikenal sebagai aproksimasi linier dari AIDS atau LA/AIDS. Model LA/AIDS banyak digunakan oleh para peneliti  (Deaton (1988); Moeis (2003)). Beberapa kelebihan model LA/AIDS diantaranya adalah:

  1. Model mempertimbangkan keputusan konsumen dalam menentukan kelompok komoditi secara bersama-sama sehingga hubungan dua arah atau lebih dari komoditi-komoditi tersebut dapat ditentukan. Hal ini sesuai dengan fenomena aktual yang terjadi bahwa pemilihan suatu komoditi dilakukan oleh konsumen secara bersama-sama.
  2. Model lebih konsisten dengan data pengeluaran rumah tangga yang tersedia, sehingga estimasi permintaan bisa dilakukan tanpa data kuantitas.
  3. Konsisten dengan teori permintaan karena adanya restriksi yang dimasukkan ke dalam model dan dapat digunakan untuk menguji restriksi model.
  4. Karena modelnya linier maka parameternya mudah diestimasi dan lebih efisien.

Penelitian Terdahulu

Studi di Indonesia yang dilakukan oleh De Beyer dan Yurekli (2001) menggunakan model log linier dan data agregat time series tahun 1980 sampai 1995 melaporkan bahwa nilai elastisitas harga sebesar -0,51 dan elastisitas pendapatan sebesar 0,35. Studi yang dilakukan Djutaharta, et.al.(2003), melakukan estimasi dengan menggunakan data tahunan (1970 sampai 2001) dan data bulanan (1996 sampai 2001).Variabel yang dimasukkan dalam model diantaranya adalah faktor peringatan kesehatan yang dicantumkan pada bungkus rokok di Indonesia, krisis ekonomi, dan trend waktu. Model yang dikembangkan tersebut menghasilkan nilai elastisitas harga yang sedikit lebih rendah yaitu antara -0,33 sampai -0,47, dan elastisitas pendapatan antara 0,14 sampai 0,51. Pada periode krisis, konsumsi rokok justru lebih besar 22 persen dibandingkan sebelum krisis.Alasan kenaikan konsumsi tersebut terkait dengan stres perokok karena krisis. Penyertaan variabel dummy peringatan kesehatan pada bungkus rokok dilaporkan tidak signifikan.

Guindon, et.al., (2003) menggunakan data Indonesia tahun 1970-2000 dengan analisis runtun waktu. Model yang digunakan adalah model konvensional yang tidak memperhitungkan faktor adiksi, hasil studi menunjukkan nilai elastisitas harga jangka pendek sebesar -0,29 dan elastisitas pendapatan sebesar 0,72. Jika data tersebut diaplikasikan pada model myopic addictiondengan variabel lag untuk konsumsi rokok maka menghasilkan nilai elastisitas harga sebesar -0,32, dan elastisitas pendapatan sebesar 0,32. Hasil studi yang dilakukan oleh Hidayat dan Thabrany (2010), menggunakan agregat data panel dari IFLS 1993-2000, mendukung model myopic addiction. Elastisitas harga jangka pendek dan jangka panjang masing-masing adalah sebesar -0,28 dan -0,73.

Studi lain yang pernah dilakukan di Indonesia adalah studi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya konsumsi rokok individu dengan menggunakan model sample selection (Harahap, 2003). Studi tersebut menganalisis data individu berskala nasional yang diperoleh dari IFLS 1997.Hasil studi menemukan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya jumlah konsumsi rokok berbeda dengan faktor yang mempengaruhi partisipasi rokok.Harga rokok dan pendapatan memiliki hubungan yang signifikan dengan besarnya jumlah konsumsi rokok, dimana harga rokok berpengaruh negatif dan pendapatan berpengaruh positif terhadap konsumsi rokok.Variabel sosial demografi yang secara signifikan mempengaruhi jumlah konsumsi rokok adalah umur, pendidikan, jenis kelamin dan status perkawinan.

Analisis menggunakan data konsumsi tembakau pada tingkat rumah tangga memungkinkan eksplorasi yang lebih dalam menurut kelompok penduduk, umur, gender, pendapatan dan pendidikan (Barber, et.al., 2008). Adioetomo et.al.(2005) menggunakan data cross section tahun 1999 untuk menganalisis konsumsi tembakau secara lebih detail.Model yang digunakan adalah model Ordinary Least Square (OLS) dengan memasukkan harga rokok, pengeluaran rumah tangga, pengaruh cukai, wilayah, pulau terbesar, tempat tinggal, jenis kelamin, umur dan pendidikan sebagai variabel independen. Hasil studi melaporkan bahwa harga berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan rumah tangga dalam mengkonsumsi tembakau, tetapi harga mempengaruhi jumlah rokok yang dikonsumsi dengan elastisitas sebesar -0,60. Rumah tangga miskin lebih responsif terhadap perubahan harga, dengan elastisitas harga sebesar -0,70. Studi tersebut melaporkan adanya variasi harga yang cukup besar dalam data, terutama pada data cross section karena adanya bias sistematik dari data (Barber, et.al., 2008).

Penelitian yang dilakukan Firdaus dan Suryaningsih (2010) juga menggunakan regresi berganda dan metode estimasi OLS, untuk mengetahui fungsi konsumsi rokok pada rumah tangga miskin di Pulau Jawa.Dari hasil pengolahan data didapatkan bahwa variabel pendapatan, anggota rumah tangga dewasa dan konsumsi non rokok mempengaruhi tingkat konsumsi rokok di Pulau Jawa.Model yang dikembangkan menghasilkan kesimpulan bahwa konsumsi rokok di Pulau Jawa adalah elastis. Hasil tersebut bertentangan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Triana (2011) dengan menggunakan model LA/AIDS, yang menyebutkan bahwa elastisitas harga untuk komoditi rokok pada rumah tangga miskin di Pulau Jawa bersifat inelastis baik di perkotaan maupun di perdesaan dan trennya cenderung meningkat. Elastisitas harga silang komoditi rokok menyatakan adanya hubungan komplementer antara rokok dengan komoditi makanan pokok, lauk pauk, telekomunikasi dan pendidikan dan hubungan substitusi dengan komoditi makanan lainnya dan komoditi non makanan lainnya.Berdasarkan elastisitas pengeluaran maka komoditi rokok termasuk barang mewah.

Sejalan dengan studi Triana (2011), Barber, et.al.(2008) juga menyatakan bahwa permintaan rokok dikatakan bersifat inelastis, artinya persentase penurunan permintaan relatif lebih rendah daripada kenaikan harga. Dengan kata lain banyak perokok akan tetap melanjutkan kebiasaannya meskipun harus membayar harga yang cukup tinggi, tidak terkecuali bagi perokok yang berasal dari rumah tangga miskin.

Studi mengenai rokok di Cina yang dilakukan oleh Wang, et.al.(2006) bertujuan melihat dampak pengeluaran tembakau terhadap pola pengeluaran rumah tangga di perdesaan. Dengan menggunakan model fractional logit (flogit) dilakukan estimasi hubungan antara pengeluaran tembakau dengan 17 pengeluaran komoditi lainnya, dan dikontrol menggunakan karakteristik sosial ekonomi dan demografi rumah tangga.

Hasil studi Kyaing, et.al. (2005) menunjukkan bahwa konsumsi tembakau pada kelompok low-income berhubungan dengan pengeluaran rumah tangga yang digunakan untuk tembakau dan opportunity cost dari pengeluaran tersebut. Survei dilakukan pada kelompok low-income, dan menemukan bahwa rumah tangga yang mengkonsumsi tembakau menghabiskan uangnya lebih banyak untuk mengkonsumsi tembakau daripada untuk kesehatan, pendidikan, pakaian dan perumahan. Persentase pengeluaran untuk konsumsi rokok paling besar terjadi pada kelompok pendapatan paling rendah. Elastisitas harga dan konsumsitembakau berkorelasi negatif, atau dapat dikatakan bahwa peningkatan harga tembakau secara efisien dapat menurunkan penggunaan tembakau.

Hu, et.al.(2005) dan Liu, et.al.(2006) meneliti hubungan rokok dengan kemiskinan.  Kedua penelitian tersebut menggunakan model regresi pada data yang berbeda. Hu, et.al. (2005) menyimpulkan bahwa penurunan pengeluran rokok dapat menjadi sumber daya rumah tangga untuk konsumsi makanan, perumahan dan barang lain yang dapat meningkatkan standar hidup. Sementara Liu, et.al.(2006) menyatakan bahwa penurunan prevalensi rokok tidak hanya merupakan strategi untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, tetapi juga merupakan strategi untuk mengurangi kemiskinan. Studi lain di Cina adalah studi yang dilakukan oleh Chen dan Xing (2011). Studi tersebut mengestimasi elastisitas konsumsi tembakau dengan menggunakan model LA/AIDS. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa harga rokok merupakan faktor penting yang mempengaruhi kebiasan merokok.

Berbagai penelitian mengenai tembakau dan rokok juga berkembang di India, diantaranya adalah Guptadan Sanker (2003) membahas berbagai isu mengenai tembakau di India. Studi Neufeld, et.al. (2004),  menyatakan bahwa penggunaan alkohol dan tembakau di India berkaitan dengan umur, jenis kelamin dan kemiskinan. Sementara John (2005) dan (2008) menganalisis dampak pola konsumsi tembakau terhadap kesehatan dan alokasi sumber daya serta kecukupan gizi rumah tangga.

Siahpush (2003) dengan menggunakan metode regresi logistik melihat hubungan antara status sosial ekonomi dan pengeluaran tembakau di Australia.Metode yang digunakan untuk mengestimasi efek pengeluaran tembakau adalah metode OLS. Hasil studi menyimpulkan bahwa status sosial ekonomi yang rendah mempunyai pengeluaran untuk tembakau yang lebih tinggi. Diantara rumah tangga perokok, rumah tangga yang mempunyai status sosial ekonomi terendah menghabiskan lebih banyak dananya untuk tembakau.

Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:

  1. Rumah tangga miskin akan meningkatkan konsumsi rokoknya jika ada peningkatan pendapatan.
  2. Rumah tangga miskin akan mengurangi konsumsi rokok, jika ada kenaikan harga rokok.
  3. Rumah tangga miskin akan mengurangi konsumsi barang lain, jika pengeluaran untuk konsumsi rokok meningkat.

III. METODE PENELITIAN

Sumber Data

Penulis menggunakan data Susenas Panel tahun 2008-2010 dan Potensi Desa (Podes) 2008. Data Susenas Panel 2008-2010 mencakup sampel 68.800 rumah tangga, 67.174 rumah tangga pada tahun 2009, dan 66.516 rumah tangga pada tahun 2010. Data Susenas dipilih karena dapat memperlihatkan informasi mengenai karakteristik sosial ekonomi dan sosial demografi rumah tangga, sedangkan data Podes digunakan untuk memperoleh data mengenai akses rumah tangga terhadap informasi maupun fasilitas kesehatan.

Pengelompokkan tersebut diperlukan untuk memudahkan peneliti dalam melakukan estimasi dan analisis. Selain itu dengan dilakukannya pengelompokkan tersebut diharapkan dapat mengurangi adanya bias akibat pengamatan yang kosong karena rumah tangga tidak mengkonsumsi jenis pangan tertentu pada waktu satu minggu periode survei. Adanya rumah tangga yang tidak mengkonsumsi salah satu komoditi pangan, akan memungkinkan terjadinya selectivity bias data (Moeis, 2003).

Penggunaan variabel bebas harga-harga (pi) dan tidak bebas proporsi pengeluaran (wi) kelompok komoditi secara bersama-sama, akan mengakibatkan bias simultan (simultaneity bias) dan jika digunakan metode OLS, maka akan menghasilkan estimator yang bias. Untuk menghindari terjadinya simultaneity bias dan mengkoreksi harga-harga guna mengatasi quality effect dan quantity premium terhadap rumah tangga sampel yang mengkonsumsi suatu komoditi, maka digunakan instrument variable (Moeis, 2003). Hal tersebut dilakukan dengan mencari harga estimasi masing-masing komoditi untuk setiap rumah tangga sampel, dengan asumsi setiap rumah tangga belanja pada pasar yang sama untuk setiap desa dan setiap desa hanya memiliki satu pasar. Langkah pertama, dilakukan penghitungan logaritma natural dari harga rata-rata setiap komoditi di desa ( ) dan menghitung deviasi dari log harga setiap komoditi ( ) yang dibayar oleh setiap rumah tangga terhadap rata-rata harga setiap komoditi di setiap desa.Setelah log deviasi harga diperoleh, selanjutnya dilakukan estimasi regresi deviasi harga dengan metode OLS menurut model ekonometri, sebagai berikut:

Setelah model regresi deviasi harga diperoleh, maka dilakukan estimasi log deviasi harga ( ) dari setiap komoditi untuk setiap rumah tangga baik rumah tangga yang mengkonsumsi ataupun tidak mengkonsumsi komoditi tersebut.

Dalam penelitian ini komoditi pengeluaran rumah tangga dikelompokkan menjadi 11 kelompok. Karena masih terdapat banyak rumah tangga yang tidak mengkonsumsi komoditi tertentu setelah dilakukan pengelompokkan, maka dilakukan prosedur two step Heckman. Prosedur two step Heckman dilakukan dengan cara menambahkan veriabel bebas Invers Mills Ratio (IMR) pada model utama. Untuk mendapatkan variabel IMR dilakukan tahapan sebagai berikut:

Pertama mengetimasi peluang rumah tangga mengkonsumsi suatu kelompok komoditi dengan regresi probit. Model probit menggunakan variabel tidak bebas konsumsi setiap komoditi pengeluaran (konsumsi) yaitu bernilai 1 jika mengkonsumsi kelompok komoditi i dan bernilai 0 jika tidak mengkonsumsi. Sedangkan variabel bebas yang digunakan adalah harga-harga, total pengeluaran rumah tangga, dan karakteristik sosial demografi rumah tangga.

Kemudian dilakukan estimasi nilai probit untuk setiap rumah tangga dan hasilnya digunakan untuk menghitung IMR.

Kedua menghitung nilai IMR yaitu dengan membandingkan antara probability density function (PDF) dengan cumulative distribution function (CDF) normal standar. Dengan mengacu pada Heien dan Pompelli (1998) maka model dasar LA/AIDS diperluas dengan menggunakan variabel sosial demografi. Variabel sosial demografi yang digunakandalam penelitian inidan diduga mempengaruhi besarnya konsumsi rokok pada rumah tangga miskin adalah umur kepala rumah tangga, lama sekolah kepala rumah tangga, persentase anggota rumah tangga yang berumur 18 tahun ke atas, pekerjaan kepala rumah tangga, akses terhadap informasi, adanya fasilitas kesehatan, dan daerah tempat tinggal.

Variabel presentase jumlah anggota rumah tangga yang berumur 18 tahun ke atas digunakan untuk melihat persentase anggota rumah tangga yang sudah dewasa dan sebagai proksi dari umur pertama kali merokok. Variabel tersebut sering digunakan karena adanya keterbatasan data individu. Secara ekonomi semakin besar persentase rumah tangga yang dewasa maka pengeluaran rumah tangga yang digunakan untuk konsumsi rokok akan semakin besar pula.

Mengacu pada persamaan di atas maka elastisitas harga sendiri (εii), elastisitas harga silang (εij), dan elastisitas pendapatan/pengeluaran (εiI) dapat dihitung.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsumsi Rumah Tangga

Berdasarkan persentase rumah tangga yang mengkonsumsi komoditi tertentu, maka terlihat bahwa selama tiga tahun pengamatan, konsumsi rumah tangga miskin untuk komoditi yang merupakan sumber protein tinggi masih rendah. Rumah tangga miskin lebih mengutamakan konsumsi untuk karbohidrat atau kalori, untuk sekedar menghilangkan rasa lapar tanpa memperhatikan kebutuhan nutrisi makanan yang harus dikonsumsi.

Kelompok komoditi terbanyak yang tidak dikonsumsi oleh rumah tangga miskin adalah kelompok minuman beralkohol, yaitu lebih dari 98 persen pada tahun 2008, 2009, maupun 2010. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya kesadaran masyarakat untuk tidak mengkonsumsi alkohol.

Sementara kelompok non makanan lainnya dikonsumsi oleh semua rumah tangga miskin. Oleh karena semua rumah tangga mempunyai pengeluaran untuk konsumsi non makanan lainnya, maka tidak terjadi selectivity bias pada kelompok ini, sehingga tidak dilakukan regresi probit pada kelompok ini.

Tabel 1: Persentase Rumah Tangga Miskin yang Mengkonsumsi dan Tidak MengkonsumsiKelompok Komoditi

No. Kelompok Komoditi 2008 2009 2010
Konsumsi Tidak Konsumsi Tidak Konsumsi Tidak
1 Padi-padian 98,51 1,49 98,80 1,20 98,94 1,06
2 Ikan/Udang/Cumi/Daging/Telur/Susu 90,99 9,01 90,34 9,66 91,35 8,65
3 Sayur&Buah 99,22 0,78 99,43 0,57 99,07 0,93
4 Bahan Minuman 92,19 7,81 92,52 7,48 92,18 7,82
5 Minuman Beralkohol 1,14 98,86 1,21 98,79 1,03 98,97
6 Rokok 46,33 53,67 44,23 55,77 47,21 52,79
7 Tembakau & Sirih Lainnya 34,51 65,49 33,78 66,22 28,40 71,60
8 Makanan Lainnya 99,96 0,04 99,98 0,02 99,98 0,02
9 Biaya Kesehatan 97,00 3,00 96,46 3,54 95,10 4,90
10 Biaya Pendidikan 66,19 33,81 66,98 33,02 68,51 31,49
11 Non Makanan Lainnya 100,00 0,00 100,00 0,00 100,00 0,00

Sumber: Diolah dari Susenas Panel 2008-2010

Rumah tangga yang tidak mempunyai pengeluaran untuk rokok menunjukkan bahwa rumah tangga tersebut tidak mengkonsumsi rokok atau tidak ada anggota rumah tangga tersebut yang mengkonsumsi rokok. Persentase rumah tangga miskin yang merokok pada tahun 2008 mencapai 46,33 persen, sedikit menurun pada tahun 2009 dan meningkat kembali pada tahun 2010 menjadi 47,21 persen. Pada tahun 2009 persentase rumah tangga miskin yang mengkonsumsi rokok menurun karena adanya kenaikan harga dan kemudian meningkat kembali pada tahun 2010 meskipun terjadi kenaikan harga rokok pada awal tahun 2010.

Dilihat dari rata-rata unit value-nya harga rokok yang dibeli oleh rumah tangga miskin pada tahun 2008, 2009, dan 2010, masing-masing adalah sebesar 196,44 rupiah, 391,10 rupiah, dan 502,73 rupiah. Standar deviasi unit value untuk rumah tangga miskin sangat bervariasi dan cukup tinggi pada semua kelompok komoditi. Hal tersebut menggambarkan adanya heterogenitas pada unit value.Keheterogenan ini bisa disebabkan oleh efek kualitas barang atau jumlah barang yang dibeli (Moeis, 2003). Pengaruh ini akan dihilangkan dengan melakukan estimasi deviasi dari logaritma harga yang selanjutnya akan diperoleh harga estimasi yang terbebas dari qualityeffect dan quantity premium.

