Dampak Pendapatan & Harga Rokok Terhadap Tingkat Konsumsi Rokok Pada Rumah Tangga Miskin di Indonesia

*ditulis bersama Piping Setyo H. dimuat dalam jurnal BPPK (rumus tidak dicantumkan)

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Konsumsi tembakau sering kali menciptakan lingkaran setan kemiskinan. Konsumsi tembakau dapat meningkatkan kemiskinan karena sumber pendapatan keluarga miskin yang terbatas justru dibelanjakan untuk konsumsi tembakau, dan bukan untuk kebutuhan pokok, seperti makanan, biaya pendidikan anak, biaya kesehatan dan upaya meningkatkan gizi anak-anak dan keluarga (Irawan, 2005;2). Hal senada disampaikan oleh Ahsan (2012) bahwa konsumsi tembakau merupakan perangkap kemiskinan. Bagi keluarga miskin, sedikit saja pengalihan sumber pendapatan yang terbatas akan berdampak besar terhadap status kesehatan dan gizi mereka.

Ancaman konsumsi tembakau untuk kesehatan, ekonomi, dan sosial masyarakat kini semakin nyata. Tingginya prevalensi perokok di Indonesia dewasa ini sangat memprihatinkan. Seperti yang dilansir Bisnis Indonesia (2 Januari 2012) bahwa rokok kretek filter memberikan sumbangan terbesar kedua pada Garis Kemiskinan yang dihitung oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Sungguh mengkhawatirkan bahwa di dalam pengeluaran makanan, banyak penduduk miskin yang membelanjakan pendapatannya untuk hal-hal yang berdampak buruk bagi kesehatan diantaranya pengeluaran untuk rokok.

Dalam upaya mengendalikankonsumsi rokokdiperlukanpemahaman terhadap hubungan antara kemiskinan dan konsumsi rokok serta fakta terkait dengan rokok di Indonesia. Penelitian tentang pola konsumsi rokok di rumah tangga miskin masih sangat terbatas (Firdaus dan Suryaningsih(2010); Triana (2011)).

Pada tahun 2010, 190,260 penduduk Indonesia meningal karena penyakit terkait konsumsi tembakau atau 12,7 persen dari total kematian (Kosen, 2012). Kosen juga menjelaskan bahwa secara makro, pengeluaran tembakau di Indonesia tahun 2010 menyebabkan pengeluaran yang tidak perlu sebesar 231,27 trilyun rupiah, yang terdiri dari 138 trilyun rupiah untuk pembelian rokok, 2,11 trilyun rupiah untuk biaya perawatan medis rawat inap dan rawat jalan, dan 91,16 trilyun rupiah kerugian akibat kehilangan produktivitas karena kematian premature dan morbiditas-disabilitas. Sementara realisasi penerimaan cukai hasil tembakau pada tahun 2010 hanya sebesar 63 trilyun rupiah.

Rumah tangga di Indonesia yang mengkonsumsi rokok pada tahun 2003 mencapai 60 persen.  Pada tahun 2003-2006 pengeluaran rumah tangga per bulan untuk membeli rokok meningkat, dari 42,4 ribu rupiah pada tahun 2003 menjadi 52,3 ribu rupiah pada tahun 2006. Sementara, pada tahun 2006 pengeluaran rumah tangga termiskin untuk rokok hanya terkalahkan oleh pengeluaran untuk padi-padian.

Tabel 1:Urutan Lima Besar Pengeluaran Rumah  Tangga Termiskin (%), di Indonesia, Tahun 2003-2006

No. Jenis Pengeluaran Tahun
2003 2004 2005 2006
1 Padi-padian 19,01 19,19 20,16 22,10
2 Tembakau dan Sirih (termasuk rokok) 11,78 11,55 12,43 11,89
3 Listrik, Telpon dan BBM 8,29 9,08 6,68 10,95
4 Sewa dan Kontrak 7,37 8,84 8,31 8,82
5 Ikan 6,15 6,43 6,89 6,75

Sumber: Diolah dari Susenas 2003-2006

Hasil studi Irawan (2005) dan Ahsan (2012) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat kecanduan perokok, semakin miskin kondisi perekonomian keluarga. Porsi belanja rokok  yangsemakin besar akan mengurangi kemampuan keluarga untuk mencukupi kebutuhan lain, seperti makanan, biaya pendidikan anak, biaya kesehatan dan upaya meningkatkan gizi anak-anak dan keluarga, pengobatan, terlebih menabung. Hasil studi yang hampir sama dikemukakan Efroymson, et.al. (2001), pengeluaran untuk konsumsi rokok akan mengakibatkan kemiskinan dan secara signifikan menurunkan standar hidup keluarga miskin.

Berbagai kebijakan diambil oleh pemerintah untuk mengendalikan konsumsi rokok, diantaranya dengan menaikkan cukai rokok, sehingga harga rokok dari tahun ke tahun terus meningkat. Pemerintah terus berusaha menaikan cukai yang diharapkan dapat menurunkan konsumsi rokok masyarakat secara efektif. Di sisi lain program pengentasan kemiskinan dilakukan dengan cara menaikkan pendapatan mereka. Namun, kenaikan pendapatan tersebut diduga akan diikuti kenaikan konsumsi rokok rumah tangga.

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsumsi rokok rumah tangga miskin ketika terjadi kenaikan pendapatan dan harga rokok, serta untuk mengetahui belanja komoditi yang dikorbankan rumah tanggamiskin ketika konsumsi  rokok meningkat.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Rokok

Studi yang dilakukan Ross dan Chaloupka (2002) menerangkan bahwa konsumsi rokok dipengaruhi oleh harga rokok, harga barang lain, dan pendapatan per kapita. Sementara hasil studi Hidayat dan Thabrany (2010) menyatakan bahwa harga barang lain yang dapat mempengaruhi konsumsi rokok adalah alkohol, serta variabel status pekerjaan. Hasil tersebut sejalan dengan Wang, et.al.(2005) yang menemukan bahwa di Cina, alkohol merupakan komplemen dari rokok. Hal tersebut ditunjukkan dari adanya peningkatan persentase konsumsi rokok ketika pengeluaran untuk alkohol meningkat.

Hasil yang sedikit berbeda dikemukanan oleh Wilkins, et.al.(2000), yang menyatakan bahwa variabel karakteristik individu dan rumah tangga yang mempengaruhi konsumsi rokok adalah umur, pendidikan, dan agama, sedangkan variabel pengendalian tembakau yang dapat mempengaruhi konsumsi rokok diantaranya adalah adanya fasilitas kesehatan dan akses terhadap iklan lewat media elektronik. Hasil penelitian yang dilakukan Harahap (2003), menyatakan  bahwa faktor sosial demografi yang secara signifikan mempengaruhi jumlah konsumsi rokok adalah umur, pendidikan, jenis kelamin dan status perkawinan.

Penelitian mengenai konsumsi rokok pada rumah tangga miskin di Pulau Jawa yang telah dilakukan oleh Firdaus dan Suryaningsih (2010) serta Triana (2011)  menggunakan model dan variabel sosial demografi yang berbeda. Menurut Firdaus dan Suryaningsih (2010) faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi rokok rumah tangga miskin adalah pendapatan rumah tangga sebulan, jumlah anggota rumah tangga yang dewasa (18 tahun ke atas), dan konsumsi non rokok rumah tangga miskin sebulan. Sementara menurut Triana (2011) faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi rokok adalah jumlah anggota rumah tangga, tipe wilayah tempat tinggal, dan pendidikan kepala rumah tangga sebagai variabel kontrol dalam model konsumsi rokok.

Menurut Ulfah (2012), ternyata salah satu faktor yang menyebabkan pesatnya konsumsi rokok adalah kapasitas pengetahuan yang tidak memadai tentang dampak negatif atau bahaya rokok bagi kesehatan. Hal tersebut didasarkan pada pendataan laju pertumbuhan konsumsi rokok dari masyarakat tingkat elit sampai ke bawah. Data menunjukkan adanya penurunan konsumsi rokok di kalangan masyarakat elit dengan kapasitas pengetahuan yang memadai, dan justru meningkat secara signifikan pada masyarakat strata rendah yang merasa tabu terhadap pengetahuan tentang bahaya rokok.

