Apakah Penghapusan Pajak Bumi dan Bangunan Adalah Alternatif Terbaik?

Beberapa gagasan kebijakan populis saat ini tengah digulirkan antara lain wacana penghapusan PBB. Ide ini dimulai dari Kementrian Agraria dan Tata Ruang. Kebijakan yang rencananya akan berlaku pada bangunan pribadi atau non komersil dan tempat tinggal. Beberapa pejabat negara menyampaikan bahwa gagasan ini adalah pro rakyat yang tidak mampu. Alasan tersebut mengemuka bagaimana tidak, sebagai contoh seorang nenek tinggal di kota tergusur hanya karena tidak mampu membayar PBB yang makin lama makin tinggi. Kebijakan ini juga tentunya akan mempermudah persyaratan di sektor perumahan dan pertanahan khususnya sektor properti jelas akan mendukung dengan rencana ini.

Saat ini kalau seseorang melakukan pembelian rumah akan terkena pembayaran PBB dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Rencana penghapusan PBB bertujuan untuk meringankan beban masyarakat saat membeli rumah. Dengan penghapusan ini idenya pembayaran hanya dilakukan satu kali bukan pemajakan yang dilakukan setiap tahun. Rencana penghapusan ini terkait dengan Nilai jual obyek pajak (NJOP) memang sudah saatnya ditata dan diperbaiki dengan menyesuaikan kondisi pasar tanah dan bangunan. NJOP perlu diganti dengan harga patokan yang lebih jelas. Namun, kebijakan ini bisa membebani pembeli properti. Sebab pemerintah daerah bisa saja semena-mena menetapkan pungutan baru dan besaran tarifnya.

Munculnya ide penghapusan tersebut adalah wajar saja dimana banyak masyarakat mengeluh akibat terkena dampak kenaikan PBB. Pada dasarnya setiap warga negara kalau bisa tidak perlu membayar pajak, namun pembiayaan pembangunan pemerintah dari mana sumbernya? Bagaimana bisa membangun infrastruktur tanpa dukungan dana masyarakat. Dilain sisi target pendapatan pajak naik menjadi sekitar 1484 triliun tahun 2015.

Pemerintah Pusat bisa saja menyampaikan bahwa penghapus PBB tidak akan berdampak besar pada penerimaan negara. Sebab, pemerintah pusat sudah melimpahkan pengelolaan PBB ke pemerintah daerah sejak 1 Januari 2014 setelah BPHTB terlebih dulu dilimpahkan pada 1 Januari 2011. Pelimpahan kedua jenis pungutan itu dilakukan berdasarkan pada UU Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Argumentasi pengalihan PBB Perdesaan dan perkotaan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah pada waktu itu bertujuan untuk meningkatkan local taxing power pada kabupaten/kota. Karena keberadaan PBB ini akan memperluas objek pajak daerah dan retribusi daerah, menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah, memberikan diskresi penetapan tarif pajak daerah, dan menyerahkan fungsi pajak sebagai instrumen dan pengaturan pada daerah.

Jika dihapus maka akan berakibat kerugian penerimaan negara dalam hal ini pemerintah daerah (dari pemberitaan media), untuk pemerintah DKI akan kehilangan sekitar Rp 13 triliun dan  Tangerang sekitar  Rp 319 miliar, bukan jumlah yang sedikit bagi Pemda untuk memperoleh pendapatan sebesar itu. Sehingga meski tidak berpengaruh pada penerimaan pusat, namun hal ini jelas akan mempengaruhi dana pusat yang nantinya akan ditransfer ke daerah.

