Hati-hati menjawab solusi krisis

Dalam suatu krisis ekonomi yang mengguncang Indonesia tentu tak terhindari dari ekses sebuah kebijakan dan potensi oknum untuk berbuat hal negatif. Misalkan saja ketika Indonesia menghadapi krisis ekonomi 1998, krisis finansial yang mempengaruhi mata uangbursa saham, dan harga aset lainnya di beberapa negara Asia. Usai peristiwa krisis moneter 1998 kala itu muncul skandal BLBI. Skema pinjaman yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat terjadinya krisis moneter. Demikian pula krisis yang terjadi pada tahun 2009, Kebijakan bail out bank century yang kala itu dirasa tepat pada zamannya untuk menjawab dampak sistemik krisis ekonomi, namun setelah usai krisis, kebijakan penanganan bail out  mulai dipertanyakan lagi saat ini.

Free rider memanfaatkan momentum krisis dengan memasukan usulan-usulan kebijakan yang hanya mementingkan kepentingan segelintir orang saja. Berbagai kebijakan insentif, penggelontoran dana BI untuk penanganan krisis bank yang berdampak ekonomi secara sistemik perlu dilakukan secara lebih hati-hati. Mungkin saja pembuat kebijakan tidak menyadari hal ini karena tuntutan masyarakat terhadap pemerintah untuk merespon lebih cepat atas permasalahan yang terjadi. Para pembuat kebijakan telah melakukan rapat sampai larut malam bahkan mengorbankan waktu hari libur mereka untuk mencurahkan tenaga dan pikirannya guna menjawab bagaimana solusi ekonomi untuk negeri ini.

Krisis ekonomi sudah sewajarnya direspon secara cepat untuk menjinakkannya. Kalau kebijakan yang diambil dilakukan secara lambat maka momentum krisis akan bergeser ke permasalahan yang bisa jadi lebih besar menjadi semacam efek snowball. Namun, kecepatan mejawab solusi atas suatu masalah perlu pertimbangan yang matang dan hati-hati. Cepat mengambil kebijakan namun solusinya tidak tepat  akan menjadi masalah atau bahkan menjadi skandal pada periode selanjutnya. Demikian pula terlalu lambat mengambil kebijakan, meski solusinya tepat sasaran juga akan menjadi masalah karena momentum krisis telah berganti. Resiko Kebijakan yang dibuat terlalu cepat dibuat memiliki kelemahan akurasi dan prosedural penyusunanya. Idealnya yang diperlukan adalah gerak cepat dan tepat.

Bagaimanapun juga krisis merupakan peluang, karena tekanan adanya krisis melahirkan para pengambil kebijakan yang menunjukan kinerja terbaik pada kondisi di bawah tekanan tersebut. Fokus pada komunikasi dan public relations sebagai strategi reaktif tidaklah cukup. Sementara reputasi kondisi perekonomian negara, kesejahteraan masyarakat, dan kelangsungan perekonomian dipertaruhkan dari manajemen krisis ini. 

Hati-hati menjawab solusi krisis

Waspadai Krisis Keuangan Asia Jilid II – Economic Overheating

Dalam analisis ekonomi saat ini tidak mungkin memahami krisis suatu negara tanpa tinjauan global, mengingat karena adanya ketidakseimbangan dalam perdagangan dan arus modal. 

Policy makers saat ini perlu mengantisipasi resiko krisis ekonomi Asia, mengingat banyak pengamat memprediksi arah risiko krisis ekonomi akan muncul kembali di negara-negara Asia. Peran Asia sebagai mesin pertumbuhan dunia mulai berkurang karena perekonomian di beberapa negara mulai melemah dan sebagian investor menarik miliaran dolar. Sehingga, pendulum ekonomi berayun kembali ke negara-negara maju, yang mengakibatkan aliran uang mulai berbalik ke AS dan Eropa, setelah dua tahun lalu krisis menerpa Eropa dan empat tahun lalu menghantam AS.

Dalam tiga bulan terakhir indeks MSCI Asia Pacific telah jatuh 7,7 persen, dibandingkan dengan penurunan 1,2 persen pada indeks 500 Standard & Poor dan penurunan 1,6 persen di Indeks Stoxx 600 Eropa. Indeks India turun 1,6 persen, di Indonesia kehilangan 5,6 persen sementara Thailand turun 3,3 persen.

