Sistem Cukai Rokok: Mau Kemana Kita?

Pada dasarnya pemungutan cukai di dunia terdapat tiga rezim sistem cukai yakni sistem ad valorem, sistem hybrid dan spesifik. Cukai spesifik dipungut berdasarkan jumlah barang yang diproduksi atau dikonsumsi seperti jumlah per bungkus, per batang rokok ataupun per gram tembakau. Sistem cukai ad valorem dipungut berdasarkan persentase dari nilai produk (harga) atau biaya pengolahan atau harga impor, sedangkan sistem hybrid adalah menggabungkan kedua sistem tersebut. 

Banyak negara mencoba menyederhanakan struktur tarif sistem cukainya dan menuju tarif cukai tunggal untuk semua jenis rokok. Namun, beberapa negara masih mengenakan tarif cukai yang berbeda dan harga yang berbeda untuk tiap merek, dan biasanya mengenakan tarif tinggi untuk merek rokok premium serta rendah untuk rokok murah.

Perdebatan sistem mana yang lebih baik apakah spesifik ataupun ad valorem adalah isu yang telah lama di bahas dalam ekonomi publik, meskipun dalam pasar yang kompetitif dua jenis sistem tersebut tidak ada bedanya. Namun demikian, Cournot (1960) dan Wicksel (1959) mengklarifikasi bahwa kedua sistem ini tidak berlaku sama pada pasar monopoli.

Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi pilihan sistem cukai apakah ad valorem, hybrid atau spesifik, hal ini tergantung sasaran cukai oleh pemerintah, produsen ataupun konsumen. Jika inflasi tinggi, ad valorem lebih disukai karena sistem ini mengacu harga, sehingga sistem ini secara otomatis akan mengejar inflasi. Jika tujuan utamanya adalah mengurangi konsumsi rokok, maka dipakai sistem spesifik karena sistem spesifik mengacu pada jumlah barang yang dibeli, beban pajak akan sama pada setiap rokok.

Sedangkan dari segi dampak sistem ad valorem terhadap perilaku konsumen akan menunjukan hasil yang berbeda, hal ini karena perbedaan kualitas rokok yang lebar. Sistem cukai mempengaruhi keputusan konsumen dalam hal kualitas dan jumlah. Cukai yang tinggi akan mengarahkan konsumen untuk mengurangi kualitas dan kuantitas rokok (Chaloupka et. al., 2010). 

Indonesia telah beberapa kali melakukan perubahan sistem cukai, sebelum tahun 2006 pemerintah menerapkan sistem ad valorem, kemudian pada tahun 2007-2008 pemerintah menerapkan sistem hybrid dan sejak tahun 2009 sampai sekarang menjadi spesifik dengan banyak lapisan.

Tabel 1 Pergeseran Sistem Cukai di Indonesia, tahun 2005-2012

Image

Banyaknya layer pada sistem spesifik terlihat lebih rumit, namun sebenarnya lebih sederhana dibandingkan sistem ad valorem. Misalnya dengan spesifik Rp. 300 per batang berarti hanya akan ada satu beban cukai Rp. 300 per batang, berbeda dengan sistem ad valorem, misalnya di pasar ada 1000 varians harga rokok yang berbeda-beda maka akan ada variasi 1000 beban cukai. Sehingga ketika saat ini pemerintah menerapkan 10 lapis tarif spesifik, kondisi ini akan dilihat rumit dibandingkan dengan sistem spesifik tunggal, namun bukan bukanlah serumit dibandingkan ad valorem tunggal, karena memang hanya ada 10 beban cukai yang berbeda, sehingga sistem spesifik lebih transparan dan jauh lebih sederhana daripada sistem advalorem yang beban cukainya sangat bervariasi.

Sehingga sistem spesifik saat ini beban cukainya lebih transparan. Namun demikian memang dalam pembuatan kebijakan cukainya harus menyesuaikan dengan inflasi dan setiap tahun harus disesuaikan dengan inflasi agar nilai riilnya tidak turun. Demikian pula penerapan sistem spesifik dengan penyederhanaan struktur tarif memiliki dampak lebih membebani industri rokok kecil sebagaimana halnya dengan dampak kenaikan beban tarif cukai itu sendiri, oleh karena itu pemerintah perlu mempersiapkan tahapan peralihan sektor ini ke arah kegiatan yang sehat.

Sistem Cukai Rokok: Mau Kemana Kita?