Rumah tangga miskin yang mengkonsumsi rokok sekitar 40 persen.Rata-rata proporsi pengeluaran untuk rokok pada rumah tangga miskin berkisar antara 0,034-0,040.Harga rokok yang dikonsumsi oleh rumah tangga miskin relatif murah. Rendahnya rata-rata proporsi pengeluaran untuk rokok pada rumah tangga miskin sejalan dengan lebih rendahnya rata-rata unit value rokok pada rumah tangga miskin.

Variabel bebas yang digunakan dalam model LA/AIDS adalah harga per kelompok komoditi, total pengeluaran rumah tangga, dan variabel sosial demografi rumah tangga yang digunakan sebagai variabel kontrol. Variabel total pengeluaran, umur kepala rumah tangga, lama sekolah kepala rumah tangga, dan persentase anggota rumah tangga yang berumur 18 tahun ke atas merupakan variabel kontinu, sedangkan variabel status bekerja kepala rumah tangga, akses terhadap informasi, akses terhadap fasilitas kesehatan dan tipe daerah tempat tinggal  merupakan variabel dummy.

Karakteristik kepala rumah tangga yang diduga mempengaruhi permintaan rokok rumah tangga adalah umur, lama sekolah, dan status bekerja.Umur kepala rumah tangga diduga dapat mempengaruhi keputusan anggota rumah tangga untuk mengkonsumsi rokok. Pada tahun 2008 rata-rata umur kepala rumah tangga miskin adalah 47,82 tahun. Demikian pula tingkat pendidikan kepala rumah tangga juga diduga mempengaruhi cara rumah tangga untuk mengalokasikan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Dalam penelitian ini indikator yang digunakan untuk melihat tingkat pendidikan kepala rumah tangga adalah variabel lama sekolah. Rata-rata lama sekolah kepala rumah tangga miskin yaitu sekitar 4,59 tahun. Kepala rumah tangga miskin pada umumnya tidak tamat Sekolah Dasar.

Variabel total pengeluaran rumah tangga sebulan dalam penelitian ini digunakan sebagai proksi dari pendapatan rumah tangga. Hal ini disebabkan karena data pendapatan yang tidak tersedia. Sedangkan yang digunakan sebagai variabel bebas dalam estimasi model adalah logaritma natural dari pengeluaran rumah tangga sebulan (lny).

Rata-rata total pengeluaran sebulan untuk rumah tangga miskin pada tahun 2008 hanya sebesar 696.674,39 rupiah. Sementara pada tahun 2010, rumah tangga miskin mempunyai rata-rata pengeluaran sebulanmencapai  831.957,47 rupiah.

Rumah tangga miskin mempunyai akses terhadap informasi dan fasilitas kesehatanyang relatif rendah. Hal ini mungkin disebabkan oleh sebagian besar rumah tangga miskin tinggal di desa yang tidak mempunyai fasilitas kesehatan dan susah mendapatkan akses terhadap informasi. Bila dilihat dari tipe daerah tempat tinggal maka rumah tangga miskin yang tinggal di pedesaan mencapai 56 persen, atau lebih dari separuh rumah tangga miskin tinggal di daerah pedesaan. Menghindari terjadinya simultaneity bias serta mengoreksi quality effect dan quantity premium, maka digunakan variabel instrumen untuk memproksi harga (Moeis, 2003). Variabel instrumen ini diperoleh dengan mengkoreksi unit value dari quality effect dan quantity premium.Unit value dikoreksi dengan estimasi deviasi harga yang diperoleh dari regresi persamaan (12).

Variabel pengeluaran rumah tangga sebulan (lny) secara keseluruhan signifikan pada level 1 persen dan bertanda. Tanda positif dapat diartikan bahwa semakin besar pendapatan rumah tangga maka rumah tangga tersebut akan mengkonsumsi kelompok komoditi dengan kualitas yang lebih tinggi atau dengan unit value yang lebih mahal.

Variabel sosial demografi rumah tangga cukup banyak yang signifikan dalam menjelaskan variabel deviasi log harga rokok, hanya variabel akses terhadap informasi  dan akses terhadap fasilitas kesehatan yang kadang-kadang tidak signifikan. Hal ini berarti bahwa variabel akses terhadap informasi maupun akses terhadap fasilitas kesehatan kadang-kadang tidak berpengaruh terhadap mahal atau murahnya harga rokok yang dikonsumsi rumah tangga. Pada rumah tangga miskin tahun 2008, variabel akses terhadap informasi tidak signifikan mempengaruhi variabel deviasi log harga rokok.

Variabel status pekerjaan, akses terhadap informasi, akses terhadap fasilitas kesehatan, dan tipe daerah tempat tinggal tidak signifikan mempengaruhi harga rokok yang dikonsumsi rumah tangga miskin pada tahun 2009. Berarti bahwa variabel-variabel tersebut tidak akan berpengaruh terhadap mahal atau murahnya rokok yang dikonsumsi oleh rumah tangga miskin. Pada rumah tangga miskin tahun 2010, variabel akses terhadap informasi dan fasilitas kesehatan tetap tidak berpengaruh pada deviasi log harga rokok.

Variabel umur kepala rumah tangga miskin berpengaruh signifikan pada level 1 persen terhadap deviasi log harga rokok, namun tandanya negatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tua umur kepala rumah tangga maka harga rokok yang dibeli akan semakin murah.

Variabel sosial demografi lain yang signifikan dan bertanda negatif terhadap deviasi log harga adalah lama sekolah kepala rumah tangga dan tipe daerah tempat tinggal. Hal tersebut berarti bahwa kepala rumah tangga yang mempunyai pendidikan lebih tinggi justru akan membeli rokok dengan harga yang lebih murah. Rumah tangga miskin yang tinggal di daerah pedesaan juga cenderung akan membeli rokok dengan harga yang lebih murah dibandingkan rumah tangga miskin yang tinggal di daerah perkotaan.

Sedangkan variabel persentase anggota rumah tangga yang berumur 18 tahun ke atas dan status pekerjaan kepala rumah tangga berpengaruh signifikan dan bertanda positif terhadap deviasi log harga. Dapat diartikan bahwa semakin banyak anggota rumah tangga yang berumur 18 tahun ke atas dan kepala rumah tangga yang bekerja akanmempengaruhi rumah tangga miskin untuk membeli rokok dengan harga yang lebih mahal. Hal ini wajar karena jumlah anggota rumah tangga yang dewasa dan kepala rumah tangga yang bekerja akan mempunyai pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kepala rumah tangga yang tidak bekerja, sehingga mereka mempunyai kemampuan untuk membeli rokok dengan harga yang sedikit lebih mahal.

Estimasi Model Probit

Estimasi sistem permintaan dengan model LA/AIDS menggunakan observasi rumah tangga yang mempunyai nilai proporsi kelompok pengeluaran tidak sama dengan nol. Artinya observasi yang akan digunakan dalam estimasi model hanya rumah tangga yang mengkonsumsi kelompok komoditi saja. Tidak dilibatkannya rumah tangga yang tidak mengkonsumsi kelompok komoditi akan mengakibatkan estimasi yang bias, sehingga perlu dilakukan koreksi dengan memasukkan variabel Invers Mill’s Ratio (IMR) dalam persamaan model utama. Pada penelitian ini, IMR hanya dihitung pada sepuluh kelompok komoditi. IMR pada kelompok komoditi non makanan lainnya tidak dihitung.

IMR dihitung dengan menggunakan prosedur Two Step Heckman. Pada tahap pertama, peneliti melakukan estimasi peluang mengkonsumsi kelompok komoditi dengan model probit. Pada tahap kedua menghitung IMR berdasarkan estimasi nilai probit.Hal yang menarik untuk dianalisis dari estimasi regresi probit adalah perubahan peluang rumah tangga untuk mengkonsumsi (marginal effect) suatu kelompok komoditi akibat perubahan variabel-variabel bebasnya.

Variabel harga pada model probit untuk konsumsi rokok tahun 2008, baik variabel harga sendiri maupun harga silang pada rumah tangga miskin banyak yang signifikan, kecuali variabel harga untuk padi-padian dan minuman beralkohol. Koefisien variabel harga sendiri bertanda positif dan signifikan pada level 1 persen. Tanda positif mempunyai pengertian bahwa jika ada peningkatan harga kelompok komoditi maka akan menaikkan peluang rumah tangga untuk mengkonsumsi kelompok komoditi tersebut. Misalnya nilai marginal effect harga sendiri dari rokok pada rumah tangga miskin tahun 2008 sebesar 0,30226, artinya jika harga rokok naik 1 persen maka perubahan peluang rumah tangga miskin untuk mengkonsumsi rokok akan meningkat sebesar 0,30226. Berbeda dengan harga sendiri, variabel harga silang memiliki tanda yang beragam walaupun sebagian besar signifikan dan bertanda negatif. Pada tahun 2008 koefisien harga silang yang bertanda positif dan signifikan hanya variabel harga untuk kelompok komoditi bahan minuman. Sementara variabel harga yang tidak signifikan adalah variabel harga untuk kelompok padi-padian dan minuman beralkohol.

Nilai koefisien harga silang untuk konsumsi rokok pada rumah tangga miskin tahun 2008, lebih kecil dibandingkan dengan koefisien harga sendiri.Penjelasan tersebut mengimplikasikan bahwa harga rokok mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap peluang mengkonsumsi rokok.Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Harahap (2003) dan bertentangan dengan hasil penelitian Adioetomo, et.al.(2005), yang melaporkan bahwa harga rokok tidak signifikan berpengaruh terhadap keputusan rumah tangga untuk mengkonsumsi tembakau.