Mata uang India, Rupee, jatuh ke rekor rendah kemarin, policy makers India saat ini berjuang membendung jatuhnya kurs mata uang rupee dengan menarik arus modal untuk mengurangi defisit transaksi berjalan dan menggerakan kembali pertumbuhan. Mata uang Rupee telah melemah sekitar 28 persen terhadap dolar AS dalam dua tahun terakhir, Hal ini mengingatkan kembali pada peristiwa krisis ekonomi 1997/1998, ketika pemerintah menerima pinjaman IMF sebagai antisipasi berkurangnya cadangan devisa.

Dalam banyak studi ekonomi, pelemahan kurs mata uang berdampak terhadap output dan harga. Akibat kurs mata uang melemah kegiatan ekonomi seringkali menurun di samping kenaikan inflasi dalam jangka pendek. Pelemahan kurs cenderung mengurangi output dalam jangka pendek bahkan di mana faktor-faktor lain tetap konstan, untuk efek jangka panjang lebih beragam, namun secara keseluruhan terjadi efek kontraksi awal.

Perekonomian Thailand juga memasuki resesi mulai kuartal lalu. Pemerintah Thailand memangkas proyeksi pertumbuhan 2013 karena ekspor dan permintaan lokal melemah, dengan utang rumah tangga yang lebih tinggi. Kredit sektor swasta Thailand sebagai bagian dari produk domestik bruto telah meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir hal ini menjadi resiko bagi stabilitas keuangan.

Demikian pula terjadi di Taiwan, pekan lalu Taiwan memangkas pertumbuhan 2013 dan prakiraan ekspor. Prospek global untuk paruh kedua lebih buruk daripada bulan Mei. Pesanan ekspor mungkin turun untuk bulan keenam pada bulan Juli.

Di lain sisi, kredit macet bank China meningkat. Likuiditas di Asia yang semakin ketat dan perlambatan permintaan pembatasan China untuk komoditas dan barang memicu aksi jual saham emerging market. Namun China saat ini sedang melakukan upaya untuk meningkatkan kepercayaan diri. Likuiditas secara keseluruhan di Cina cukup, karena bank menyalurkan lebih banyak dana untuk pertanian dan usaha kecil.

Kondisi Ekonomi Indonesia Saat Ini

Indonesia merupakan salah satu negara yang paling menjanjikan pasar dunia, Indonesia telah menikmati besarnya volume investasi asing dan arus masuk modal. Namun akhir-akhir ini mengalami defisit perdagangan, karena ekspor telah menurun, sedangkan aliran impor terus meningkat. Defisit perdagangan tidak menjadi masalah kalau investasi asing terus mengalir masuk. Namun jika investasi asing mulai berkurang dan bahkan beberapa modal asing sudah ditarik maka pemerintah harus menggali ke dalam cadangan mata uang sendiri dalam rangka untuk menyeimbangkan perekonomian.

Pemerintah Indonesia saat ini memiliki USD 92,671 miliar (BI 14/8) dalam cadangan devisa, namun diprediksi akan menghabiskan $ 2-3 miliar per bulan menopang mata uangnya. Cadangan devisa saat ini setara 5,1 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri. Hal ini mungkin cukup untuk menstabilkan mata uang melemah di Indonesia. Penurunan cadangan devisa selain karena aktivitas impor juga juga didorong oleh pembayaran utang korporasi, pembagian dividen dalam mata uang dolar AS dan pasokan valas dari sisi ekspor yang belum masuk. Namun kalau itu penurunannya berlangsung terus menerus, maka akan menciptakan inflasi dan mempengaruhi harga aset. Dan kemudian menjadi efek snowball – investor panik menarik uang dan kemudian pasar tidak stabil. Ditambah resiko politik Indonesia menjelang Pemilu pada tahun 2014 yang mengkhawatirkan bagi para investor asing.