Ada Apa dibalik Pesawat Terbang dan KRL Bekas?

Case Pesawat Tempur
Rencana Awal…
Vice President Corporate Communication PT Dirgantara Indonesia (PT DI) Sonni Ibrahim mengatakan, sejak 2010 lalu Indonesia sudah mulai merancang pesawat tempur sendiri.
Indonesia saat ini sudah memulai proses perancangan pesawat tempur. Proyek ini sudah dimulai sejak 2010 lalu, kata Sonni ketika ditemui detikFinance diacara Airshow The 12th Langkawi Internasional Maritime and Exhibition, Malaysia, Kamis (28/3/2013).
Proyek ini merupakan proyek negara dan PT DI sebagai BUMN produsen pesawat ikut berpartisipasi di dalamnya.
Saat ini prosesnya sudah menyelesaikan tahap I yakni tahap teknologi dan development. Tahap ini dimulai sejak 2010 lalu dan Desember 2012 sudah selesai. Saat ini kita masuk dalam tahap ke II yakni Tahap Go no Go, ungkap Sonni.
Seperti diketahui, Indonesia terus meningkatkan peralatan militernya, sejak 2012-2014 setidaknya akan ada 60 pesawat tempur berbagai jenis dimiliki Indonesia. Indonesia juga saat ini mempunyai beberapa pesawat tempur mulai dari F5, F16, Sukhoi, Su30, dan lainnya.

Kemudian…

Rencana Indonesia lewat PT Dirgantara Indonesia (PT DI) bekerjasama dengan Korea Selatan untuk membuat pesawat tempur ditunda untuk sementara. Apa alasannya?
Kepala Parlemen Korsel Ahn Hong-Joon mengatakan, saat ini pemerintah Korsel sedang kesulitan mencari dana untuk proyek yang cukup mahal tersebut.
“Sekarang sebenarnya bukan pemberhentian kerjasama, tapi pemerintah Korsel lagi kesulitan sediakan dana untuk program itu, karena ini proyek sangat banyak telan dana. Kita lagi teliti dan review ulang jenis pesawat. Kita akan lebih detil untuk siapkannya (pesawat yang dikembangkan). Jadi kalau kita sudah menentukan jenisnya (pesawat tempur) pasti kita siapkan anggarannya,” tutur Hong-Joon usai bertemu Kepala Komite Ekonomi Nasional (KEN) Chairul Tanjung di Menara Bank Mega, Jakarta, Kamis (16/5/2013).

Hong-Joon mengatakan, dalam waktu yang tidak lama lagi, Indonesia dan Korsel bisa bersama-sama mengembangkan pesawat tempur yang rencananya diberi nama Korea Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment (KFX/IFX). “Perkiraan saya tidak begitu lama. Kelihatannya bisa tahun ini,” ucap Hong-Joon.

Dalam proyek ini, rencananya pemerintah Indonesia berkontribusi hanya 20%, selebihnya oleh pemerintah dan BUMN strategis Korsel. Rencananya dari proyek ini akan diproduksi pesawat tempur KFX/IFX atau F-33 yang merupakan pesawat tempur generasi 4,5 masih di bawah generasi F-35 buatan AS yang sudah mencapai generasi 5. Namun kemampuan KFX/IFX ini sudah di atas pesawat tempur F-16. Pesawat KFX/IFX akan dibuat 250 unit, dari jumlah itu Indonesia akan mendapat 50 unit di 2020. Harga satu pesawat tempur ini sekitar US$ 70-80 juta per unit.

Sebelumnya PT DI akan terlibat dalam pengembangan dan produksi pesawat jet tempur buatan Indonesia. Pesawat itu dikembangkan atas kerja sama Kementerian Pertahanan Korea Selatan dan Indonesia, pesawat tempur KFX/IFX.

Direktur Utama Dirgantara Indonesia Budi Santoso menuturkan, untuk mengembangan pesawat yang lebih canggih dari F-16 dan di bawah F-35 ini, PT DI telah mengirimkan sebanyak 30 orang tenaga insinyur ke Korsel untuk terlibat dalam pengembangan proyek pesawat temput versi Indonesia dan Korsel.

“Baru pulang Desember (2012) 30 orang. Kami mengirim atas nama Kemenhan. Jadi 1,5 tahun tim kita ada di Korea. Kita 1,5 tahun sama-sama mendesain. Kita ada yang belajar dari Korea, dan Korea ada yang belajar dari kita (PT DI),” tutur Budi.