Fungsi Permintaan Konsumen

Permintaan konsumen adalah jumlah barang yang diminta (diinginkan)  oleh konsumen pada berbagai tingkat harga dan periode waktu tertentu. Apabila terjadi kenaikan harga pada suatu barang, maka jumlah barang yang diminta oleh konsumen akan turun, ceteris paribus. Teori permintaan konsumen neoklasik menjelaskan bahwa konsumen baik individu maupun rumah tangga harus membuat keputusan untuk memilih kombinasi barang yang dikonsumsi.Namun teori permintaan konsumen neoklasik mempunyai kelemahan dalam menjelaskan perilaku konsumen (Moeis, 2003), sehingga dianggap perlu untuk memasukkan faktor sosial demografi ke dalam sistem permintaan neoklasik.

Untuk mengukur persentase perubahan permintaan suatu barang karena perubahan permintaan barang lain maupun pendapatan, digunakan ukuran elastisitas permintaan. Menurut teori konsumen, ada 3 jenis elastisitas permintaan, yaitu:

  1. Elastisitas pendapatan adalah ukuran yang menunjukkan respon permintaan konsumen akibat terjadinya perubahan pendapatan konsumen.
  1. Elastisitas harga sendiri adalah ukuran yang menunjukkan respon permintaan konsumen akibat terjadinya perubahan harga komoditi itu sendiri.
  1. Elastisitas harga silang adalah ukuran yang menunjukkan respon permintaan konsumen akibat terjadinya perubahan harga komoditi lain. Elastisitas tersebut adalah:

Ada banyak faktor yang mempengaruhi tingkat elastisitas harga, antara lain tingkat substitusi, jumlah pemakai, proporsi kenaikan harga terhadap pendapatan konsumen, jangka waktu, dan tingkat harga. Semakin sulit mencari substitusi suatu barang, permintaan terhadap barang tersebut semakin inelastis dan sebaliknya. Jika harga bergerak pada kurva permintaan yang lebih tinggi, maka permintaan akan cenderung lebih elastis daripada jika harga bergerak pada kurva permintaan yang lebih rendah.

Almost Ideal Demand System

Model dinamis permintaan rokok menghadapi permasalahan bahwa harga dan kualitas rokok sangat bervariasi, sehingga menimbulkan permasalahan endogenitas. Salah satu model permintaan rokok yang dinamis dan dapat digunakan untuk mengatasi masalah endogenitas yang disebabkan oleh adanya variasi harga adalah model LA/AIDS (Chen and Xing, 2011). Dalam studi ini peneliti menggunakan model LA/AIDS karena model tersebut secara teori maupun empiris mudah dan fleksibel untuk diaplikasikan (Lewbel, 1989 dalam Moeis, 2003).

Model AIDS yang dikembangkan oleh Deaton and Muellbauer, (1980) diturunkan dari suatu fungsi utilitas dengan aproksimasi order kedua (second order approximation) dari fungsi utilitas. Penggunaan indeks harga membuat model AIDS berbentuk non linier dan sulit untuk diestimasi, sehingga indeks harga akan diestimasi dengan menggunakan Indeks Harga Stone, Dengan menggunakan Indeks Harga Stone maka persamaan menjadi linier dalam harga dan pengeluaran.Fungsi tersebut dikenal sebagai aproksimasi linier dari AIDS atau LA/AIDS. Model LA/AIDS banyak digunakan oleh para peneliti  (Deaton (1988); Moeis (2003)). Beberapa kelebihan model LA/AIDS diantaranya adalah:

  1. Model mempertimbangkan keputusan konsumen dalam menentukan kelompok komoditi secara bersama-sama sehingga hubungan dua arah atau lebih dari komoditi-komoditi tersebut dapat ditentukan. Hal ini sesuai dengan fenomena aktual yang terjadi bahwa pemilihan suatu komoditi dilakukan oleh konsumen secara bersama-sama.
  2. Model lebih konsisten dengan data pengeluaran rumah tangga yang tersedia, sehingga estimasi permintaan bisa dilakukan tanpa data kuantitas.
  3. Konsisten dengan teori permintaan karena adanya restriksi yang dimasukkan ke dalam model dan dapat digunakan untuk menguji restriksi model.
  4. Karena modelnya linier maka parameternya mudah diestimasi dan lebih efisien.

Penelitian Terdahulu

Studi di Indonesia yang dilakukan oleh De Beyer dan Yurekli (2001) menggunakan model log linier dan data agregat time series tahun 1980 sampai 1995 melaporkan bahwa nilai elastisitas harga sebesar -0,51 dan elastisitas pendapatan sebesar 0,35. Studi yang dilakukan Djutaharta, et.al.(2003), melakukan estimasi dengan menggunakan data tahunan (1970 sampai 2001) dan data bulanan (1996 sampai 2001).Variabel yang dimasukkan dalam model diantaranya adalah faktor peringatan kesehatan yang dicantumkan pada bungkus rokok di Indonesia, krisis ekonomi, dan trend waktu. Model yang dikembangkan tersebut menghasilkan nilai elastisitas harga yang sedikit lebih rendah yaitu antara -0,33 sampai -0,47, dan elastisitas pendapatan antara 0,14 sampai 0,51. Pada periode krisis, konsumsi rokok justru lebih besar 22 persen dibandingkan sebelum krisis.Alasan kenaikan konsumsi tersebut terkait dengan stres perokok karena krisis. Penyertaan variabel dummy peringatan kesehatan pada bungkus rokok dilaporkan tidak signifikan.

Guindon, et.al., (2003) menggunakan data Indonesia tahun 1970-2000 dengan analisis runtun waktu. Model yang digunakan adalah model konvensional yang tidak memperhitungkan faktor adiksi, hasil studi menunjukkan nilai elastisitas harga jangka pendek sebesar -0,29 dan elastisitas pendapatan sebesar 0,72. Jika data tersebut diaplikasikan pada model myopic addictiondengan variabel lag untuk konsumsi rokok maka menghasilkan nilai elastisitas harga sebesar -0,32, dan elastisitas pendapatan sebesar 0,32. Hasil studi yang dilakukan oleh Hidayat dan Thabrany (2010), menggunakan agregat data panel dari IFLS 1993-2000, mendukung model myopic addiction. Elastisitas harga jangka pendek dan jangka panjang masing-masing adalah sebesar -0,28 dan -0,73.

Studi lain yang pernah dilakukan di Indonesia adalah studi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya konsumsi rokok individu dengan menggunakan model sample selection (Harahap, 2003). Studi tersebut menganalisis data individu berskala nasional yang diperoleh dari IFLS 1997.Hasil studi menemukan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya jumlah konsumsi rokok berbeda dengan faktor yang mempengaruhi partisipasi rokok.Harga rokok dan pendapatan memiliki hubungan yang signifikan dengan besarnya jumlah konsumsi rokok, dimana harga rokok berpengaruh negatif dan pendapatan berpengaruh positif terhadap konsumsi rokok.Variabel sosial demografi yang secara signifikan mempengaruhi jumlah konsumsi rokok adalah umur, pendidikan, jenis kelamin dan status perkawinan.

Analisis menggunakan data konsumsi tembakau pada tingkat rumah tangga memungkinkan eksplorasi yang lebih dalam menurut kelompok penduduk, umur, gender, pendapatan dan pendidikan (Barber, et.al., 2008). Adioetomo et.al.(2005) menggunakan data cross section tahun 1999 untuk menganalisis konsumsi tembakau secara lebih detail.Model yang digunakan adalah model Ordinary Least Square (OLS) dengan memasukkan harga rokok, pengeluaran rumah tangga, pengaruh cukai, wilayah, pulau terbesar, tempat tinggal, jenis kelamin, umur dan pendidikan sebagai variabel independen. Hasil studi melaporkan bahwa harga berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan rumah tangga dalam mengkonsumsi tembakau, tetapi harga mempengaruhi jumlah rokok yang dikonsumsi dengan elastisitas sebesar -0,60. Rumah tangga miskin lebih responsif terhadap perubahan harga, dengan elastisitas harga sebesar -0,70. Studi tersebut melaporkan adanya variasi harga yang cukup besar dalam data, terutama pada data cross section karena adanya bias sistematik dari data (Barber, et.al., 2008).