Pada rumah tangga miskin tahun 2009, nilai koefisien harga silang yang tidak signifikan mempengaruhi peluang mengkonsumsi rokok adalah koefisien harga makanan lainnya, biaya kesehatan, dan biaya pendidikan.

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, maka pada tahun 2010 koefisien harga silang yang tidak signifikan mempengaruhi peluang rumah tangga miskin mengkonsumsi rokok hanyalah koefisien harga biaya kesehatan.

Uji parsial menunjukkan bahwa pada rumah tangga miskin variabel pengeluaran rumah tangga berpengaruh signifikan dan bertanda positif terhadap peluang rumah tangga untuk mengkonsumsi rokok pada tahun 2008, 2009, dan 2010. Hal ini berarti bahwa semakin besar pendapatan rumah tangga maka semakin besar pula peluang rumah tangga tersebut untuk mengkonsumsi rokok.

Variabel sosial demografi  pada rumah tangga miskin hampir semuanya berpengaruh signifikan terhadap peluang rumah tangga mengkonsumsi rokok, baik tahun 2008, 2009, dan 2010, kecuali variabel akses terhadap informasi dan akses terhadap fasilitas kesehatan. Ini menunjukkan bahwa variabel sosial demografi yang digunakan cukup mampu menjelaskan peluang rumah tangga untuk mengkonsumsi rokok.

Variabel umur kepala rumah tangga, lama sekolah kepala rumah tangga, dan tipe daerah tempat tinggal berpengaruh negatif terhadap peluang rumah tangga untuk mengkonsumsi rokok. Artinya bahwa semakin tua umur kepala rumah tangga dan semakin tinggi pendidikan kepala rumah tangga, maka rumah tangga tersebut akan mempunyai peluang yang lebih kecil untuk mengkonsumsi rokok. Sementara rumah tangga yang tinggal di daerah pedesaan juga mempunyai peluang yang lebih kecil untuk merokok.

Variabel persentase anggota rumah tangga yang berumur 18 tahun ke atas dan status pekerjaan kepala rumah tangga berpengaruh positif terhadap peluang konsumsi rokok rumah tangga baik pada tahun 2008, 2009, maupun 2010. Hal ini menunjukkan fakta bahwa semakin banyak anggota rumah tangga yang berumur 18 tahun ke atas, maka semakin besar peluang rumah tangga tersebut untuk mengkonsumsi rokok. Besarnya peluang tersebut sejalan dengan kenyataan bahwa rata-rata usia merokok pertama kali adalah sekitar 17-18 tahun. Sedangkan kepala rumah tangga yang mempunyai pekerjaan akan memperbesar peluang rumah tangga untuk mengkonsumsi rokok. Hal tersebut dikarenakan kepala rumah tangga yang bekerja akan mempunyai kemampuan untuk membeli rokok dan banyaknya teman kerja yang merokok.

Estimasi FungsiPermintaan

Dalam penelitian ini selain dilakukan treatment untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi, juga dilakukan restriksi pada saat melakukan regresi untuk model LA/AIDS. Restriksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah adding-up, homogenitas dan simetri terhadap fungsi permintaan. Restriksi ini dilakukan agar fungsi permintaan yang diestimasi sesuai dengan teori permintaan. Restriksi homogenitas dan simetri dilakukan dengan memasukkan persamaan restriksi sebelum melakukan regresi untuk masing-masing model utama. Sedangkan restriksi adding-up pada penelitian ini dilakukan dengan cara mengeluarkan satu persamaan yang terakhir (persamaan untuk kelompok non makanan lainnya) dari sistem. Semua variabel yang terdapat pada kesepuluh persamaan menjadi variabel pada persamaan yang terakhir (kesebelas), kecuali variabel IMR.

Koefisien Determinasi dan Kesesuaian Model

Koefisien determinasi (R2) merupakan suatu ukuran untuk menerangkan persentase variasi variabel tidak bebas yang mampu dijelaskan oleh variabel bebas (Gujarati, 2003). Koefisien determinasi yang biasa digunakan untuk keperluan analisis adalah Adjusted R2, sedangkan untuk menguji kesesuaian model secara keseluruhan digunakan Uji F.

Model LA/AIDS yang menggunakan restriksidandiestimasi dengan OLS tidak menghasilkan Adjusted R2, maka dalam penelitian ini digunakan nilai koefisien determinasi dari model LA/AIDS tanpa restriksi. Dari hasil estimasi model diperoleh bahwa nilai Adjusted R2 rumah tangga miskin pada tahun 2008 bernilai antara 7,95 persen untuk proporsi pengeluaran kelompok minuman beralkohol dan 46,96 persen untuk proporsi pengeluaran kelompok non makanan lainnya.

Nilai Adjusted R2 konsumsi rokok pada rumah tangga miskin pada tahun 2008, 2009, dan 2010 masing-masing adalah sebesar 17,61 persen, 8,45 persen, dan 9,75 persen. Nilai tersebut mengandung makna bahwa variabel-variabel harga, total pengeluaran, dan sosial demografi mampu menerangkan keragaman proporsi pengeluaran rokok yang di konsumsi rumah tangga miskin sebesar 17,61 persen, 8,45 persen, dan 9,75 persen, sementara sisanya dijelaskan/dipengaruhi oleh faktor lain di luar model.

Walaupun variabel-variabel bebas tersebut pada umumnya hanya mampu menerangkan keragaman proporsi pengeluaran kelompok komoditi kurang dari 50 persen, tetapi hasil Uji F menunjukkan bahwa semua model signifikan pada level 1 persen.Demikian pula dengan hasil uji statistik secara parsial (Uji t) menunjukkan bahwa sebagian besar estimasi parameternya signifikan pada level 1-10 persen. Sehingga secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa model yang diperoleh cukup sesuai dan model juga telah memenuhi restriksi fungsi permintaan yang disyaratkan.

Estimasi Parameter IMR

Penggunaan IMR pada model fungsi permintaan LA/AIDS bertujuan untuk menghilangkan adanya selectivity bias pada suatu variabel bebas. Untuk mengetahui apakah terdapat selectivity bias, maka variabel IMR dimasukkan sebagai salah satu variabel bebas dalam model LA/AIDS. Apabila hasil uji koefisien IMR signifikan, maka terdapat bias dalam pemilihan sampel.

Hasil studi menunjukkan bahwa hampir semua IMR signifikan pada level 1 persen, kecuali pada kelompok makanan lainnya pada rumah tangga miskin tahun 2008. Hal ini menunjukkan bahwa pada semua kelompok komoditi terjadi selectivity bias sehingga IMR dapat dimasukkan sebagai variabel bebas dalam model utama. Variabel IMR tersebut berfungsi untuk mewakili rumah tangga yang tidak mengkonsumsi kelompok komoditi sehingga model juga akan terhindar dari selectivity bias.

Harga Komoditi

Salah satu variabel bebas fungsi permintaan LA/AIDS yang digunakan pada penelitian ini adalah variabel harga-harga.Arah hubungan variabel harga dengan proporsi pengeluaran kelompok komoditi bisa positif maupun negatif. Tanda positif berarti bahwa perubahan harga akan mengakibatkan perubahan proposi pengeluaran kelompok komoditi ke arah yang sama, sedangkan tanda negatif menunjukkan arah perubahan proporsi pengeluaran kelompok komoditi yang berlawanan. Perbedaan atau kesamaan arah tersebut, terjadi karena proporsi pengeluaran merupakan pembagian antara jumlah rupiah yang dikeluarkan untuk konsumsi kelompok komoditi tertentu dengan total rupiah pengeluaran rumah tangga. Sedangkan jumlah rupiah pengeluaran kelompok komoditi tertentu merupakan perkalian antara harga kelompok komoditi dengan jumlah yang dikonsumsi. Jika kenaikan harga lebih besar daripada penurunan jumlah yang dikonsumsi, maka proporsi akan meningkat (positif), sebaliknya jika kenaikan harga lebih kecil daripada penurunan jumlah yang dikonsumsi maka proposi akan menurun (negatif).

Hal yang menarik adalah estimasi parameter harga sendiri semuanya signifikan pada level 1 persen dan jika dibandingkan dengan harga silang maka koefisien harga sendiri kelompok rokok pada rumah tanga miskin bertanda negatif. Artinya bahwa dibandingkan dengan harga komoditi lain, harga sendiri mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap proporsi pengeluaran komoditi dan jika harga komoditi tersebut meningkat maka akan menurunkan proporsi pengeluarannya. Dapat dikatakan bahwa pada umumnya rumah tangga akan merespon kenaikan harga suatu komoditi dengan menurunkan konsumsi komoditi tersebut, tetapi penurunan konsumsinya lebih sedikit daripada kenaikan harganya.

Estimasi parameter harga silang rokok pada rumah tangga miskin ada yang bertanda negatif, dan berarti bahwa jika harga rokok naik maka rumah tangga akan meresponnya dengan mengurangi proporsi pengeluaran yang bertanda negatif.

Total Pengeluaran

Selain harga, faktor utama yang mempengaruhi permintaan suatu barang adalah pendapatan. Dalam penelitian ini pendapatan diproksi dengan total pengeluaran rumah tangga. Total pengeluaran rumah tangga dalam fungsi permintaan adalah total pengeluaran riil, yaitu total pengeluaran rumah tangga yang dideflasi dengan Indeks Harga Stone.

Variabel pengeluaran riil rumah tangga hampir semuanya berpengaruh signifikan dan semuanya berhubungan positif dengan proporsi pengeluaran kelompok komoditi rumah tangga miskin. Hal ini berarti bahwa jika total pengeluaran riil rumah tangga miskin meningkat, maka proporsi pengeluaran kelompok komoditi tersebut juga akan meningkat. Kondisi ini sesuai dengan Teori Agregasi Engel yang menyatakan bahwa jika pendapatan meningkat maka akan dialokasikan secara proporsional pada seluruh komoditi yang dikonsumsi (Nicholson, 2006).