Kenyataan Sekarang…

Keputusan pemerintah akan menerima pesawat tempur bekas Angkatan Udara Amerika Serikat. Hibah itu terkesan kita ini negara tidak mampu. Cuma bisa pakai yang bekas. Padahal, jelas Hasanudin, Komisi I sudah menyetujui rencana TNI AU yang akan membeli pesawat tempur baru. Sedianya, pada 2011, TNI AU akan membeli enam unit pesawat tempur F 16 blok 52 terbaru dengan total harga USD 600 juta. Namun tiba-tiba rencana itu dibatalkan Kepala Staf TNI AU.

Dengan menerima hibah sebanyak 24 unit pesawat tempur jenis F16, TNI AU justru mengeluarkan biaya besar untuk peremajaan. Langkah TNI-AU menerima pesawat hibah tidak tepat dari sisi strategi pertahanan dan efisiensi anggaran. Karena ongkos perawatan pesawat tempur tua lebih mahal ketimbang beli yang baru. Di sisi strategi pertahanan, teknologi pesawat tempur tua juga sudah ketinggalan zaman.

Dari jumlah pesawat mungkin bertambah. Tapi dari efek daya tangkal terhadap sistem pertahanan udara hampir tak ada artinya karena negara-negara sekitar kita pun sudah mau meng-grounded kan pesawat-pesawat tua ini,
Ada pihak-pihak yang mencari keuntungan dari proses hibah pesawat tempur bekas. Mengingat, proses perawatan dan pembelian komponen cadangan yang mengharuskan melalui pihak ketiga. Dia berharap, ke depan, pemerintah dan DPR bisa duduk bersama guna menentukan definisi hibah.

“Agar hibah benar-benar murni, tidak ada motif politik negara lain yang sifatnya mengikat. Apalagi hanya menguntungkan calo,” tegas Hasanuddin.

Case KRL
Kondisi PT INKA….

Madiun (ANTARA News) – PT Industri Kereta Api (INKA) ikut bersaing untuk mengikuti tender pengadaan KRL di Manila, Filipina, dengan negara produsen kereta lainnya seperti China, Jepang, dan Korea. “Saat ini masih proses tender. Submit dokumen baru dilakukan awal bulan depan,” kata Direktur Produksi dan Teknologi Yunendar Aryo Handoko di kantor pusat PT INKA di Madiun, Jawa Timur, Jumat.

Filipina membuka proyek tender untuk pengadaan 40 gerbong kereta. Proyek berjangka dua hingga tiga tahun itu dipastikan berjalan pertengahan tahun. INKA akan memasang harga Rp40 miliar untuk setiap rangkaian seperti harga KRL Jabodetabek umumnya.

“Tetapi seperti apa detailnya belum tahu. Bisa saja mereka nanti minta kereta semi-finish. Jadi seperti pemasangam kursi dilakukan di sana agar tetap ada brand negaranya,” jelas Yunendar. Proyek ini menjadi taget ekspor pertama INKA pada 2013. INKA baru saja merampungkan ekspor enam gerbong kereta KRL ke Malaysia akhir tahun lalu dan kini sedang masuk tahap pengujian.

Sebagai perusahaan industri kereta api satu-satunya di Asia Tenggara, INKA berhasil mengekspor produknya ke berbagai negara, termasuk 50 kereta penumpang ke Bangladesh, selain menjual kereta gerbong ke Thailand, Australia, dan Singapura. China akan menjadi pesaing terkuat dalam tender di Filipina ini.
Kalau dari segi kualitas, lanjut Yunendar, INKA dapat mengimbangi China.”Hambatan kita itu mereka pasang harga murah dengan barang yang sama, bedanya bisa sampai 10-15 persen,” ujar Yunendar.

Namun…

PT KAI Commuter Jabodetabek akan mendatangkan hingga 180 unit gerbong kereta rel listrik (KRL) bekas asal Jepang tahun 2013. Jumlah itu cukup besar dari rencana semula, karena stok gerbong KRL di Jepang sangat berlimpah.

Dalam rencana awal, PT KAI Commuter Jabodetabek hanya ingin mendatangkan 100 unit/gerbong KRL tahun 2013. Tetapi karena stok KRL bekas yang jumlahnya banyak di Jepang membuat PT KAI Commuter menambah jumlah pembelian.
“Di sana jumlahnya banyak (KRL bekas di Jepang yang siap di beli), ya dalam hitungan kami akan datangkan 100-180 unit di tahun 2013 ini,” imbuhnya.