Diantara negara di Asia tenggara, Indonesia adalah ekonomi Asia Tenggara yang paling penting. Namun kondisi minggu ini, Indeks Harga Saham Gabungan pada perdagangan Senin ditutup melemah 255,136 poin (5,58%) ke level 4.313,518. Hal ini dipicu maraknya aksi lepas saham yang dilakukan investor asing. Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terus melemah di posisi Rp 10.485 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu di Rp 10.390 per dolar AS. Koreksi yang terjadi pada indeks acuan dan nilai tukar ini disebabkan oleh kombinasi sentimen negatif dari kondisi global dan domestik. Kondisi global diakibatkan berbagai macam sentimen negatif yang membuat mata uang berbagai negara di Asia demikian pula pasar modalnya pun mengalami kemerosotan,

Pada sisi domestik, akibat pengaruh dari kenaikan defisit transaksi berjalan yang mencapai 4,4% dari PDB per akhir Juni. Pengaruh kenaikan Bahan Bakar Minyak bersubsidi turut menjadi pemicu inflasi.

Tawaran Solusi Bagi Indonesia

Belajar dari sejarah Krisis Keuangan Asia sebelunya pada tahun 1998 ketika itu diselesaikan oleh IMF dengan menyediakan pinjaman untuk menstabilkan perekonomian. Namun sayangnya IMF mengharuskan pemerintah untuk mematuhi kondisi perjanjian pinjaman yang terlalu ketat, termasuk pajak yang lebih tinggi, mengurangi belanja publik, privatisasi perusahaan milik negara dan suku bunga yang lebih tinggi dirancang guna mendinginkan ekonomi terlalu panas. Selain itu, moral hazard yang diciptakan oleh IMF dapat menjadi penyebab berlarutnya krisis.

Sehingga apabila Indonesia tidak ingin mendatangkan IMF lagi maka saat ini pemerintah perlu melakukan langkah langkah sistematis dan stakeholder tidak perlu panik dalam menghadapi anjloknya rupiah serta IHSG. Di lain sisi pengelolaan kebijakan ekonomi perlu memastikan kondisi perekonomian Indonesia tetap aman.

Untuk itu perlu fokus dalam mengendalikan belanja pemerintah yang berkualitas dan optimalisasi penyerapan Belanja Pemerintah untuk proyek-proyek infrastruktur dan perlunya pedoman bagi modal swasta di industri tertentu yang mengakibatkan penggelembungan aset.

Selalu waspadai Bubbles Asset – Investor harus hati-hati atas penggelembungan aset yang mengakibatkan ekonomi memanas – overheating.

Intervensi Pemerintah untuk melakukan stabilisasi kurs tukar Rupiah terhadap US$ sangat diperlukan. Hal tersebut ditujukan untuk mempertahankan kinerja industri nasional yang kondisinya semakin memburuk akibat kenaikan bahan baku yang masih banyak diimpor dalam dollar. Sehingga upaya BI sangat diperlukan guna menstabilkan nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamental ekonomi.

Impor konsumsi mestinya perlu dikendalikan, jangan sampai terlalu tinggi, sedangkan untuk impor bahan baku bagi industri mestinya perlu diberikan insentif agar dapat diekspor ke luar negeri.

Apabila krisis berkepanjangan, di luar aspek ekonomi, mengingat tahun 2014 Indonesia akan menyelenggarakan Pemilu, hal ini menjadi resiko bagi investor asing menanamkan modalnya ke Indonesia. Oleh karena itu stabilitas politik dan keamanan perlu dukungan semua pihak. Sehingga diharapkan pemilu dan pergantian kekuasaan di Indonesia berlangsung aman dan damai. Jangan sampai sejarah berulang dimana krisis ekonomi menimbulkan krisis politik seperti tahun 1998.

political cycle

Gallery

Roadmap Pemulihan Ekonomi Krisis Global

Ketidakseimbangan belum tentu berarti buruk. Ketidakseimbangan mungkin mencerminkan perbedaan dalam tabungan dan pola investasi pola dan pilihan portofolio di seluruh negara karena perbedaan tingkat pembangunan, pola demografis, dan fundamental ekonomi yang mendasarinya. Dalam beberapa kasus ketidakseimbangan bukanlah alasan untuk dikhawatirkan. Namun, ketidakseimbangan dapat mencerminkan distorsi kebijakan, kegagalan pasar, dan eksternalitas pada tingkat ekonomi individu atau di tingkat global. Jika demikian, hal ini dapat merusak kekuatan dan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi.