Satu hal yang menarik bahwa nilai absolut koefisien total pengeluaran terhadap proporsi pengeluaran rokok pada rumah tangga miskin memiliki nilai positif, yaitu sebesar 0,0382 pada tahun 2008. Artinya bahwa jika total pengeluaran rumah tangga meningkat 1 persen, maka proporsi pengeluaran rokok rumah tangga miskin akan meningkat sebesar 0,0382. Hal ini menunjukkan bahwa bagi rumah tangga miskin, pendapatan sangat besar pengaruhnya terhadap proporsi pengeluaran rokok.                 Implikasinya adalah semakin besar pendapatan rumah tangga miskin maka akan meningkatkan proporsi pengeluaran untuk rokok. Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah, karena peningkatan pendapatan rumah tangga miskin justru akan meningkatkan belanja untuk komoditi yang membahayakan bagi kesehatan. Sementara program pengentasan kemiskinan justru akan terus berusaha untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga miskin.

Karakteristik Sosial Demografi

Variabel sosial demografi yang digunakan dalam penelitian ini sebagian besar signifikan dengan berbagai arah hubungan. Pada model permintaan rokok rumah tangga miskin tahun 2008, variabel sosial demografi yang tidak signifikan adalah variabel akses terhadap fasilitas kesehatan. Berarti akses terhadap fasilitas kesehatan tidak berpengaruh terhadap permintaan rokok rumah tangga miskin.

Variabel sosial demografi yang signifikan dan bertanda positif dengan proporsi pengeluaran untuk rokok pada rumah tangga miskin hanya variabel persentase anggota rumah tangga yang berumur 18 tahun ke atas. Hal ini berarti bahwa semakin besar presentase anggota rumah tangga berumur 18 tahun ke atas, maka proporsi pengeluaran rokok rumah tangga juga akan meningkat.

Masih sama dengan tahun sebelumnya, pada tahun 2009,  variabel sosial demografi yang tidak signifikan terhadap proporsi pengeluaran konsumsi rokok rumah tangga miskin, hanyalah variabel akses terhadap fasilitas kesehatan. Hal ini dapat diartikan bahwa pada tahun 2009, akses terhadap fasilitas kesehatan tetap tidak memberikan pengaruh terhadap besar kecilnya proporsi pengeluaran untuk rokok rumah tangga miskin.

Tahun 2010 variabel sosial demografi yang tidak signifikan terhadap proporsi pengeluaran konsumsi rokok rumah tangga miskin adalah variabel status pekerjaan kepala rumah tangga, akses terhadap informasi, dan tipe daerah tempat tinggal. Artinya bahwa besar kecilnya proporsi pengeluaran konsumsi rokok rumah tangga miskin tahun 2010 tidak dipengaruhi oleh status pekerjaan kepala rumah tangga, akses rumah tangga terhadap informasi, maupun tipe daerah tempat tinggal rumah tangga tersebut.

Elastisitas

Elastisitas permintaan merupakan suatu ukuran yang digunakan untuk melihat respon konsumen terhadap permintaan komoditi akibat perubahan harga sendiri, harga komoditi lainnya maupun pendapatan. Dalam penelitian ini pendapatan rumah tangga diproksi dengan pengeluaran rumah tangga, sehingga elastisitas pendapatan diestimasi dengan menggunakan elastisitas pengeluaran.

Nilai β merupakan estimasi parameter dari koefisien total pengeluaran riil dan γ adalah estimasi parameter dari koefisien harga-harga yang diperoleh dari estimasi sistem permintaan. Sedangkan proporsi pengeluaran per kelompok komoditi diperoleh dari nilai rata-rata proporsi pengeluaran setiap tahun baik untuk rumah tangga miskin. Elastisitas pengeluaran semua kelompok komoditi pada rumah tangga miskin bernilai positif, kecuali kelompok komoditi minuman beralkohol. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semua komoditi merupakan barang normal kecuali minuman beralkohol yang merupakan barang inferior. Apabila ada kenaikan pendapatan maka permintaan/konsumsi terhadap semua kelompok komoditi akan meningkat kecuali minuman beralkohol yang justru akan menurun. Dari hasil penghitungan elastisitas pengeluaran, rokok merupakan barang normal.

Elastisitas pengeluaran rumah tangga miskin untuk konsumsi rokok bernilai 2,1433 pada tahun 2008, 2,2318 pada tahun 2009, dan 2,0783 pada tahun 2010, lebih besar dari 1. Artinya setiap ada peningkatan pendapatan (pengeluaran) 1 persen pada tahun 2008, maka konsumsi rokok rumah tangga miskin akan meningkat sebesar 2,1433 persen. Dilihat dari besaran nilai elastisitas, maka rokok pada rumah tangga miskin dianggap sebagai barang mewah. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Triana (2011) tentang konsumsi rokok rumah tangga miskin di Pulau Jawa.

Tabel 2: Elastisitas Pendapatan (Pengeluaran) Tahun 2008-2010

No. Kelompok Komoditi 2008 2009 2010
1 Padi-padian 0,9816 0,9717 0,9789
2 Ikan/Udang/Cumi/Daging/Telur/Susu 0,9573 0,8165 0,7905
3 Sayur&Buah 1,0966 1,1541 1,0820
4 Bahan Minuman 1,0434 0,8744 0,8507
5 Minuman Beralkohol -19,7275 1,9297 -2,5593
6 Rokok 2,1433 1,4350 2,0783
7 Tembakau & Sirih Lainnya 0,3808 -0,0506 -0,2779
8 Makanan Lainnya 1,1117 1,2568 1,1724
9 Biaya Kesehatan 0,7748 0,7176 0,3083
10 Biaya Pendidikan 0,6975 0,8245 0,7375
11 Non Makanan Lainnya 0,8840 0,8896 0,9359

Sumber: Dihitung oleh penulis

Besarnya elastisitas pendapatan untuk konsumsi rokok harus diwaspadai, karena akan menjadi sebuah dilema dengan hasil program pengentasan kemiskinan yang selalu bertujuan untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga miskin. Rekomendasi yang disarankan untuk mengatasi hal tersebut diantaranya adalah dengan memberikan syarat tidak merokok kepada rumah tangga miskin yang menerima bantuan seperti melalui BLSM, baik bantuan yang berupa uang maupun berupa keringanan biaya.

Elastisitas harga sendiri untuk rokok pada rumah tangga miskin cukup besar yaitu mencapai -0,4204 pada tahun 2008, -0,7040 pada tahun 2009, dan -0,7799 pada tahun 2010. Jika harga rokok meningkat 1 persen maka permintaan akan rokok akan berkurang sebesar 0,4204 persen pada tahun 2008, 0,7040 persen pada tahun 2009, dan 0,7799 persen pada tahun 2010. Dapat dikatakan bahwa rokok bersifat inelastis terhadap perubahan harga.Jika dibandingkan antar tahun, maka peningkatan harga rokok pada tahun 2010 memberikan efek yang paling besar dalam menurunkan konsumsi rokok rumah tangga miskin.Hal ini mengindikasikan bahwa kenaikan harga rokok efektif menurunkan konsumsi rokok pada tahun 2010.Kenaikan harga rokok pada tahun 2010 disebabkan oleh adanya penerapan sistem cukai spesifik dengan kenaikan beban cukai dimana harga-harga rokok yang murah mengalami kenaikan cukai yang signifikan.

Pada tahun 2008, elastisitas rokok terhadap semua kelompok komoditi adalah negatif, kecuali biaya kesehatan. Peningkatan harga rokok akan direspon oleh rumah tangga miskin dengan mengurangi konsumsi untuk padi-padian, ikan/udang/cumi/daging/telur/ susu, sayuran dan buah, bahan minuman, minuman beralkohol, tembakau dan sirih lainnya, makanan lainnya, biaya pendidikan, dan non makanan lainnya.

Berbeda dengan tahun 2008, elastisitas harga silang komoditi rokok pada rumah tangga miskin tahun 2009 mempunyai tanda yang sedikit lebih bervariasi.Elastisitas yang bertanda negatif adalah elastisitas harga silang rokok dengan semua kelompok komoditi kecuali minuman beralkohol dan biaya pendidikan. Kenaikan harga rokok pada tahun 2009 akan direspon oleh rumah tangga miskin dengan mengurangi konsumsi padi-padian, ikan/udang/cumi/daging/telur/susu, sayur  dan buah, bahan minuman, tembakau dan sirih lainnya, makanan lainnya, biaya kesehatan, serta non makanan lainnya.

Bila dilihat dari nilainya, maka komoditi yang paling banyak dikorbankan oleh rumah tangga miskin adalah konsumsi non makanan lainnya yang mencapai 0,5109. Setiap peningkatan harga rokok sebesar 1 persen, akan direspon oleh rumah tangga miskin dengan mengurangi konsumsi non makanan lainnya sebesar 0,5109 persen. Kelompok non makanan lainnya dalam penelitian ini mencakup pengeluaran untuk perumahan, pakaian, energi dan bahan bakar, barang tahan lama, serta pengeluaran untuk transfer (pajak dan pesta).

Berbeda dengan elastisitas silang dua tahun sebelumnya, pada tahun 2010 semua elastisitas rokok rumah tangga miskin dengan semua komoditi lainnya bernilai negatif. Artinya kenaikan harga rokok pada tahun 2010 akanmenyebabkan rumah tangga miskin mengurangi konsumsi semua komoditi.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Rokok merupakan barang normal bagi rumah tangga miskin, ketika ada kenaikan pendapatan maka konsumsi rokok akan meningkat. Permintaan rokok pada rumah tangga miskin bersifat inelastis. Ketika terjadi kenaikan harga rokok, maka konsumsi rokok pada rumah tangga miskin berkurang sebesar 0,4204 persen pada tahun 2008, 0,7040 pada tahun 2009, dan 0,7799 pada tahun 2010.