Prinsip Desain Pajak

Desain pajak memiliki prinsip yakni keadilan, efisiensi, simple, sustainable dan kebijakan yang konsisten. Memenuhi rasa keadilan yakni memperlakukan individu yang memiliki kapasitas ekonomi yang sama diperlakukan secara sama. Apakah seorang nenek miskin berada di tengah kota dengan lahan yang luas adalah adil dipajaki tinggi? Hal ini memang terus mengundang perdebatan prinsip keadilan, dimana ada yang berpandangan bahwa memang sudah layak nenek miskin untuk dibebaskan PBBnya namun di sisi lain ada yang berpandangan bahwa kondisi keberadaan ibu tua tersebut seyogyanya berada di pinggir kota, agar tanah yang ditengah kota tersebut dapat dimanfaatkan oleh para pengusaha muda yang lebih efisien dalam mengembangkan usahanya untuk kegiatan yang lebih produktif.

Prinsip efisiensi yakni pungutan yang dilakukan akan diredistribusikan pada kegiatan ekonomi yang efisien dan administrasi pungutan yang biayanya murah. Simple artinya mudah dipahami dan dipatuhi dimana sistemnya dilakukan secara transparan. Sustainable artinya  sistem tersebut berlangsung berkesinambungan dan prinsip terakhir konsistensi yang artinya kebijakan tersebut tidak menabrak kebijakan yang lain. Kebijakan pembebasan PBB tentunya akan menabrak kebijakan penerimaan pemda dalam upaya memungut pendapatan daerahnya. Ketika pendapatan daerah tidak tercapai akhirnya pemerintah pusat yang harus menalanginya.

Posisi dana yang ada di masyarakat Indonesia terlihat sebagaimana tabel dibawah. Potensi pajak di Indonesia terbanyak pengenaannya ada di cash and cash equivalen kurang lebih 27%, kemudian di real estate kurang lebih 21%. Sehingga real estate merupakan potensi pajak yang harusnya menjadi sumber penerimaan yang sustainable apabila dikelola dengan baik.

pbb

https://www.worldwealthreport.com/apwr/reports/asset_allocation/asia_pacific/indonesia

Alternatif Solusi

PBB pada dasarnya bisa digunakan oleh Pemda sebagai instrumen fiskal daerah untuk meningkatkan perekonomiannya. Sebab, Pemda akan menerima sepenuhnya penerimaan pajak tersebut. Hal ini berbeda ketika ketika PBB masih dikelola pemerintah pusat, pemda hanya menerima bagian sebesar 64,8 persen. Selain itu, di dalam UU PDRD, hanya membolehkan pemda mematok tarif PBB maksimal 0,3 persen dan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) paling rendah Rp 10 juta.

Sebenarnya kebijakan populis tidak harus menghapuskan seluruh PBB sebagaimana usulan dari pemerintah pusat, mengacu pada UU 28/2009 otoritas itu saat ini berada di Pemda, Pemda juga berhak untuk tidak memungut PBB. Jika, berdasarkan perhitungan, biaya pemungutan akan lebih besar dibandingkan penerimaan yang akan diperoleh. Sebelum memungut, Pemda juga perlu mennyiapkan perangkat hukum, sumber daya manusia, Struktur organisasi dan tata kerja, sarana dan prasarana, pembukaan rekening penerimaan, dan lainnya. Kebijakan populis melindungi orang miskin tetap dilakukan dengan cara mengecualikan kebijakan pajak terhadap nenek miskin yang tinggal di tengah perkotaan. Kebijakan ini bisa diselesaikan melalui pengecualian yang dilakukan oleh Pemda atau lewat cara lain dimana pajak tetap dipungut namun si miskin diberi bantuan belanja tunai lewat program pemberantasan kemiskinan. Sehingga penerimaan tetap sustainable dan kebijakan pro poor juga terus berjalan.

Apabila alasan penghapusan PBB adalah karena NJOP nilainya tidak sesuai dengan harga tanah sebenarnya bisa saja tarif pungutannya diubah dari tarif ad valorem menjadi tarif spesifik, yakni pungutan PBB per meter dengan nilai rupiah tertentu.

Apakah Penghapusan Pajak Bumi dan Bangunan Adalah Alternatif Terbaik?

Leave a comment