Eva menjelaskan untuk harga per unit atau gerbong Kereta Rel Listrik (KRL) bekas dari Jepang hanya membutuhkan Rp 1 miliar/unit. “Harga per unit/gerbong itu kisarannya hanya Rp 1 miliar. Kita akan mulai datangkan pertengahan tahun 2013 secara bertahap seperti yang kita lakukan pada tahun 2012 di mana kita datangkan 90 unit KRL juga secara bertahap,” jelas Eva.

Dalam catatan PT KAI Commuter Jabodetabek pada awal Januari 2012, jumlah penumpang KRL Commuter Jabodetabek tercatat 320 ribu orang per hari. Sedangkan pada akhir Desember 2012, jumlah penumpang dilaporkan meningkat menjadi sebanyak 450 ribu orang per hari. Sejak 2008, hingga kini KAI Commuter telah mendatangkan 308 unit KRL.

Silakan Anda simpulkan sendiri dari berita-berita di atas….

Ada Apa dibalik Pesawat Terbang dan KRL Bekas?

Derasnya ‘Impor’ Konser Asing

Kalau saat ini masyarakat mempertanyakan derasnya impor barang dari luar masuk ke Indonesia dibandingkan dengan ekspor barang kita keluar, mestinya kita juga patut mempertanyakan derasnya impor jasa yang masuk melalui konser musik asing dimana keuntungan paling banyak diraup oleh pihak luar. Tahun 2012 saja sudah 50 konser musik asing berlangsung di negeri ini. Tahun 2013 ini mulai dari Metallica, Air Supply, Lenka, Mika, Sigir Ros, Aero Smith dsb manggung di negeri ini. Dan di tahun-tahun ke depan negeri ini akan lebih banyak lagi kebanjiran penyanyi-penyanyi dari luar apabila tidak ada upaya memberdayakan penyanyi lokal untuk lebih kompetitif.

Dengan derasnya liberalisasi hiburan musik, tak ayal Indonesia dengan jumlah penduduk besar semakin menjadi daya tarik sendiri bagi pangsa pasar masuknya konser asing. Bahkan kehadiran konser tersebut di amini oleh para pejabat kita yang katanya menyuarakan nasionalisme untuk berdiri di kaki sendiri.

Kebanjiran penyanyi luar ini karena permintaan domestik akibat meningkatnya kelas menengah yang turut menjadi faktor pendorong permintaan konser asing. Sah-sah saja mereka memilih untuk menikmati hiburan sesuai dengan dompet yang mereka miliki, namun demikian melihat kondisi masyarakat Indonesia yang masih memiliki ketimpangan ekonomi yang tinggi, multiplier efek kedatangan penyanyi asing ini tidak terlalu banyak berkontribusi pada lingkungan sekitar dibanding kita menonton penyanyi lokal.

Semestinya kita dorong penyanyi lokal agar bisa konser ke luar negeri. Kalau dihitung banyaknya konser penyanyi lokal ke luar negeri (’ekspor’), dibandingkan dengan banyaknya penyanyi luar konser di negeri kita (’impor’), rasanya negeri ini mengalami defisit. Penyanyi lokal kita perlu di dorong dan mampu berkompetisi dengan penyanyi luar, namun sayang hal yang menjadi ironi penyanyi kita hanya mampu muncul sebagai penyanyi penggembira dalam konser tersebut.

Saya tidak mengatakan konser penyanyi asing-asing tidak boleh masuk, boleh saja asal negeri ini tidak terlalu banyak ‘defisit’ nya. Sudah saatnya negeri ini sadar untuk mencintai musik-musik sendiri, karena dengan tumbuhnya musik dalam negeri kreativitas anak negeri akan tumbuh karena didorong ekonomi masyarakat melalui tiket para penonton, sehingga perekonomian dalam negeri akan berputar dan tumbuh berdiri dengan kaki sendiri….