Ketika ada kenaikan harga rokok, maka rumah tangga miskin mengorbankan konsumsi kelompok komoditi lainnya. Pada tahun 2008, rumah tangga miskin mengorbankan pengeluaran hampir seluruh komoditi, kecuali biaya kesehatan. Pada tahun 2009 komoditi yang dikorbankan adalah komoditi padi-padian, ikan/udang/cumi/daging/telur/susu, bahan minuman, tembakau dan sirih lainnya, makanan lainnya, biaya kesehatan serta non makanan lainnya. Sedangkan pada tahun 2010, rumah tangga miskin mengorbankan pengeluaran untuk semua komoditi.

Saran

Dengan memperhatikan berbagai temuan dalam penelitian ini, maka beberapa saran yang diberikan adalah:

  1. Kebijakan pemerintah untuk meningkatkanharga rokok melalui kenaikan beban cukai akan efektif mengurangi konsumsi rokok apabila didukung oleh kebijakan non harga lainnya, diantaranya adalah peringatan kesehatan di bungkus rokok berbentuk gambar, pelarangan iklan, promosi dan sponsor rokok, kawasan tanpa rokok dan syarat tidak merokok bagi rumah tangga yang meneriman bantuan.
  2. Pemerintah perlu memperhatikan sinergi antara program pengurangan konsumsi rokok pada rumah tangga miskin dan upaya pengentasan kemiskinan seperti melalui BLSM, karena peningkatan pendapatan rumah tangga miskin dapat mengakibatkan peningkatan konsumsi rokok rumah tangga miskin.
  3. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai keterkaitan konsumsi rokok dengan kemiskinan dan pengelompokkan yang lebih tepat untuk mendapatkan hasil yang lebih menggambarkan konsumsi rokok pada rumah tangga miskin.
Dampak Pendapatan & Harga Rokok Terhadap Tingkat Konsumsi Rokok Pada Rumah Tangga Miskin di Indonesia

Kebijakan Fiskal dalam Perdagangan Internasional: Antisipasi Defisit Neraca Perdagangan Barang*

*Artikel ini telah dimuat di Warta Fiskal 2013

Manajemen fiskal merupakan proses menjaga kinerja pemerintah berjalan efisien dalam mengalokasikan anggaran. Dalam banyak kasus, manajemen fiskal mengacu pada pengelolaan uang oleh pemerintah, dengan tujuan untuk memperbaiki cara beroperasi dengan benar sesuai perencanaan, mencatat dan mengatur prosedur/governance yang berkaitan dengan anggaran pemerintahan. Pengelolaan fiskal yang buruk ditandai oleh kurangnya pencatatan dan pengeluaran yang tidak perlu atau tidak direncanakan yang dapat menyebabkan gagal memenuhi tujuannya. Umumnya, perencanaan fiskal dilakukan setiap tahun, seringkali bertepatan dengan tahun fiskal di mana pemerintah menyusun siklus APBN.

Tiga kondisi utama kebijakan fiskal, yang pertama adalah kebijakan fiskal netral yakni pengeluaran pemerintah sepenuhnya didanai oleh penerimaan pajak dan hasil keseluruhan anggaran memiliki efek netral pada tingkat kegiatan ekonomi, biasanya dilakukan ketika ekonomi berada dalam kondisi ekuilibrium. Kedua, kebijakan fiskal ekspansif yakni pengeluaran pemerintah melebihi penerimaan pajak, dan biasanya dilakukan ketika terjadi krisis keuangan. Ketiga, kebijakan fiskal kontraktif terjadi ketika belanja pemerintah lebih rendah dari penerimaan pajak, dan biasanya dilakukan untuk membayar utang pemerintah.

Dalam kaitannnya dengan perdagangan luar negeri, tulisan ini mengulas mengenai pajak perdagangan internasional terutama kebijakan tarif bea masuk dan bea keluar. Penerimaan bea masuk atau bea keluar meningkat seiring dengan meningkatnya nilai impor/ekspor perdagangan. Proporsi penerimaan bea masuk terhadap penerimaan perpajakan mengalami tren penurunan, sedangkan bea keluar mengalami sedikit peningkatan ketika pemerintah berorientasi mengembangkan industri pengolah bahan SDA.

Tabel 1 Penerimaan Perpajakan 2008-2012

 perpajakan

 Sumber: Nota Keuangan 2013

Fungsi pajak dalam perdagangan internasional tidak hanya berfungsi sebagai sumber pembiayaan (fungsi budgetair) saja, namun pajak lebih berperan sebagai alat pengatur (regulerend). Fungsi ini mempunyai pengertian bahwa pajak merupakan instrumen untuk mencapai tujuan tertentu. Sebagai contoh, ketika pemerintah berkeinginan untuk melindungi kepentingan industri dalam negeri karena injury akibat maraknya arus impor, maka pemerintah dapat menetapkan bea masuk safeguard. Contoh yang lain, ketika harga minyak goreng dalam negeri naik karena maraknya ekspor CPO ke luar negeri maka pemerintah menerapkan bea keluar CPO.

Dalam perdagangan internasional, peran Menteri Keuangan tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai penetapan tarif bea masuk atau bea keluar mengacu pada UU No. 17/2006 mengenai kepabeanan. Kewenangan Menteri Keuangan adalah menetapkan tarif bea masuk umum (Pasal 12), Tarif bea masuk berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional (Pasal 13), Tarif Bea Masuk Anti Dumping, Bea Masuk Imbalan, Bea Masuk Tindakan Pengamanan, dan Bea Masuk Pembalasan (Pasal 18-23). Sedangkan untuk Bea keluar adalah pungutan negara berdasarkan Undang-Undang yang dikenakan terhadap barang ekspor (Pasal 2A).

Besaran tarif yang ditetapkan Menteri Keuangan ini tentunya akan mempengaruhi volume atau nilai pergerakan arus barang ekspor/impor. Dengan tarif tinggi maka akan menghambat barang ekspor/impor dan sebaliknya tarif rendah maka akan meningkatkan ekspor/ekspor.

Dalam teori ekonomi, dengan adanya pajak perdagangan internasional, sesungguhnya mengurangi keuntungan yang akan didapat oleh konsumen atau consumer surplus dan memberi tambahan keuntungan bagi produsen atau producer surplus serta menambah penerimaan perpajakan. Ilustrasi kondisi ini diperlihatkan dalam Gambar 1.

Pada keseimbangan autarky (Gambar 1a), perekonomian berada di titik I, dimana keuntungan konsumen adalah seluas areal AIJ, sementara produsen akan mendapatkan keuntungan seluas areal CIJ. Dengan adanya liberalisasi perdagangan  internasional, titik keseimbangan bergeser ke titik B pada level harga sebesar P*, dengan keuntungan konsumen sebesar ABC dan keuntungan produsen sebesar CDE. Dalam kondisi demikian, liberalisasi perdagangan internasional memberikan tambahan keuntungan bagi konsumen dan mengurangi keuntungan produsen. Konsumen memperoleh keuntungan lebih dengan harga barang impor yang murah, sebaliknya produsen pendapatannya berkurang karena konsumen memilih barang impor dengan harga yang lebih murah. Pemerintah kemudian menetapkan tarif bea masuk sebesar t terhadap barang impor yang masuk (Gambar 1b) untuk melindungi produk lokal terhadap persaingan produk impor. Penetapan tarif bea masuk ini mengakibatkan harga naik menjadi sebesar P*+ t. Dengan meningkatnya harga pada level ini, pemerintah mendapatkan penerimaan pajak perdagangan internasional sebesar GHKL dan produsen mendapatkan kembali keuntungannya hingga menjadi sebesar EFG. Sementara itu, konsumen hanya dapat mengambil keuntungan sebesar AFH. Dengan adanya tarif sebenarnya masih ada bagian keuntungan yang seharusnya bisa diambil akan tetapi tidak bisa diperoleh; dengan kata lain penetapan tarif oleh pemerintah secara teori berpotensi deadweight loss seluas area DGL ditambah HBK.

Gambar 1 Dampak Pemberlakuan Tarif Bea MasukTerhadap Suatu Perekonomian

surplus

a)Tanpa tarif                                            b) Dengan tarif

Sumber:Krugman (2005).

Implementasi teori di atas mengilhami skema perjanjian kerjasama liberalisasi perdagangan yang selama ini dilakukan.

Dampak Liberalisasi Perdagangan

Pada beberapa tahun terakhir, peningkatan arus perdagangan luar negeri meningkat pesat. Kecenderungan globalisasi telah membawa proses penataan perdagangan internasional sehingga volume/nilai perdagangan internasional  antar negara meningkat, kondisi ini merupakan suatu hal yang tak terhindari pada tahun-tahun ke depan.

Berbagai kesepakatan multilateral seperti WTO, regional melalui ASEAN dan bilateral menandai semakin pudarnya batas-batas ekonomi antar negara. Di samping sebagai anggota WTO yang merupakan wadah utama dalam perjanjian perdagangan multilateral, Indonesia juga terlibat dalam beberapa kerjasama perdagangan regional dan bilateral, antara lain sebagai berikut:

FTA

Secara garis besar, kerjasama-kerjasama perdagangan di atas dapat digolongkan ke dalam dua kategori, yaitu Free Trade Area (FTA) dan Economic Partnership Agreement (EPA). Dalam praktek FTA dan EPA, disepakati bahwa paling sedikit 90% dari seluruh produk yang diperdagangkan harus diturunkan tarif bea masuknya segera dan dihapuskan tarif bea masuknya secara bertahap dalam beberapa tahun ke depan. Melalui liberalisasi kerjasama perdagangan internasional tersebut, satu persatu tarif bea masuk mulai diturunkan. Adapun modalitas penurunan tarif bea masuk adalah sebagai berikut:

Gambar 2 Penurunan Tarif Bea Masuk Preferensi 2004-2013 (%)

tarif

Sumber: Data Tim Tarif, 2013

Ketentuan perjanjian penurunan tarif bea masuk berlaku secara timbal balik untuk semua negara-negara anggota dalam setiap kerjasama perdagangan. Ketentuan  ini merupakan sarana utama untuk mencapai sasaran dari globalisasi dalam perdagangan antar negara, yaitu untuk meningkatkan perdagangan antar negara berupa peningkatan ekspor dan impor.