Penelitian yang dilakukan Firdaus dan Suryaningsih (2010) juga menggunakan regresi berganda dan metode estimasi OLS, untuk mengetahui fungsi konsumsi rokok pada rumah tangga miskin di Pulau Jawa.Dari hasil pengolahan data didapatkan bahwa variabel pendapatan, anggota rumah tangga dewasa dan konsumsi non rokok mempengaruhi tingkat konsumsi rokok di Pulau Jawa.Model yang dikembangkan menghasilkan kesimpulan bahwa konsumsi rokok di Pulau Jawa adalah elastis. Hasil tersebut bertentangan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Triana (2011) dengan menggunakan model LA/AIDS, yang menyebutkan bahwa elastisitas harga untuk komoditi rokok pada rumah tangga miskin di Pulau Jawa bersifat inelastis baik di perkotaan maupun di perdesaan dan trennya cenderung meningkat. Elastisitas harga silang komoditi rokok menyatakan adanya hubungan komplementer antara rokok dengan komoditi makanan pokok, lauk pauk, telekomunikasi dan pendidikan dan hubungan substitusi dengan komoditi makanan lainnya dan komoditi non makanan lainnya.Berdasarkan elastisitas pengeluaran maka komoditi rokok termasuk barang mewah.

Sejalan dengan studi Triana (2011), Barber, et.al.(2008) juga menyatakan bahwa permintaan rokok dikatakan bersifat inelastis, artinya persentase penurunan permintaan relatif lebih rendah daripada kenaikan harga. Dengan kata lain banyak perokok akan tetap melanjutkan kebiasaannya meskipun harus membayar harga yang cukup tinggi, tidak terkecuali bagi perokok yang berasal dari rumah tangga miskin.

Studi mengenai rokok di Cina yang dilakukan oleh Wang, et.al.(2006) bertujuan melihat dampak pengeluaran tembakau terhadap pola pengeluaran rumah tangga di perdesaan. Dengan menggunakan model fractional logit (flogit) dilakukan estimasi hubungan antara pengeluaran tembakau dengan 17 pengeluaran komoditi lainnya, dan dikontrol menggunakan karakteristik sosial ekonomi dan demografi rumah tangga.

Hasil studi Kyaing, et.al. (2005) menunjukkan bahwa konsumsi tembakau pada kelompok low-income berhubungan dengan pengeluaran rumah tangga yang digunakan untuk tembakau dan opportunity cost dari pengeluaran tersebut. Survei dilakukan pada kelompok low-income, dan menemukan bahwa rumah tangga yang mengkonsumsi tembakau menghabiskan uangnya lebih banyak untuk mengkonsumsi tembakau daripada untuk kesehatan, pendidikan, pakaian dan perumahan. Persentase pengeluaran untuk konsumsi rokok paling besar terjadi pada kelompok pendapatan paling rendah. Elastisitas harga dan konsumsitembakau berkorelasi negatif, atau dapat dikatakan bahwa peningkatan harga tembakau secara efisien dapat menurunkan penggunaan tembakau.

Hu, et.al.(2005) dan Liu, et.al.(2006) meneliti hubungan rokok dengan kemiskinan.  Kedua penelitian tersebut menggunakan model regresi pada data yang berbeda. Hu, et.al. (2005) menyimpulkan bahwa penurunan pengeluran rokok dapat menjadi sumber daya rumah tangga untuk konsumsi makanan, perumahan dan barang lain yang dapat meningkatkan standar hidup. Sementara Liu, et.al.(2006) menyatakan bahwa penurunan prevalensi rokok tidak hanya merupakan strategi untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, tetapi juga merupakan strategi untuk mengurangi kemiskinan. Studi lain di Cina adalah studi yang dilakukan oleh Chen dan Xing (2011). Studi tersebut mengestimasi elastisitas konsumsi tembakau dengan menggunakan model LA/AIDS. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa harga rokok merupakan faktor penting yang mempengaruhi kebiasan merokok.

Berbagai penelitian mengenai tembakau dan rokok juga berkembang di India, diantaranya adalah Guptadan Sanker (2003) membahas berbagai isu mengenai tembakau di India. Studi Neufeld, et.al. (2004),  menyatakan bahwa penggunaan alkohol dan tembakau di India berkaitan dengan umur, jenis kelamin dan kemiskinan. Sementara John (2005) dan (2008) menganalisis dampak pola konsumsi tembakau terhadap kesehatan dan alokasi sumber daya serta kecukupan gizi rumah tangga.

Siahpush (2003) dengan menggunakan metode regresi logistik melihat hubungan antara status sosial ekonomi dan pengeluaran tembakau di Australia.Metode yang digunakan untuk mengestimasi efek pengeluaran tembakau adalah metode OLS. Hasil studi menyimpulkan bahwa status sosial ekonomi yang rendah mempunyai pengeluaran untuk tembakau yang lebih tinggi. Diantara rumah tangga perokok, rumah tangga yang mempunyai status sosial ekonomi terendah menghabiskan lebih banyak dananya untuk tembakau.

Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:

  1. Rumah tangga miskin akan meningkatkan konsumsi rokoknya jika ada peningkatan pendapatan.
  2. Rumah tangga miskin akan mengurangi konsumsi rokok, jika ada kenaikan harga rokok.
  3. Rumah tangga miskin akan mengurangi konsumsi barang lain, jika pengeluaran untuk konsumsi rokok meningkat.

III. METODE PENELITIAN

Sumber Data

Penulis menggunakan data Susenas Panel tahun 2008-2010 dan Potensi Desa (Podes) 2008. Data Susenas Panel 2008-2010 mencakup sampel 68.800 rumah tangga, 67.174 rumah tangga pada tahun 2009, dan 66.516 rumah tangga pada tahun 2010. Data Susenas dipilih karena dapat memperlihatkan informasi mengenai karakteristik sosial ekonomi dan sosial demografi rumah tangga, sedangkan data Podes digunakan untuk memperoleh data mengenai akses rumah tangga terhadap informasi maupun fasilitas kesehatan.

Pengelompokkan tersebut diperlukan untuk memudahkan peneliti dalam melakukan estimasi dan analisis. Selain itu dengan dilakukannya pengelompokkan tersebut diharapkan dapat mengurangi adanya bias akibat pengamatan yang kosong karena rumah tangga tidak mengkonsumsi jenis pangan tertentu pada waktu satu minggu periode survei. Adanya rumah tangga yang tidak mengkonsumsi salah satu komoditi pangan, akan memungkinkan terjadinya selectivity bias data (Moeis, 2003).

Penggunaan variabel bebas harga-harga (pi) dan tidak bebas proporsi pengeluaran (wi) kelompok komoditi secara bersama-sama, akan mengakibatkan bias simultan (simultaneity bias) dan jika digunakan metode OLS, maka akan menghasilkan estimator yang bias. Untuk menghindari terjadinya simultaneity bias dan mengkoreksi harga-harga guna mengatasi quality effect dan quantity premium terhadap rumah tangga sampel yang mengkonsumsi suatu komoditi, maka digunakan instrument variable (Moeis, 2003). Hal tersebut dilakukan dengan mencari harga estimasi masing-masing komoditi untuk setiap rumah tangga sampel, dengan asumsi setiap rumah tangga belanja pada pasar yang sama untuk setiap desa dan setiap desa hanya memiliki satu pasar. Langkah pertama, dilakukan penghitungan logaritma natural dari harga rata-rata setiap komoditi di desa ( ) dan menghitung deviasi dari log harga setiap komoditi ( ) yang dibayar oleh setiap rumah tangga terhadap rata-rata harga setiap komoditi di setiap desa.Setelah log deviasi harga diperoleh, selanjutnya dilakukan estimasi regresi deviasi harga dengan metode OLS menurut model ekonometri, sebagai berikut:

Setelah model regresi deviasi harga diperoleh, maka dilakukan estimasi log deviasi harga ( ) dari setiap komoditi untuk setiap rumah tangga baik rumah tangga yang mengkonsumsi ataupun tidak mengkonsumsi komoditi tersebut.