Derasnya ‘Impor’ Konser Asing

Lanjutan Liberalisasi Perdagangan: RCEP

Tidak kita sadari rezim perdagangan barang internasional kita saat ini sudah liberal, dimana batas-batas hambatan perdagangan internasional satu per satu mulai dibuka. Arus perdagangan mulai lancar seiring diturunkannya tarif bea masuk. Sehingga kota-kota besar di Indonesia yang dekat dengan pelabuhan semakin lancar konektivitasnya dengan dunia internasional. Dapat kita jumpai barang-barang impor dengan harga murah masuk di pasar-pasar domestik. Namun di lain sisi, arus perdagangan barang antar kota-kota di Indonesia masih terbebani ongkos pungut yang terlalu mahal, akibatnya ongkos kirim antar kepulauan di Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan ongkos impor.

Setelah tarif bea masuk antar negara ASEAN mencapai 0%, diharapkan perdagangan intra ASEAN memicu pertumbuhan ekonomi, namun nyatanya perdagangan intra kawasan masih sedikit dibandingkan dengan ekstra kawasan. Melihat kondisi demikian, lalu ASEAN berinisitaif untuk membuka perdagangan dengan ekspansi liberalisasi perdagangan dengan negara mitra di luar kawasan, seperti ASEAN – China, ASEAN-Jepang, ASEAN-Korea, ASEAN-India, kemudian ASEAN-Australia New Zealand. Indonesia yang selama ini lead di kawasan ini terpaksa membawa gerbong baru ke dalam babak perundingan perdagangan bebas dengan ASEAN +1 FTA.

Mengingat masing-masing negara besar di luar ASEAN tersebut telah melakukan liberalisasi perdagangan dengan ASEAN, maka masing-masing negara anggota ASEAN menjalin skema perjanjian yang rumit dengan mitra negara lain. Misalnya Indonesia dengan China, beberapa barang impor dikategorikan barang sensitif yakni tidak diturunkan bea masuknya, namun untuk perdagangan dengan Korea akan berbeda perlakuannya yakni dimasukan sebagai kategori barang normal. Demikian pula negara anggota ASEAN lainnya memiliki permasalahan yang sama. Hal ini menimbulkan efek spagethi bowl, yakni fenomena makin rumitnya penerapan aturan asal barang impor akibat kompleksitas kebijakan ekonomi internasional dalam penandatanganan perjanjian perdagangan bebas. Kondisi ini mengakibatkan kebijakan perdagangan yang mendiskriminasi tarif bea masuk antar negara. Di Indonesia saja penerapan tarif preferensi sangat beragam, seperti sesama ASEAN tarifnya beda, ASEAN Jepang, ASEAN Korea, ASEAN China, ASEAN ANZ, Indonesia Jepang, Indonesia-India, perbedaan tarif tarif preferensi ini akibat perjanjian perdagangan bebas yang telah disepakati Indonesia dengan negara lainnya.

Perkembangan lebih lanjut dari liberalisasi perdagangan ASEAN ke depan yakni mulai dicanangkannya regional comprehensive Economic Partnership. Inisiatif ini muncul ketika pertemuan pimpinan ASEAN pada KTT ASEAN ke-19 bulan November 2011. Negosiasi RCEP telah dimulai tahun 2013 dan akan disimpulkan pada akhir tahun 2015. Program liberalisasi ini sangatlah ambisius yang melibatkan banyak negara dan sektor, anggota dari RCEP ini adalah 16 negara yakni anggota ASEAN, Australia, Cina, India, Jepang, Korea dan New Zealand. Yang menjadi pertanyaan apakah Indonesia siap dengan perdagangan bebas yang jauh lebih luas kawasannya?

Dalam kajian analisis dengan GTAP tentunya menghasilkan pola yang sama bahwa ketika dilakukan shock terhadap perdagangan bebas maka welfare masyarakat akan meningkat. Total welfare yang merupakan penjumlahan konsumer surplus + producer surplus – dead weight loss. Dalam model computable general equilibrium economic welfare diturunkan dari alokasi pendapatan nasional antara konsumsi swasta, pemerintah dan saving berdasarkan maksimasi utility dari rumah tangga. Sehingga hal ini jelas dengan liberalisasi impor maka harga barang akan semakin murah karena masuknya barang-barang impor. Masyarakat yang sebagian besar merupakan konsumen akan merasakan konsumen surplus, dimana dengan barang yang semakin murah maka pendapatan masyarakat terasa meningkat (income effect). Namun perlu dipikirkan dari sisi produsen, dimana producer surplus sangat kecil, akibatnya banyak industri dalam negeri yang terus terpukul karena pola percepatan produksi dan kompetisinya jauh lebih lambat dibandingkan kebijakan pemerintah dalam meliberalisasikan perdagangan bebas. Fakta saat ini menunjukkan pangsa ekspor produk manufaktur terhadap keseluruhan ekspor Indonesia ke dunia terus menurun dari 57% pada tahun 2000 menjadi hanya 34% pada tahun 2011. Sedangkan negara-negara anggota ASEAN lainnya bisa memanfaatkannya dengan peningkatan pangsa ekspor manufaktur mereka ke luar negeri. Selain itupula sampai saat ini jumlah variasi komoditas yang diekspor mengalami penurunan jumlah komoditinya artinya upaya diversifikasi ekspornya kecil, di lain pihak justru barang yang diimpornya semakin bervariatif. Artinya Indonesia sampai saat ini masih belum bisa memanfaatkan potensi ekspor ini ke luar negeri.