Saat ini implementasi penerapan tarif preferensi sangat beragam, seperti sesama ASEAN tarifnya beda, ASEAN Jepang, ASEAN Korea, ASEAN China, ASEAN ANZ, Indonesia Jepang, ASEAN-India (gambar 2). Banyaknya FTA ini menimbulkan perbedaan tarif tarif preferensi akibat perjanjian perdagangan bebas yang telah disepakati Indonesia dengan negara lainnya.. Misalnya Indonesia dengan Cina, beberapa barang impor asal Cina dikategorikan barang sensitif yakni tidak diturunkan bea masuknya, namun untuk perdagangan dengan Korea berbeda perlakuannya yakni barang impor asal Korea dimasukan sebagai kategori barang normal. Hal ini menimbulkan Efek Spagethi Bowl, yakni fenomena makin rumitnya penerapan aturan asal barang impor akibat kompleksitas kebijakan perdagangan internasional dalam penandatangan perjanjian perdagangan bebas. Kondisi ini mengakibatkan kebijakan perdagangan yang mendiskriminasi tarif bea masuk antar negara.

Dari sisi pendapatan negara, dampak keterlibatan Indonesia dalam FTA maupun EPA berdampak terhadap pendapatan negara terutama pada pos Pajak Perdagangan Internasional, yaitu bea masuk dari kegiatan impor dan bea keluar dari kegiatan ekspor. Khusus untuk produk-produk yang dikenakan bea keluar, kebijakan liberalisasi perdagangan diharapkan akan dapat meningkatkan pendapatan negara dari bea keluar. Selain peningkatan penerimaan pada pos pajak perdagangan internasional, peningkatan penerimaan perpajakan terjadi jika jumlah barang impor yang diperdagangkan meningkat, sehingga PPN, PPh  dan PPnBM barang Impor turut meningkat.

Defisit Neraca Perdagangan Barang terkini

Dari sisi penerimaan perpajakan, liberalisasi perdagangan dapat meningkatkan beberapa pos penerimaan perpajakan sebagaimana diuraikan di atas. Namun demikian fenomena neraca perdagangan barang triwulan II-2013 mengalami defisit sebesar USD 0.6 miliar. Defisit ini merupakan kejadian pertama kali dalam tiga dasawarsa terakhir. Penyebab defisit ini antara lain berkurangnya surplus neraca perdagangan non migas yang semula surplus USD4,5 menjadi USD1,7 miliar. Kenaikan impor non migas khususnya impor bahan baku dan barang konsumsi yang meningkat terkait pola konsumsi domestik yang meningkat di triwulan II, serta akibat penurunan tarif bea masuk dengan negara mitra yang mulai efektif berlaku beberapa tahun terakhir. Fenomena kenaikan impor terutama terjadi pada barang kategori perdagangan umum. Sedangan barang impor untuk diolah justru mengalami penurunan (lihat gambar 3).

Gambar 3 Neraca Perdagangan Barang 2011-2013

BI

Sumber: diolah dari data BI

Dari gambar 3 di atas, neraca perdagangan barang lambat laun mulai menunjukan defisit. Proporsi nilai ekspor/Impor perdagangan umum paling besar dibandingkan jenis ekspor/impor barang untuk diolah, diperbaiki dan lainnya. Ekspor impor untuk barang yang diolah menunjukkan nilai proporsi yang semakin menurun dari kuartal tahun 2011 ke 2013.

Strategi Pemerintah Saat Ini

Pemerintah pada dasarnya dapat melakukan intervensi masalah defisit perdagangan, kondisi defisit perdagangan dan framework instrumen fiskal dapat dilihat dalam gambar 4. Maraknya impor dapat terjadi apabila tarif preferensi diperbanyak dengan ekspansi liberalisasi perdagangan melalui penurunan tarif preferensi atau penurunan tarif MFN, demikian pula perluasan skema insentif bea masuk untuk menarik investasi ataupun mendorong daya saing akan menambah impor bahan baku. Namun demikian skema insentif ini jauh lebih bermanfaat karena barang impor diolah untuk kegiatan produktif. Berbeda dengan skema preferensi sebagian besar barang impor masuk tanpa tujuan pengolahan tertentu. Dilain sisi melambatnya ekspor akan terus terjadi jika semakin banyak produk komoditas yang dikenakan bea keluar. Sebagaimana neraca jika impor lebih banyak dibandingkan ekspor maka defisit perdagangan terjadi.

Gambar 4

fiskal

Sumber: penulis

Seiring dengan meningkatnya impor jenis perdagangan umum, konsumen sebagian besar merasa diuntungkan karena masuknya barang impor yang harganya relatif murah dapat dibeli (surplus konsumen). Namun dari sisi produsen atau industri, beberapa industri terpaksa harus gulung tikar akibat derasnya arus barang impor  sejenis yang mereka produksi. Sehingga produsen dalam negeri barang sejenis mengajukan permohonan tertulis kepada KADI/KPPI untuk melakukan penyelidikan dalam rangka atas barang impor yang diduga sebagai barang dumping yang menyebabkan kerugian/injury. Oleh karena itu pemerintah berupaya membendung arus impor melalui peningkatan tarif bea masuk sementara atau Temporary Trade Barier (TTB). TTB berupa tarif tindakan pengamanan, tindakan counterveiling,  anti dumping, pembalasan. Cara ini merupakan tindakan transparan dan formal yang diperkenankan dalam perjanjian WTO.

Ketika krisis keuangan gobal berlangsung pada tahun 2008, beberapa negara emerging economies anggota G-20 menaikan TTB ini guna meredam maraknya arus impor yang masuk ke negaranya. Proporsi impor produk line yang dikenakan TTB Indonesia pada tahun 2011 mencapai 1.8 %. Posisi Indonesia nomor 4 setelah India, Turki, Argentina. Optimalisasi untuk membendung impor dilakukan melalui kenaikan tarif bea masuk sementara ini meningkat drastis dibandingan dengan tahun 2007, dimana pada tahun 2007 pemerintah masih sedikit mengenakan tarif TTB ini.

Tabel 2 Tindakan Temporary Trade Tariff Barrier (TTB)

TTB

Sumber: Bown, Chad P 2013

Optimalisasi pengenaan TTB oleh pemerintah meningkat seiring dengan waktu. Pada tahun 2008 pemerintah melalui Menteri Keuangan mengenakan TTB untuk tiga jenis produk yakni Hot Rolled Coil, Carbon Black dan Table Ware Keramik.Selanjutnya pada tahun 2009, Menteri Keuangan menambah beberapa produk yang dikenakan TTB yakni biaxially oriented  polypropylene film. Ketentuan produk impor yang terkena TTB paling banyak diterbitkan pemerintah yakni pada tahun 2011, produk yang dikenakan adalah uncoated writing and printing paper, tali kawat baja, kawat seng, kawat bindrat, kain tenunan dari kapas, benang kapas, polyester staple fiber, pisang cavendish, dan terpal dari serat sintetik selain awning dan kerai matahari. Pada tahun 2012 pemerintah mengenakan TTB pada produk keramik, barang yang berbentuk kotak atau matras atau silinder dari kawat besi atau baja, tepung gandum. Sedangkan pada tahun 2013 TTB dikenakan untuk produk canai lantaian dari besi atau baja bukan paduan.

Di lain sisi, barang impor/ekspor yang diolah menurun drastis dari tahun 2011 s.d. 2013, barang impor untuk diolah sebagian besar diproses di dalam kawasan berikat, Kemudahan Impor Tujuan Ekspor, Kawasan Ekonomi Khusus atau Free Trade Zone. Mengingat impor barang yang diolah (gambar 3) di atas mengalami penurunan drastis oleh karena itu pemerintah mengambil tindakan dengan merelaksasi kawasan berikat. Ketentuan relaksasi kawasan berikat dilakukan  melalui:

Ketentuan Lokasi

Lokasi Perusahaan KB dengan luas minimal 1 hektare (10.000 m2) hanya berlaku untuk perusahaan baru yang mengajukan ijin KB setelah berlakunya PMK 147, sedangkan perusahaan KB existing sebelum PMK 147 berlaku dapat memperpanjang ijin KB-nya termasuk perusahaan Fasilitas Pengembalian/Pembebasan Bea Masuk dalam rangka  ekspor (ex-KITE) dapat mengajukan sebagai perusahaan KB.

Penjualan Lokal

Penambahan alokasi untuk penjualan lokal untuk seluruh jenis barang, diberikan sebesar 50% dari realisasi ekspor, untuk mendapat batasan penjualan lokal lebih besar dari 50% dengan persetujuan Dirjen Bea dan Cukai dengan menyertakan rekomendasi dari Kementerian Perindustrian.

Subkontrak

Perusahaan KB dapat men-subkontrakkan sebagian kegiatan utamanya kepada perusahaan lokal.

Simplifikasi Prosedur Perijinan Pemasukan Barang Modal

Simplifikasi prosedur pemasukan Barang Modal berupa peralatan pabrik atau suku cadang, cukup mendapat ijin dari Kantor Pelayanan Pabean setempat, tidak perlu lagi ke Kantor Wilayah dalam rangka efisiensi.