Dalam penelitian ini komoditi pengeluaran rumah tangga dikelompokkan menjadi 11 kelompok. Karena masih terdapat banyak rumah tangga yang tidak mengkonsumsi komoditi tertentu setelah dilakukan pengelompokkan, maka dilakukan prosedur two step Heckman. Prosedur two step Heckman dilakukan dengan cara menambahkan veriabel bebas Invers Mills Ratio (IMR) pada model utama. Untuk mendapatkan variabel IMR dilakukan tahapan sebagai berikut:

Pertama mengetimasi peluang rumah tangga mengkonsumsi suatu kelompok komoditi dengan regresi probit. Model probit menggunakan variabel tidak bebas konsumsi setiap komoditi pengeluaran (konsumsi) yaitu bernilai 1 jika mengkonsumsi kelompok komoditi i dan bernilai 0 jika tidak mengkonsumsi. Sedangkan variabel bebas yang digunakan adalah harga-harga, total pengeluaran rumah tangga, dan karakteristik sosial demografi rumah tangga.

Kemudian dilakukan estimasi nilai probit untuk setiap rumah tangga dan hasilnya digunakan untuk menghitung IMR.

Kedua menghitung nilai IMR yaitu dengan membandingkan antara probability density function (PDF) dengan cumulative distribution function (CDF) normal standar. Dengan mengacu pada Heien dan Pompelli (1998) maka model dasar LA/AIDS diperluas dengan menggunakan variabel sosial demografi. Variabel sosial demografi yang digunakandalam penelitian inidan diduga mempengaruhi besarnya konsumsi rokok pada rumah tangga miskin adalah umur kepala rumah tangga, lama sekolah kepala rumah tangga, persentase anggota rumah tangga yang berumur 18 tahun ke atas, pekerjaan kepala rumah tangga, akses terhadap informasi, adanya fasilitas kesehatan, dan daerah tempat tinggal.

Variabel presentase jumlah anggota rumah tangga yang berumur 18 tahun ke atas digunakan untuk melihat persentase anggota rumah tangga yang sudah dewasa dan sebagai proksi dari umur pertama kali merokok. Variabel tersebut sering digunakan karena adanya keterbatasan data individu. Secara ekonomi semakin besar persentase rumah tangga yang dewasa maka pengeluaran rumah tangga yang digunakan untuk konsumsi rokok akan semakin besar pula.

Mengacu pada persamaan di atas maka elastisitas harga sendiri (εii), elastisitas harga silang (εij), dan elastisitas pendapatan/pengeluaran (εiI) dapat dihitung.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsumsi Rumah Tangga

Berdasarkan persentase rumah tangga yang mengkonsumsi komoditi tertentu, maka terlihat bahwa selama tiga tahun pengamatan, konsumsi rumah tangga miskin untuk komoditi yang merupakan sumber protein tinggi masih rendah. Rumah tangga miskin lebih mengutamakan konsumsi untuk karbohidrat atau kalori, untuk sekedar menghilangkan rasa lapar tanpa memperhatikan kebutuhan nutrisi makanan yang harus dikonsumsi.

Kelompok komoditi terbanyak yang tidak dikonsumsi oleh rumah tangga miskin adalah kelompok minuman beralkohol, yaitu lebih dari 98 persen pada tahun 2008, 2009, maupun 2010. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya kesadaran masyarakat untuk tidak mengkonsumsi alkohol.

Sementara kelompok non makanan lainnya dikonsumsi oleh semua rumah tangga miskin. Oleh karena semua rumah tangga mempunyai pengeluaran untuk konsumsi non makanan lainnya, maka tidak terjadi selectivity bias pada kelompok ini, sehingga tidak dilakukan regresi probit pada kelompok ini.

Tabel 1: Persentase Rumah Tangga Miskin yang Mengkonsumsi dan Tidak MengkonsumsiKelompok Komoditi

No. Kelompok Komoditi 2008 2009 2010
Konsumsi Tidak Konsumsi Tidak Konsumsi Tidak
1 Padi-padian 98,51 1,49 98,80 1,20 98,94 1,06
2 Ikan/Udang/Cumi/Daging/Telur/Susu 90,99 9,01 90,34 9,66 91,35 8,65
3 Sayur&Buah 99,22 0,78 99,43 0,57 99,07 0,93
4 Bahan Minuman 92,19 7,81 92,52 7,48 92,18 7,82
5 Minuman Beralkohol 1,14 98,86 1,21 98,79 1,03 98,97
6 Rokok 46,33 53,67 44,23 55,77 47,21 52,79
7 Tembakau & Sirih Lainnya 34,51 65,49 33,78 66,22 28,40 71,60
8 Makanan Lainnya 99,96 0,04 99,98 0,02 99,98 0,02
9 Biaya Kesehatan 97,00 3,00 96,46 3,54 95,10 4,90
10 Biaya Pendidikan 66,19 33,81 66,98 33,02 68,51 31,49
11 Non Makanan Lainnya 100,00 0,00 100,00 0,00 100,00 0,00

Sumber: Diolah dari Susenas Panel 2008-2010

Rumah tangga yang tidak mempunyai pengeluaran untuk rokok menunjukkan bahwa rumah tangga tersebut tidak mengkonsumsi rokok atau tidak ada anggota rumah tangga tersebut yang mengkonsumsi rokok. Persentase rumah tangga miskin yang merokok pada tahun 2008 mencapai 46,33 persen, sedikit menurun pada tahun 2009 dan meningkat kembali pada tahun 2010 menjadi 47,21 persen. Pada tahun 2009 persentase rumah tangga miskin yang mengkonsumsi rokok menurun karena adanya kenaikan harga dan kemudian meningkat kembali pada tahun 2010 meskipun terjadi kenaikan harga rokok pada awal tahun 2010.

Dilihat dari rata-rata unit value-nya harga rokok yang dibeli oleh rumah tangga miskin pada tahun 2008, 2009, dan 2010, masing-masing adalah sebesar 196,44 rupiah, 391,10 rupiah, dan 502,73 rupiah. Standar deviasi unit value untuk rumah tangga miskin sangat bervariasi dan cukup tinggi pada semua kelompok komoditi. Hal tersebut menggambarkan adanya heterogenitas pada unit value.Keheterogenan ini bisa disebabkan oleh efek kualitas barang atau jumlah barang yang dibeli (Moeis, 2003). Pengaruh ini akan dihilangkan dengan melakukan estimasi deviasi dari logaritma harga yang selanjutnya akan diperoleh harga estimasi yang terbebas dari qualityeffect dan quantity premium.

Rumah tangga miskin yang mengkonsumsi rokok sekitar 40 persen.Rata-rata proporsi pengeluaran untuk rokok pada rumah tangga miskin berkisar antara 0,034-0,040.Harga rokok yang dikonsumsi oleh rumah tangga miskin relatif murah. Rendahnya rata-rata proporsi pengeluaran untuk rokok pada rumah tangga miskin sejalan dengan lebih rendahnya rata-rata unit value rokok pada rumah tangga miskin.

Variabel bebas yang digunakan dalam model LA/AIDS adalah harga per kelompok komoditi, total pengeluaran rumah tangga, dan variabel sosial demografi rumah tangga yang digunakan sebagai variabel kontrol. Variabel total pengeluaran, umur kepala rumah tangga, lama sekolah kepala rumah tangga, dan persentase anggota rumah tangga yang berumur 18 tahun ke atas merupakan variabel kontinu, sedangkan variabel status bekerja kepala rumah tangga, akses terhadap informasi, akses terhadap fasilitas kesehatan dan tipe daerah tempat tinggal  merupakan variabel dummy.