Uniknya surplus perdagangan Indonesia didominasi oleh besarnya ekspor Indonesia yangdidominasi sektor sumber daya alam, dimana ekspor komoditi CPO, Kakao, sumber daya mineral adalah ekspor yang tidak terlalu diharapkan karena pemerintah menerapkan kebijakan bea keluar guna menghambat ekspor untuk pertumbuhan industri pengolah di dalam negeri. Artinya ke depan kondisi perdagangan kita semakin defisit apabila industri pengolah sumber daya alam ini tidak bangkit. Kondisi-kondisi demikian merupakan kekhawatiran kalau Indonesia mengikuti RCEP, bukannya menambah akses pasar namun malah pasarnya tergerus dengan terintegrasinya pasar negara-negara besar seperti China, Jepang, Korea, India, Australia dan New Zealand di kawasan ASEAN. Sehingga negara dengan jumlah penduduk besar di ASEAN hanya menjadi pasar industri negara besar. Tulisan ini bukan bermaksud menganut rezim proteksionism namun bahwa perdagangan bebas mau tidak mau akan kita alami, hal yang terpenting adalah menyiapkan masa transisi tersebut agar tidak terlalu cepat.

Lanjutan Liberalisasi Perdagangan: RCEP

Pengenaan Cukai Untuk Minuman Soda Berpemanis (Unhealthy Food)

Seiring dengan meningkatnya pendapatan masyarakat Indonesia, kecenderungan masyarakat untuk mengkonsumsi minuman ringan makin bertambah. Orang-orang berpendapatan menengah ke atas banyak mengkonsumsi softdrink 5 tahun terakhir ini. Telah terjadi migrasi kebiasaan minum dimana masyarakat membeli softdrink dengan botol besar lebih banyak dibanding botol kecil, hal ini karena berbeda selisih harganya dengan botol besar harganya lebih murah per liternya dibandingkan dengan botol kecil.

Dilain pihak minuman soda memiliki banyak dampak negatif. Dikutip dari Townsville Bulletin [Townsville, Qld] 05 Dec 2009: 4, Perempuan yang rutin mengkonsumsi softdrink selama masa hamil memiliki resiko terkena gestational diabetes. Tim riset di Amerika mempelajari kelompok 13.475 perempuan dan selama 10 tahun kemudian 860 orang teridentifikasi terkena gestational diabetes. Setelah diketahui faktor resiko seperti umur, sejarah keturunan keluarga diabetes dan keseluruhan kesehatan, softdrink berpemanis dalam asupan tersebut yang merupakan contributor signifikan. Dr. Liwei Chen, Assistant Professor of Epidemiology pada New Orleans School of Public Health, mengatakan perempuan dengan kondisi meningkatnya resiko komplikasi dan sakit selama kehamilan dan kelahiran dan diabetes tipe 2 setelah kelahiran. Anak-anaknya juga akan membawa risiko kegemukan, glucose intolerance dan diabetes.