Ketidakseimbangan bermanfaat jika mencerminkan alokasi modal optimal, misalnya, sebuah negara memilih untuk menyimpan dan menjalankan surplus transaksi berjalan dalam mengantisipasi dissaving ketika tenaga kerja berkurang. Atau negara sedang menarik investasi melalui tabungan asing, dan dengan demikian menjalankan defisit transaksi berjalan.

Ketidakseimbangan dapat merugikan jika mereka mencerminkan kelemahan struktural, distorsi kebijakan, atau kegagalan pasar. Misalnya, besar surplus neraca berjalan mungkin mencerminkan tabungan nasional yang tinggi tidak berhubungan dengan kebutuhan-siklus hidup suatu negara melainkan terkait dengan kekurangan struktural, seperti kurangnya asuransi sosial atau tata kelola yang buruk dari perusahaan. Demikian pula, negara dengan defisit transaksi berjalan dengan rendahnya tabungan swasta karena booming-harga aset yang diakomodasi oleh distorsi kebijakan dalam sistem keuangan yang menghambat pasar dari menyeimbangkan. Ketidakseimbangan juga dapat mencerminkan distorsi sistemik, oleh beberapa negara untuk mempertahankan nilai tukarnya undervalued.

Untuk ketidakseimbangan yang merugikan tersebut, para pembuat kebijakan ekonomi di seluruh dunia saat ini sedang memfokuskan masalah ketidakseimbangan ekonomi dengan mengurangi resiko akibat pergolakan pasar dan resesi global. Dampak sistemik krisis keuangan dari suatu negara besar akan cepat atau lambat akan segera merembet ke negara lainnya. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang bertanggung jawab atas krisis ketidakseimbangan global, hal ini perlu segera dicari gejala dan penyebabnya. Oleh karena itu global rebalancing sangat diperlukan untuk mengamankan pemulihan ekonomi jangka panjang. Adanya suatu konsensus di antara pembuat kebijakan tentunya perlu dibangun melalui kerjasama multilateral melalui kolaborasi kebijakan dimana diharapkan akan menguntungkan perekonomian global ke depan.

Pada KTT G-20 di Pittsburgh tahun 2009, para pemimpin dunia berkomitmen untuk mencapai pertumbuhan yang kuat, berkelanjutan, dan seimbang. Untuk itu, mereka membuat kerangka kerja yang baru untuk mendukung tujuan tersebut. Perwujudan dari komitmen kolektif di Pittsburgh adalah mengevaluasi konsistensi kebijakan dan kerangka kerja G20 guna pertumbuhan bersama para anggota. Pada 2010 KTT G20 di Seoul, para pemimpin berkomitmen untuk meningkatkan Mutual assessment process.

21fd2858aed93281bec8d1af8c2393f6_gdp

Ketidakseimbangan besar diidentifikasi jika ditemukan penyimpangan signifikan dalam dua dari tiga sektor (sektor eksternal, fiskal, dan swasta). Suatu negara disebut berdampak sistemik apabila menyumbang 5 persen atau lebih dari PDB negara-negara G-20, negara-negara ini perlu dicermati karena ketidakseimbangan dalam anggota sistemik lebih mungkin berpengaruh pada negara lain.

Negara-negara yang dinilai berpotensi adanya ketidakseimbangan adalah China dimana tabungan swasta tinggi dan surplus eksternal, Perancis dimana defisit eksternal yang tinggi dan utang publik, Jerman memilikiutang publik yang tinggi dan surplus eksternal, India (tabungan dan tinggi swasta defisit fiskal), Jepang (utang publik yang tinggi dan tabungan swasta), Amerika Serikat (defisit fiskal dan eksternal yang besar), dan Inggris (tabungan swasta rendah dan utang publik yang tinggi). Untuk mengantisipasi hal tersebut tentunya diperlukan suatu roadmap action plan bersama antar negara.

Roadmap Pemulihan Ekonomi Krisis Global