Karakteristik kepala rumah tangga yang diduga mempengaruhi permintaan rokok rumah tangga adalah umur, lama sekolah, dan status bekerja.Umur kepala rumah tangga diduga dapat mempengaruhi keputusan anggota rumah tangga untuk mengkonsumsi rokok. Pada tahun 2008 rata-rata umur kepala rumah tangga miskin adalah 47,82 tahun. Demikian pula tingkat pendidikan kepala rumah tangga juga diduga mempengaruhi cara rumah tangga untuk mengalokasikan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Dalam penelitian ini indikator yang digunakan untuk melihat tingkat pendidikan kepala rumah tangga adalah variabel lama sekolah. Rata-rata lama sekolah kepala rumah tangga miskin yaitu sekitar 4,59 tahun. Kepala rumah tangga miskin pada umumnya tidak tamat Sekolah Dasar.

Variabel total pengeluaran rumah tangga sebulan dalam penelitian ini digunakan sebagai proksi dari pendapatan rumah tangga. Hal ini disebabkan karena data pendapatan yang tidak tersedia. Sedangkan yang digunakan sebagai variabel bebas dalam estimasi model adalah logaritma natural dari pengeluaran rumah tangga sebulan (lny).

Rata-rata total pengeluaran sebulan untuk rumah tangga miskin pada tahun 2008 hanya sebesar 696.674,39 rupiah. Sementara pada tahun 2010, rumah tangga miskin mempunyai rata-rata pengeluaran sebulanmencapai  831.957,47 rupiah.

Rumah tangga miskin mempunyai akses terhadap informasi dan fasilitas kesehatanyang relatif rendah. Hal ini mungkin disebabkan oleh sebagian besar rumah tangga miskin tinggal di desa yang tidak mempunyai fasilitas kesehatan dan susah mendapatkan akses terhadap informasi. Bila dilihat dari tipe daerah tempat tinggal maka rumah tangga miskin yang tinggal di pedesaan mencapai 56 persen, atau lebih dari separuh rumah tangga miskin tinggal di daerah pedesaan. Menghindari terjadinya simultaneity bias serta mengoreksi quality effect dan quantity premium, maka digunakan variabel instrumen untuk memproksi harga (Moeis, 2003). Variabel instrumen ini diperoleh dengan mengkoreksi unit value dari quality effect dan quantity premium.Unit value dikoreksi dengan estimasi deviasi harga yang diperoleh dari regresi persamaan (12).

Variabel pengeluaran rumah tangga sebulan (lny) secara keseluruhan signifikan pada level 1 persen dan bertanda. Tanda positif dapat diartikan bahwa semakin besar pendapatan rumah tangga maka rumah tangga tersebut akan mengkonsumsi kelompok komoditi dengan kualitas yang lebih tinggi atau dengan unit value yang lebih mahal.

Variabel sosial demografi rumah tangga cukup banyak yang signifikan dalam menjelaskan variabel deviasi log harga rokok, hanya variabel akses terhadap informasi  dan akses terhadap fasilitas kesehatan yang kadang-kadang tidak signifikan. Hal ini berarti bahwa variabel akses terhadap informasi maupun akses terhadap fasilitas kesehatan kadang-kadang tidak berpengaruh terhadap mahal atau murahnya harga rokok yang dikonsumsi rumah tangga. Pada rumah tangga miskin tahun 2008, variabel akses terhadap informasi tidak signifikan mempengaruhi variabel deviasi log harga rokok.

Variabel status pekerjaan, akses terhadap informasi, akses terhadap fasilitas kesehatan, dan tipe daerah tempat tinggal tidak signifikan mempengaruhi harga rokok yang dikonsumsi rumah tangga miskin pada tahun 2009. Berarti bahwa variabel-variabel tersebut tidak akan berpengaruh terhadap mahal atau murahnya rokok yang dikonsumsi oleh rumah tangga miskin. Pada rumah tangga miskin tahun 2010, variabel akses terhadap informasi dan fasilitas kesehatan tetap tidak berpengaruh pada deviasi log harga rokok.

Variabel umur kepala rumah tangga miskin berpengaruh signifikan pada level 1 persen terhadap deviasi log harga rokok, namun tandanya negatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tua umur kepala rumah tangga maka harga rokok yang dibeli akan semakin murah.

Variabel sosial demografi lain yang signifikan dan bertanda negatif terhadap deviasi log harga adalah lama sekolah kepala rumah tangga dan tipe daerah tempat tinggal. Hal tersebut berarti bahwa kepala rumah tangga yang mempunyai pendidikan lebih tinggi justru akan membeli rokok dengan harga yang lebih murah. Rumah tangga miskin yang tinggal di daerah pedesaan juga cenderung akan membeli rokok dengan harga yang lebih murah dibandingkan rumah tangga miskin yang tinggal di daerah perkotaan.

Sedangkan variabel persentase anggota rumah tangga yang berumur 18 tahun ke atas dan status pekerjaan kepala rumah tangga berpengaruh signifikan dan bertanda positif terhadap deviasi log harga. Dapat diartikan bahwa semakin banyak anggota rumah tangga yang berumur 18 tahun ke atas dan kepala rumah tangga yang bekerja akanmempengaruhi rumah tangga miskin untuk membeli rokok dengan harga yang lebih mahal. Hal ini wajar karena jumlah anggota rumah tangga yang dewasa dan kepala rumah tangga yang bekerja akan mempunyai pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kepala rumah tangga yang tidak bekerja, sehingga mereka mempunyai kemampuan untuk membeli rokok dengan harga yang sedikit lebih mahal.

Estimasi Model Probit

Estimasi sistem permintaan dengan model LA/AIDS menggunakan observasi rumah tangga yang mempunyai nilai proporsi kelompok pengeluaran tidak sama dengan nol. Artinya observasi yang akan digunakan dalam estimasi model hanya rumah tangga yang mengkonsumsi kelompok komoditi saja. Tidak dilibatkannya rumah tangga yang tidak mengkonsumsi kelompok komoditi akan mengakibatkan estimasi yang bias, sehingga perlu dilakukan koreksi dengan memasukkan variabel Invers Mill’s Ratio (IMR) dalam persamaan model utama. Pada penelitian ini, IMR hanya dihitung pada sepuluh kelompok komoditi. IMR pada kelompok komoditi non makanan lainnya tidak dihitung.

IMR dihitung dengan menggunakan prosedur Two Step Heckman. Pada tahap pertama, peneliti melakukan estimasi peluang mengkonsumsi kelompok komoditi dengan model probit. Pada tahap kedua menghitung IMR berdasarkan estimasi nilai probit.Hal yang menarik untuk dianalisis dari estimasi regresi probit adalah perubahan peluang rumah tangga untuk mengkonsumsi (marginal effect) suatu kelompok komoditi akibat perubahan variabel-variabel bebasnya.

Variabel harga pada model probit untuk konsumsi rokok tahun 2008, baik variabel harga sendiri maupun harga silang pada rumah tangga miskin banyak yang signifikan, kecuali variabel harga untuk padi-padian dan minuman beralkohol. Koefisien variabel harga sendiri bertanda positif dan signifikan pada level 1 persen. Tanda positif mempunyai pengertian bahwa jika ada peningkatan harga kelompok komoditi maka akan menaikkan peluang rumah tangga untuk mengkonsumsi kelompok komoditi tersebut. Misalnya nilai marginal effect harga sendiri dari rokok pada rumah tangga miskin tahun 2008 sebesar 0,30226, artinya jika harga rokok naik 1 persen maka perubahan peluang rumah tangga miskin untuk mengkonsumsi rokok akan meningkat sebesar 0,30226. Berbeda dengan harga sendiri, variabel harga silang memiliki tanda yang beragam walaupun sebagian besar signifikan dan bertanda negatif. Pada tahun 2008 koefisien harga silang yang bertanda positif dan signifikan hanya variabel harga untuk kelompok komoditi bahan minuman. Sementara variabel harga yang tidak signifikan adalah variabel harga untuk kelompok padi-padian dan minuman beralkohol.