Didukung oleh Van den Berg, Lucie pada tulisannya berjudul Harder Line on Softdrink Health bodies demand tough curbs, 17 Jan 2013: Terdapat 5 rekomendasi kunci untuk menanggulangi konsumsi softdrink, termasuk membatasinya dalam penjualan dan pemasaran minuman di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, pada pusat aktivitas dan kegiatan olah raga dan mengurangi ketersediaan minuman tersebut di tempat kerja, institusi pemerintah dan kesehatan. Para pro kesehatan mendesak agar menghentikan minuman manis yang menyebabkan kegemukan. The Cancer Council, Diabetes Australia dan the National Heart Foundation sedang menggali lebih lanjut pengenaan cukai atas softdrink dan mengurangi pemasaran dan penjualan minuman ringan. Mereka sedang mengajak orang-orang untuk meminum air alami dan mengurangi lemak susu melalui dukungan pemerintah. Kelompok kesehatan tersebut mengingatkan bahwa kesalahan kebijakan saat ini akan menimbulkan krisis kesehatan publik dan meningkatkan ongkos bagi para individu, keluarga, masyarakat dan pemerintah. Konsumsi softdrink semakin meningkat namun minuman berpemanis memiliki nutrisi yang sedikit dan menyebabkan kegemukan. Softdrink dengan 600ml softdrink mengandung rata-rata 16 sendok gula dan dosis per hari bisa meningkatkan tambahan 6.5 kg per tahun. Ketua Cancer Council Australia public health, Craig Sinclair, mengatakan ada banyak minuman berpemanis di pasaran, kebanyakan mereka berpura-pura sebagai minuman kesehatan seperti vitamin, iced tea dan energy products.

Demikian pula studi yang dilakukan oleh Isabel Drake, PhD Student (2012) pada Lund University menyatakan seseorang yang minum softdrink tiap hari memiliki resiko serius terkena kanker prostat. Peningkatan resiko terkena kanker prostat sekitar 40%. Studi ini akan dipublikasikan pada the American Journal of Clinical Nutrition.

Sedangkan hubungan antara kegemukan dengan konsumsi soda per liter di berbagai negara digambarkan dalam grafik sebagai berikut:

bf3bd5fdc84959d6bacd891cc3572005_softdrink
Sumber: Soda consumption from Euromonitor, 2011; Obesity prevalence from OECD Health Data, 2005, Presentation (2013) by Frank Chaloupka, International Forum on Public Policy to Combat Obesity

Mengapa minuman berkarbonasi berpemanis layak dikenakan cukai hal ini karena (1) terkait dengan kegemukan, beberapa kajian meta analisis menunjukan peningkatan konsumsi minuman berpemanis terkait dengan kegemukan, peningkatan kalori dari minuman berpemanis tidak meng-offset pengurangan kalori dari sumber lain. Selain itu pula (2) adanya dampak negatif terhadap kesehatan seperti diabetes tipe 2, mengurangi kepadatan tulang, masalah gigi, sakit kepala, pusing dan susah tidur.

Lantas bagaimana pemerintah melakukan intervensi dalam mengurangi eksternalitas/dampak negatif ini. Pemerintah perlu menerapkan pengenaan cukai atas konsumsi bahan yang tidak menyehatkan ini melalui penerapan cukai dengan melakukan pendekatan pengenaan cukai atas perilaku makan makanan yang tidak sehat dan memberi insentif terhadap individu yang berperilaku makan sehat. Melalui instrument harga akan menggeser individu agar memilih mengkonsumsi makanan sehat.

Belajar dari cukai yang dikenakan pada rokok, industri makanan dan minuman pasti akan menolak usulan pengenaan cukai atas softdrink. Mereka akan selalu menyampaikan bahwa produknya tidak bermasalah terhadap kesehatan dan menutupi bukti bukti bahwa softdrink memiliki bahaya negatif ke masyarakat. Adanya market failure inilah yang menyebabkan pemerintah perlu melakukan intervensi, dimana informasi terhadap kesehatan tidak diketahui masyarakat, dilain pihak ongkos dampak negatif selanjutnya yang harus pemerintah tanggulangi.

Dari sisi kesehatan masyarakat, sistem cukai spesifik lebih tepat diterapkan dibandingkan dengan ad valorem ataupun pajak penjualan, hal ini karena lebih transparan ke konsumen, memudahkan pemungutannya dan pengadministrasian, mengurangi terjadinya pengalihan ke harga yang murah dengan jumlah yang lebih banyak, pendapatan pemerintah bertambah tidak tergantung manipulasi harga oleh industri dan berdampak besar pada pengurangan konsumsi, namun demikian sistem cukai ini perlu disesuaikan dengan inflasi.

Pengenaan Cukai Untuk Minuman Soda Berpemanis (Unhealthy Food)

Siklus Ekonomi Politik Subsidi BBM

Sepertinya beberapa kali pemerintah gamang dalam penetapan subsidi BBM, dari sisi analisis ekonomi subsidi ini jelas memperberat APBN. Subsidi BBM yang mematok harga minyak tertentu di pasaran domestik, jelas makin lama beban APBN akan terkuras untuk subsidi tersebut. Nampaknya perlu dipertimbangkan mematok besaran tertentu subsidi per liter, daripada harus mematok harga minyak pada level tertentu di pasaran.