Dengan relaksasi ini diharapkan nilai impor untuk barang yang diolah dapat meningkat kembali.

 

Kebijakan dari Sisi Ekspor

Defisit neraca perdagangan tejadi karena ekspor Indonesia ke luar negeri mengalami perlambatan, hal ini karena harga-harga komoditi Internasional yang menurun, demikian pula dari sisi permintaan dunia yang melambat, ditambah lagi penerapan bea keluar untuk beberapa komoditi. Pada awalnya komoditi yang terkena bea keluar adalah Kayu, Kulit, Kelapa Sawit, CPO dan produk turunannya, kemudian pada bulan April 2010 ditambah Kakao, menyusul dua tahun kemudian pada bulan Mei 2012 ditambah Bijih Mineral (logam, bukan logam dan batuan). Ketentuan terakhir Peraturan Menteri Keuangan mengenai bea keluar ini tertuang dalam PMK 128/PMK.11/2011. Penerapan bea keluar tentunya akan menghambat ekspor komoditi Sumber Daya Alam (SDA) ke luar negeri.

Di lain sisi target penerimaan bea keluar semakin meningkat dari tahun ke tahun, yang semula proporsi penerimaan bea keluar dalam pos pajak perdagangan internasional masih jauh di bawah penerimaan bea masuk, saat ini proporsi penerimaan bea keluar hampir mendekati penerimaan bea masuk. Namun demikian sejatinya penerimaan bea keluar bukanlah tujuan utama pemerintah. Tujuan bea keluar sendiri adalah menjamin kebutuhan dalam negeri, melindungi kelestarian SDA, mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditas tertentu di pasaran internasional dan menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri.

Regulasi tarif bea keluar berlangsung secara automatic stabilizer, tarif bea keluar otomatis turun ketika harga komoditas di luar negeri mengalami penurunan. Hal ini karena sistem tarif bea keluar mengacu pada harga bursa komoditi baik di dalam maupun di luar negeri.

Gambar 4

CPO

Sumber: BKF, 2013

 

Kesimpulan

Defisit neraca perdagangan telah terjadi dalam beberapa periode bulan ini. Sebagian besar impor terjadi pada jenis perdagangan umum dan terus mengalami peningkatan, sedangkan pada jenis barang impor yang diolah mengalami penurunan. Beberapa tahun terakhir, cakupan bea keluar diperluas dari semula hanya kulit, kayu, kelapa sawit, CPO dan produk turunannya saat ini ditambah Kakao, bijih mineral, kondisi ini turut memperlambat ekspor andalan SDA ke luar negeri.

Antisipasi selama ini telah dilakukan pemerintah untuk memperlambat defisit neraca perdagangan barang yakni melalui tarif bea masuk anti dumping dan safeguard. Pengenaan tarif bea masuk khusus ini turut mengerem laju defisit neraca perdagangan meskipun share impornya relatif kecil. Sedangkan antisipasi pemerintah atas perlambatan impor/ekspor yang terjadi beberapa periode terakhir dilakukan dengan merelaksasi kawasan berikat. Adanya relaksasi kawasan berikat diharapkan proporsi barang impor yang diolah semakin besar. Namun demikian relaksasi dengan 50% penjualan lokal diduga justru berpotensi menambah impor ke domestik.

Menurut hemat penulis, tindakan memperlambat defisit perdagangan akan lebih efektif lagi apabila pemerintah memperlambat ekspansi FTA yang selama ini aktif dilakukan seperti skema RCEP mengingat sebagian besar impor berasal dari perdagangan umum.

Kebijakan Bea keluar tetap dikenakan karena sistem tarifnya otomatis menyesuaiakan harga internasional, dengan selisih perbedaan tarif, diharapkan muncul industri pengolah di dalam negeri. Mengingat bea keluar akan menambah defisit perdagangan, maka menurut hemat penulis pemerintah perlu memberi target waktu sampai kapan industri pengolah SDA dibangun, sehingga defisit neraca perdagangan dapat terkompensasi sampai saat mereka sanggup mendorong ekspor barang SDA yang diolah tersebut, yang akhirnya berkontribusi pada peningkatan surplus perdagangan.

Penyesuaian pajak pertambahan nilai barang mewah juga bisa dipakai sebagai instrumen memperlambat defisit perdagangan, terutama PPnBM yang dikenakan atas barang impor konsumtif. Tindakan penghapusan PPnBM akan berdampak negatif terhadap surplus neraca perdagangan, terutama apabila tarif yang dikenakan PPnBM tersebut ternyata adalah barang barang impor atau barang yang tidak diproduksi oleh industri dalam negeri.

Kebijakan Fiskal dalam Perdagangan Internasional: Antisipasi Defisit Neraca Perdagangan Barang*

Meredam Berkembangnya Generasi Miras santika

Meskipun konsumsi alkohol di Indonesia rendah dibandingkan negara lain namun tren konsumsi alkohol dibanding tahun 1990 mengalami sedikit kenaikkan, oleh karena itu selain aturan pembatasan peredaran alkohol, tarif cukainya perlu dinaikkan.

Pada tahun 2010, WHO, Organisasi Kesehatan Dunia, mengesahkan strategi global untuk memerangi penggunaan bahaya alkohol, melalui tindakan langsung seperti pelayanan medis terkait alkohol, masalah kesehatan, dan langkah-langkah tidak langsung seperti penyebaran informasi tentang bahaya yang berkaitan dengan alkohol (WHO , 2010a).

Konsumsi alkohol tentunya sangat berbahaya bagi kesehatan baik dari segi morbiditas dan mortalitas. Konsumsi alkohol terkait dengan berbagai bahaya kesehatan dan dampak sosial, antara lain termasuk peningkatan risiko berbagai kanker, stroke, dan sirosis hati. Janin yang terpapar akibat konsumsi alkohol meningkatkan risiko cacat kelahiran dan gangguan otak. Alkohol juga berkontribusi pada kematian dan cacat akibat kecelakaan dan cedera, penyerangan, kekerasan, pembunuhan dan bunuh diri, dan diperkirakan menyebabkan kematian lebih dari 2,5 juta di seluruh dunia per tahun (WHO , 2011d). WHO memperkirakan 4 % dari beban penyakit global disebabkan oleh alkohol (Rehm et al, 2009). Di Amerika Serikat, konsumsi alkohol yang berlebihan adalah penyebab utama ketiga kematian, untuk 80.000 kematian per tahun dan 2,3 juta tahun potensi hidup yang hilang (CDC, 2012). Biaya penanganan kesehatan terkait dengan minum alkohol di Amerika diperkirakan mencapai USD 25,6 milyar (Bouchery et al. ,2006 ). Di Federasi Rusia, penyalahgunaan alkohol adalah faktor utama mortalitas dan penurunan harapan hidup selama tahun 1990-an (OECD, 2012c ).

Konsumsi Miras di Dunia
Konsumsi alkohol rata-rata di negara-negara OECD berkisar 9,4 liter per orang dewasa, yang diukur dengan penjualan tahunan. Negara seperti Luxemburg, Perancis, Austria, Estonia tercatat konsumsi alkoholnya tertinggi di dunia, dengan 12 liter atau lebih per orang per tahun pada tahun 2011. Konsumsi alkohol terendah tercatat di Turki dan Israel, serta di Indonesia dan India, di mana tradisi agama dan budaya membatasi konsumsi alkohol dalam beberapa kelompok penduduk. Meskipun konsumsi alkohol rata-rata menurun di banyak negara OECD selama dua dekade terakhir, namun di beberapa negara Eropa Utara (Islandia, Swedia, Norwegia dan Finlandia ) serta di Polandia dan Israel justru semakin meningkat. Negara-negara penghasil anggur tradisional dari Italia, Yunani, Spanyol, Portugal dan Perancis, serta Republik Slovakia, Swiss dan Hongaria konsumsi per kapita mengalami penurunan seperlima atau lebih sejak tahun 1990.

Konsumsi alkohol di kalangan orang dewasa, 2011 dan perubahan antara tahun 1990 dan 2011
0a0af2c64f852cdf8e5504849966a377_miras

Konsumsi alkohol di Federasi Rusia, Brazil, India, dan China telah meningkat secara substansial, meskipun dalam dua terakhir konsumsi per kapita masih rendah. Variasi konsumsi alkohol antar negara-negara dan antar waktu ke waktu tidak hanya mencerminkan perubahan kebiasaan minum tetapi juga respon kebijakan pemerintah dalam mengendalikan konsumsi alkohol. Pembatasan pada iklan, pembatasan penjualan dan cukai merupakan langkah-langkah efektif untuk mengurangi konsumsi alkohol (Baboret al., 2010).


Kebijakan Pemerintah Cukai Miras di Indonesia

Tidak seperti cukai tembakau yang setiap tahun mengalami kenaikan, tarif cukai minuman beralkohol mulai dinaikkan tahun 2014, pemerintah menaikkan tarif cukai alkohol melalui PMK Nomor 207/PMK.011/2013. Sistem tarif cukai alkohol diterapkan secara spesifik dengan maksud agar memudahkan administrasi pemungutan, pengawasan, dan kepastian pendapatan Negara.

Kenaikan tarif cukai diterapkan untuk semua golongan MMEA, yaitu MMEA golongan A (kadar alkohol 5%), golongan B (>5% s.d. 20%), dan golongan C (>20%) dinaikkan mulai Rp 2.000,- s.d. Rp 9.000,- per liter dengan rata-rata kenaikan sekitar 11,66%, sehingga tariff cukai MMEA saat ini adalah sbb:
d2aca29ebe067d312641c9a363f3e1d3_cukai-minol

Meredam Berkembangnya Generasi Miras santika