Nilai koefisien harga silang untuk konsumsi rokok pada rumah tangga miskin tahun 2008, lebih kecil dibandingkan dengan koefisien harga sendiri.Penjelasan tersebut mengimplikasikan bahwa harga rokok mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap peluang mengkonsumsi rokok.Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Harahap (2003) dan bertentangan dengan hasil penelitian Adioetomo, et.al.(2005), yang melaporkan bahwa harga rokok tidak signifikan berpengaruh terhadap keputusan rumah tangga untuk mengkonsumsi tembakau.

Pada rumah tangga miskin tahun 2009, nilai koefisien harga silang yang tidak signifikan mempengaruhi peluang mengkonsumsi rokok adalah koefisien harga makanan lainnya, biaya kesehatan, dan biaya pendidikan.

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, maka pada tahun 2010 koefisien harga silang yang tidak signifikan mempengaruhi peluang rumah tangga miskin mengkonsumsi rokok hanyalah koefisien harga biaya kesehatan.

Uji parsial menunjukkan bahwa pada rumah tangga miskin variabel pengeluaran rumah tangga berpengaruh signifikan dan bertanda positif terhadap peluang rumah tangga untuk mengkonsumsi rokok pada tahun 2008, 2009, dan 2010. Hal ini berarti bahwa semakin besar pendapatan rumah tangga maka semakin besar pula peluang rumah tangga tersebut untuk mengkonsumsi rokok.

Variabel sosial demografi  pada rumah tangga miskin hampir semuanya berpengaruh signifikan terhadap peluang rumah tangga mengkonsumsi rokok, baik tahun 2008, 2009, dan 2010, kecuali variabel akses terhadap informasi dan akses terhadap fasilitas kesehatan. Ini menunjukkan bahwa variabel sosial demografi yang digunakan cukup mampu menjelaskan peluang rumah tangga untuk mengkonsumsi rokok.

Variabel umur kepala rumah tangga, lama sekolah kepala rumah tangga, dan tipe daerah tempat tinggal berpengaruh negatif terhadap peluang rumah tangga untuk mengkonsumsi rokok. Artinya bahwa semakin tua umur kepala rumah tangga dan semakin tinggi pendidikan kepala rumah tangga, maka rumah tangga tersebut akan mempunyai peluang yang lebih kecil untuk mengkonsumsi rokok. Sementara rumah tangga yang tinggal di daerah pedesaan juga mempunyai peluang yang lebih kecil untuk merokok.

Variabel persentase anggota rumah tangga yang berumur 18 tahun ke atas dan status pekerjaan kepala rumah tangga berpengaruh positif terhadap peluang konsumsi rokok rumah tangga baik pada tahun 2008, 2009, maupun 2010. Hal ini menunjukkan fakta bahwa semakin banyak anggota rumah tangga yang berumur 18 tahun ke atas, maka semakin besar peluang rumah tangga tersebut untuk mengkonsumsi rokok. Besarnya peluang tersebut sejalan dengan kenyataan bahwa rata-rata usia merokok pertama kali adalah sekitar 17-18 tahun. Sedangkan kepala rumah tangga yang mempunyai pekerjaan akan memperbesar peluang rumah tangga untuk mengkonsumsi rokok. Hal tersebut dikarenakan kepala rumah tangga yang bekerja akan mempunyai kemampuan untuk membeli rokok dan banyaknya teman kerja yang merokok.

Estimasi FungsiPermintaan

Dalam penelitian ini selain dilakukan treatment untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi, juga dilakukan restriksi pada saat melakukan regresi untuk model LA/AIDS. Restriksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah adding-up, homogenitas dan simetri terhadap fungsi permintaan. Restriksi ini dilakukan agar fungsi permintaan yang diestimasi sesuai dengan teori permintaan. Restriksi homogenitas dan simetri dilakukan dengan memasukkan persamaan restriksi sebelum melakukan regresi untuk masing-masing model utama. Sedangkan restriksi adding-up pada penelitian ini dilakukan dengan cara mengeluarkan satu persamaan yang terakhir (persamaan untuk kelompok non makanan lainnya) dari sistem. Semua variabel yang terdapat pada kesepuluh persamaan menjadi variabel pada persamaan yang terakhir (kesebelas), kecuali variabel IMR.

Koefisien Determinasi dan Kesesuaian Model

Koefisien determinasi (R2) merupakan suatu ukuran untuk menerangkan persentase variasi variabel tidak bebas yang mampu dijelaskan oleh variabel bebas (Gujarati, 2003). Koefisien determinasi yang biasa digunakan untuk keperluan analisis adalah Adjusted R2, sedangkan untuk menguji kesesuaian model secara keseluruhan digunakan Uji F.

Model LA/AIDS yang menggunakan restriksidandiestimasi dengan OLS tidak menghasilkan Adjusted R2, maka dalam penelitian ini digunakan nilai koefisien determinasi dari model LA/AIDS tanpa restriksi. Dari hasil estimasi model diperoleh bahwa nilai Adjusted R2 rumah tangga miskin pada tahun 2008 bernilai antara 7,95 persen untuk proporsi pengeluaran kelompok minuman beralkohol dan 46,96 persen untuk proporsi pengeluaran kelompok non makanan lainnya.

Nilai Adjusted R2 konsumsi rokok pada rumah tangga miskin pada tahun 2008, 2009, dan 2010 masing-masing adalah sebesar 17,61 persen, 8,45 persen, dan 9,75 persen. Nilai tersebut mengandung makna bahwa variabel-variabel harga, total pengeluaran, dan sosial demografi mampu menerangkan keragaman proporsi pengeluaran rokok yang di konsumsi rumah tangga miskin sebesar 17,61 persen, 8,45 persen, dan 9,75 persen, sementara sisanya dijelaskan/dipengaruhi oleh faktor lain di luar model.

Walaupun variabel-variabel bebas tersebut pada umumnya hanya mampu menerangkan keragaman proporsi pengeluaran kelompok komoditi kurang dari 50 persen, tetapi hasil Uji F menunjukkan bahwa semua model signifikan pada level 1 persen.Demikian pula dengan hasil uji statistik secara parsial (Uji t) menunjukkan bahwa sebagian besar estimasi parameternya signifikan pada level 1-10 persen. Sehingga secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa model yang diperoleh cukup sesuai dan model juga telah memenuhi restriksi fungsi permintaan yang disyaratkan.

Estimasi Parameter IMR

Penggunaan IMR pada model fungsi permintaan LA/AIDS bertujuan untuk menghilangkan adanya selectivity bias pada suatu variabel bebas. Untuk mengetahui apakah terdapat selectivity bias, maka variabel IMR dimasukkan sebagai salah satu variabel bebas dalam model LA/AIDS. Apabila hasil uji koefisien IMR signifikan, maka terdapat bias dalam pemilihan sampel.

Hasil studi menunjukkan bahwa hampir semua IMR signifikan pada level 1 persen, kecuali pada kelompok makanan lainnya pada rumah tangga miskin tahun 2008. Hal ini menunjukkan bahwa pada semua kelompok komoditi terjadi selectivity bias sehingga IMR dapat dimasukkan sebagai variabel bebas dalam model utama. Variabel IMR tersebut berfungsi untuk mewakili rumah tangga yang tidak mengkonsumsi kelompok komoditi sehingga model juga akan terhindar dari selectivity bias.