Porsi subsidi dalam APBN 2013 adalah sebesar 27,5%. Dengan dominannya porsi subsidi ini maka akan mengurangi ruang policy fiskal dalam mendukung pembangunan infrastruktur dan program prioritas lainnya. Apabila kita melihat realisasi subsidi BBM tahun 2012, subsidi BBM telah mencapai 115%, melesetnya target hal ini karena besaran subsidi BBM sulit dikontrol. Hal itu dikarenakan banyak variabel yang mempengaruhi diantaranya volume pemakaian, harga minyak dunia, dan kurs mata uang rupiah.

Adanya subsidi dari tahun ke tahun mengakibatkan misalokasi belanja negara yang seharusnya untuk hal-hal produktif dan berkualitas, dengan bensin murah maka konsumsi BBM menjadi berlebihan, kita lebih senang naik motor daripada bersepeda. Banyaknya kendaraan bermotor ini mengakibatkan peningkatan polusi lingkungan, di lain sisi menjadi insentif penyalahgunaan dan penyelewengan, misalnya insentif bagi penyelundupan BBM ke negara tetangga karena harga minyak kita lebih murah.

Analisis ekonomi sudah jelas bahwa besaran dan mekanisme subsidi ini makin lama harus direstrukturisasi secara bertahap, namun demikian siklus politik lima tahunan di negeri ini menjadi kendala. Kalau sekiranya pemerintah dan partai berkuasa saat ini pragmatis, maka sebaiknya BBM tidak perlu diutak-atik, digeser/di shift saja ke pemerintah atau partai berkuasa periode 5 tahun berikutnya. Toh, kalau dinaikan sekarang akibatnya gelombang aksi unjuk rasa masyarakat penentang anti kenaikan BBM akan muncul, kalau salah penanganan semakin memperburuk kinerja pemerintah saat ini. Namun kalau pemerintah saat ini berpikir panjang upaya penyesuaian subsidi BBM saat ini pasti dilakukan, mengingat makin lama subsidi BBM makin membengkak, hanya semakin menjadi bom waktu saja. Sehingga apabila ditahan pada periode saat ini, maka meletusnya di periode mendatang dengan kekuatan sebesar berapa gelembung subsidi yang ditahan.

Sehingga rasanya sangat aneh apabila ada partai oposisi di negeri ini yang menentang penurunan subsidi BBM. Hal ini menunjukan bahwa partai tersebut belum siap untuk menjadi partai yang berkuasa di periode berikutnya. Karena kalau saat ini ditahan kenaikan harga BBM, maka pada periode ke depan ketika partai tersebut berkuasa akan terbebani subsidi ini.

Mungkin partai tersebut menaruh harapan dengan tawaran alternatif lain selain pengurangan subsidi, yakni lewat peningkatan penerimaan negara misalnya kenaikan pajak. Kenaikan pajak jelas akan memukul sektor swasta, dengan terpukulnya sektor ini maka daya dorong pertumbuhan ekonomi semakin lambat, di lain sisi apabila ada partai yang mendukung kenaikan pajak ke swasta maka kemungkinan akan tidak didukung konstituen yang sebagian besar dari sektor swasta ini. Alternatif lainnya adalah dengan menaikan pinjaman luar negeri, sebagai alternatif tidak menaikan BBM, karena dengan pinjaman luar negeri maka tidak ada penarikan dana dari masyarakat. Namun kenaikan pinjaman luar negeri yang terlampau besar, sekali lagi hanya menggeser beban negara ini ke masa depan. Generasi saat ini yang menikmati, namun generasi mendatang yang akan membayar. Sama saja menggadaikan masa depan negeri ini. Hal ini jelas tidak baik untuk kesehatan fiskal yang berkelanjutan.

Sudah seharusnya penurunan subsidi dibuat roadmap jangka menengaha dan jangka panjang sehingga penurunannya terbagi tanggungjawabnya antar generasi, antar siklus politik, sehingga masing-masing periode kepemimpinan negeri ini berupaya untuk saling menyeimbangkannya.

Siklus Ekonomi Politik Subsidi BBM