Harga Komoditi

Salah satu variabel bebas fungsi permintaan LA/AIDS yang digunakan pada penelitian ini adalah variabel harga-harga.Arah hubungan variabel harga dengan proporsi pengeluaran kelompok komoditi bisa positif maupun negatif. Tanda positif berarti bahwa perubahan harga akan mengakibatkan perubahan proposi pengeluaran kelompok komoditi ke arah yang sama, sedangkan tanda negatif menunjukkan arah perubahan proporsi pengeluaran kelompok komoditi yang berlawanan. Perbedaan atau kesamaan arah tersebut, terjadi karena proporsi pengeluaran merupakan pembagian antara jumlah rupiah yang dikeluarkan untuk konsumsi kelompok komoditi tertentu dengan total rupiah pengeluaran rumah tangga. Sedangkan jumlah rupiah pengeluaran kelompok komoditi tertentu merupakan perkalian antara harga kelompok komoditi dengan jumlah yang dikonsumsi. Jika kenaikan harga lebih besar daripada penurunan jumlah yang dikonsumsi, maka proporsi akan meningkat (positif), sebaliknya jika kenaikan harga lebih kecil daripada penurunan jumlah yang dikonsumsi maka proposi akan menurun (negatif).

Hal yang menarik adalah estimasi parameter harga sendiri semuanya signifikan pada level 1 persen dan jika dibandingkan dengan harga silang maka koefisien harga sendiri kelompok rokok pada rumah tanga miskin bertanda negatif. Artinya bahwa dibandingkan dengan harga komoditi lain, harga sendiri mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap proporsi pengeluaran komoditi dan jika harga komoditi tersebut meningkat maka akan menurunkan proporsi pengeluarannya. Dapat dikatakan bahwa pada umumnya rumah tangga akan merespon kenaikan harga suatu komoditi dengan menurunkan konsumsi komoditi tersebut, tetapi penurunan konsumsinya lebih sedikit daripada kenaikan harganya.

Estimasi parameter harga silang rokok pada rumah tangga miskin ada yang bertanda negatif, dan berarti bahwa jika harga rokok naik maka rumah tangga akan meresponnya dengan mengurangi proporsi pengeluaran yang bertanda negatif.

Total Pengeluaran

Selain harga, faktor utama yang mempengaruhi permintaan suatu barang adalah pendapatan. Dalam penelitian ini pendapatan diproksi dengan total pengeluaran rumah tangga. Total pengeluaran rumah tangga dalam fungsi permintaan adalah total pengeluaran riil, yaitu total pengeluaran rumah tangga yang dideflasi dengan Indeks Harga Stone.

Variabel pengeluaran riil rumah tangga hampir semuanya berpengaruh signifikan dan semuanya berhubungan positif dengan proporsi pengeluaran kelompok komoditi rumah tangga miskin. Hal ini berarti bahwa jika total pengeluaran riil rumah tangga miskin meningkat, maka proporsi pengeluaran kelompok komoditi tersebut juga akan meningkat. Kondisi ini sesuai dengan Teori Agregasi Engel yang menyatakan bahwa jika pendapatan meningkat maka akan dialokasikan secara proporsional pada seluruh komoditi yang dikonsumsi (Nicholson, 2006).

Satu hal yang menarik bahwa nilai absolut koefisien total pengeluaran terhadap proporsi pengeluaran rokok pada rumah tangga miskin memiliki nilai positif, yaitu sebesar 0,0382 pada tahun 2008. Artinya bahwa jika total pengeluaran rumah tangga meningkat 1 persen, maka proporsi pengeluaran rokok rumah tangga miskin akan meningkat sebesar 0,0382. Hal ini menunjukkan bahwa bagi rumah tangga miskin, pendapatan sangat besar pengaruhnya terhadap proporsi pengeluaran rokok.                 Implikasinya adalah semakin besar pendapatan rumah tangga miskin maka akan meningkatkan proporsi pengeluaran untuk rokok. Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah, karena peningkatan pendapatan rumah tangga miskin justru akan meningkatkan belanja untuk komoditi yang membahayakan bagi kesehatan. Sementara program pengentasan kemiskinan justru akan terus berusaha untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga miskin.

Karakteristik Sosial Demografi

Variabel sosial demografi yang digunakan dalam penelitian ini sebagian besar signifikan dengan berbagai arah hubungan. Pada model permintaan rokok rumah tangga miskin tahun 2008, variabel sosial demografi yang tidak signifikan adalah variabel akses terhadap fasilitas kesehatan. Berarti akses terhadap fasilitas kesehatan tidak berpengaruh terhadap permintaan rokok rumah tangga miskin.

Variabel sosial demografi yang signifikan dan bertanda positif dengan proporsi pengeluaran untuk rokok pada rumah tangga miskin hanya variabel persentase anggota rumah tangga yang berumur 18 tahun ke atas. Hal ini berarti bahwa semakin besar presentase anggota rumah tangga berumur 18 tahun ke atas, maka proporsi pengeluaran rokok rumah tangga juga akan meningkat.

Masih sama dengan tahun sebelumnya, pada tahun 2009,  variabel sosial demografi yang tidak signifikan terhadap proporsi pengeluaran konsumsi rokok rumah tangga miskin, hanyalah variabel akses terhadap fasilitas kesehatan. Hal ini dapat diartikan bahwa pada tahun 2009, akses terhadap fasilitas kesehatan tetap tidak memberikan pengaruh terhadap besar kecilnya proporsi pengeluaran untuk rokok rumah tangga miskin.

Tahun 2010 variabel sosial demografi yang tidak signifikan terhadap proporsi pengeluaran konsumsi rokok rumah tangga miskin adalah variabel status pekerjaan kepala rumah tangga, akses terhadap informasi, dan tipe daerah tempat tinggal. Artinya bahwa besar kecilnya proporsi pengeluaran konsumsi rokok rumah tangga miskin tahun 2010 tidak dipengaruhi oleh status pekerjaan kepala rumah tangga, akses rumah tangga terhadap informasi, maupun tipe daerah tempat tinggal rumah tangga tersebut.

Elastisitas

Elastisitas permintaan merupakan suatu ukuran yang digunakan untuk melihat respon konsumen terhadap permintaan komoditi akibat perubahan harga sendiri, harga komoditi lainnya maupun pendapatan. Dalam penelitian ini pendapatan rumah tangga diproksi dengan pengeluaran rumah tangga, sehingga elastisitas pendapatan diestimasi dengan menggunakan elastisitas pengeluaran.

Nilai β merupakan estimasi parameter dari koefisien total pengeluaran riil dan γ adalah estimasi parameter dari koefisien harga-harga yang diperoleh dari estimasi sistem permintaan. Sedangkan proporsi pengeluaran per kelompok komoditi diperoleh dari nilai rata-rata proporsi pengeluaran setiap tahun baik untuk rumah tangga miskin. Elastisitas pengeluaran semua kelompok komoditi pada rumah tangga miskin bernilai positif, kecuali kelompok komoditi minuman beralkohol. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semua komoditi merupakan barang normal kecuali minuman beralkohol yang merupakan barang inferior. Apabila ada kenaikan pendapatan maka permintaan/konsumsi terhadap semua kelompok komoditi akan meningkat kecuali minuman beralkohol yang justru akan menurun. Dari hasil penghitungan elastisitas pengeluaran, rokok merupakan barang normal.

Elastisitas pengeluaran rumah tangga miskin untuk konsumsi rokok bernilai 2,1433 pada tahun 2008, 2,2318 pada tahun 2009, dan 2,0783 pada tahun 2010, lebih besar dari 1. Artinya setiap ada peningkatan pendapatan (pengeluaran) 1 persen pada tahun 2008, maka konsumsi rokok rumah tangga miskin akan meningkat sebesar 2,1433 persen. Dilihat dari besaran nilai elastisitas, maka rokok pada rumah tangga miskin dianggap sebagai barang mewah. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Triana (2011) tentang konsumsi rokok rumah tangga miskin di Pulau Jawa.

Tabel 2: Elastisitas Pendapatan (Pengeluaran) Tahun 2008-2010

No. Kelompok Komoditi 2008 2009 2010
1 Padi-padian 0,9816 0,9717 0,9789
2 Ikan/Udang/Cumi/Daging/Telur/Susu 0,9573 0,8165 0,7905
3 Sayur&Buah 1,0966 1,1541 1,0820
4 Bahan Minuman 1,0434 0,8744 0,8507
5 Minuman Beralkohol -19,7275 1,9297 -2,5593
6 Rokok 2,1433 1,4350 2,0783
7 Tembakau & Sirih Lainnya 0,3808 -0,0506 -0,2779
8 Makanan Lainnya 1,1117 1,2568 1,1724
9 Biaya Kesehatan 0,7748 0,7176 0,3083
10 Biaya Pendidikan 0,6975 0,8245 0,7375
11 Non Makanan Lainnya 0,8840 0,8896 0,9359

Sumber: Dihitung oleh penulis

Besarnya elastisitas pendapatan untuk konsumsi rokok harus diwaspadai, karena akan menjadi sebuah dilema dengan hasil program pengentasan kemiskinan yang selalu bertujuan untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga miskin. Rekomendasi yang disarankan untuk mengatasi hal tersebut diantaranya adalah dengan memberikan syarat tidak merokok kepada rumah tangga miskin yang menerima bantuan seperti melalui BLSM, baik bantuan yang berupa uang maupun berupa keringanan biaya.

Elastisitas harga sendiri untuk rokok pada rumah tangga miskin cukup besar yaitu mencapai -0,4204 pada tahun 2008, -0,7040 pada tahun 2009, dan -0,7799 pada tahun 2010. Jika harga rokok meningkat 1 persen maka permintaan akan rokok akan berkurang sebesar 0,4204 persen pada tahun 2008, 0,7040 persen pada tahun 2009, dan 0,7799 persen pada tahun 2010. Dapat dikatakan bahwa rokok bersifat inelastis terhadap perubahan harga.Jika dibandingkan antar tahun, maka peningkatan harga rokok pada tahun 2010 memberikan efek yang paling besar dalam menurunkan konsumsi rokok rumah tangga miskin.Hal ini mengindikasikan bahwa kenaikan harga rokok efektif menurunkan konsumsi rokok pada tahun 2010.Kenaikan harga rokok pada tahun 2010 disebabkan oleh adanya penerapan sistem cukai spesifik dengan kenaikan beban cukai dimana harga-harga rokok yang murah mengalami kenaikan cukai yang signifikan.

Pada tahun 2008, elastisitas rokok terhadap semua kelompok komoditi adalah negatif, kecuali biaya kesehatan. Peningkatan harga rokok akan direspon oleh rumah tangga miskin dengan mengurangi konsumsi untuk padi-padian, ikan/udang/cumi/daging/telur/ susu, sayuran dan buah, bahan minuman, minuman beralkohol, tembakau dan sirih lainnya, makanan lainnya, biaya pendidikan, dan non makanan lainnya.

Berbeda dengan tahun 2008, elastisitas harga silang komoditi rokok pada rumah tangga miskin tahun 2009 mempunyai tanda yang sedikit lebih bervariasi.Elastisitas yang bertanda negatif adalah elastisitas harga silang rokok dengan semua kelompok komoditi kecuali minuman beralkohol dan biaya pendidikan. Kenaikan harga rokok pada tahun 2009 akan direspon oleh rumah tangga miskin dengan mengurangi konsumsi padi-padian, ikan/udang/cumi/daging/telur/susu, sayur  dan buah, bahan minuman, tembakau dan sirih lainnya, makanan lainnya, biaya kesehatan, serta non makanan lainnya.

Bila dilihat dari nilainya, maka komoditi yang paling banyak dikorbankan oleh rumah tangga miskin adalah konsumsi non makanan lainnya yang mencapai 0,5109. Setiap peningkatan harga rokok sebesar 1 persen, akan direspon oleh rumah tangga miskin dengan mengurangi konsumsi non makanan lainnya sebesar 0,5109 persen. Kelompok non makanan lainnya dalam penelitian ini mencakup pengeluaran untuk perumahan, pakaian, energi dan bahan bakar, barang tahan lama, serta pengeluaran untuk transfer (pajak dan pesta).

Berbeda dengan elastisitas silang dua tahun sebelumnya, pada tahun 2010 semua elastisitas rokok rumah tangga miskin dengan semua komoditi lainnya bernilai negatif. Artinya kenaikan harga rokok pada tahun 2010 akanmenyebabkan rumah tangga miskin mengurangi konsumsi semua komoditi.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Rokok merupakan barang normal bagi rumah tangga miskin, ketika ada kenaikan pendapatan maka konsumsi rokok akan meningkat. Permintaan rokok pada rumah tangga miskin bersifat inelastis. Ketika terjadi kenaikan harga rokok, maka konsumsi rokok pada rumah tangga miskin berkurang sebesar 0,4204 persen pada tahun 2008, 0,7040 pada tahun 2009, dan 0,7799 pada tahun 2010.

Ketika ada kenaikan harga rokok, maka rumah tangga miskin mengorbankan konsumsi kelompok komoditi lainnya. Pada tahun 2008, rumah tangga miskin mengorbankan pengeluaran hampir seluruh komoditi, kecuali biaya kesehatan. Pada tahun 2009 komoditi yang dikorbankan adalah komoditi padi-padian, ikan/udang/cumi/daging/telur/susu, bahan minuman, tembakau dan sirih lainnya, makanan lainnya, biaya kesehatan serta non makanan lainnya. Sedangkan pada tahun 2010, rumah tangga miskin mengorbankan pengeluaran untuk semua komoditi.

Saran

Dengan memperhatikan berbagai temuan dalam penelitian ini, maka beberapa saran yang diberikan adalah:

  1. Kebijakan pemerintah untuk meningkatkanharga rokok melalui kenaikan beban cukai akan efektif mengurangi konsumsi rokok apabila didukung oleh kebijakan non harga lainnya, diantaranya adalah peringatan kesehatan di bungkus rokok berbentuk gambar, pelarangan iklan, promosi dan sponsor rokok, kawasan tanpa rokok dan syarat tidak merokok bagi rumah tangga yang meneriman bantuan.
  2. Pemerintah perlu memperhatikan sinergi antara program pengurangan konsumsi rokok pada rumah tangga miskin dan upaya pengentasan kemiskinan seperti melalui BLSM, karena peningkatan pendapatan rumah tangga miskin dapat mengakibatkan peningkatan konsumsi rokok rumah tangga miskin.
  3. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai keterkaitan konsumsi rokok dengan kemiskinan dan pengelompokkan yang lebih tepat untuk mendapatkan hasil yang lebih menggambarkan konsumsi rokok pada rumah tangga miskin.
Dampak Pendapatan & Harga Rokok Terhadap Tingkat Konsumsi Rokok Pada Rumah Tangga Miskin di Indonesia

10 thoughts on “Dampak Pendapatan & Harga Rokok Terhadap Tingkat Konsumsi Rokok Pada Rumah Tangga Miskin di Indonesia

  1. nurul kodriati says:

    salam kenal pak Nasruddin Djoko. saya tertarik dengan artikel ini dan berusaha untuk mendownload versi yang dipublikasi di jurnal BPPK akan tetapi belum menemukan. apakah memungkinkan saya mendapatkan fulltext dari paper ini untuk kepentingan referensi saya? terima kasih banyak

  2. novi anggraeni says:

    salam kenal pak, saya novi saya tertarik dengan artikel yg bapak tulis ini. apakah saya juga memungkinan untuk mendapatkan versi fulltextnya dari paper ini? saya butuh untuk referensi thesis saya pak. terima kasih ya pak sebelumnya

  3. salam kenal pak, saya novi dari jogja. saya tertarik dengan artikel yg bapak post ini. apakah saya juga memungkinan mendapatkan fulltext dari paper ini untuk keperluan referensi thesis saya pak? terima kasih sebelumnya

  4. meli says:

    salam kenal pak Nasruddin Djoko. saya tertarik dengan artikel ini dan berusaha untuk mendownload versi yang dipublikasi di jurnal BPPK akan tetapi belum menemukan. apakah memungkinkan saya mendapatkan fulltext dari paper ini untuk kepentingan referensi saya? terima kasih banyak

Leave a comment