Dalam analisis ekonomi saat ini tidak mungkin memahami krisis suatu negara tanpa tinjauan global, mengingat karena adanya ketidakseimbangan dalam perdagangan dan arus modal.
Policy makers saat ini perlu mengantisipasi resiko krisis ekonomi Asia, mengingat banyak pengamat memprediksi arah risiko krisis ekonomi akan muncul kembali di negara-negara Asia. Peran Asia sebagai mesin pertumbuhan dunia mulai berkurang karena perekonomian di beberapa negara mulai melemah dan sebagian investor menarik miliaran dolar. Sehingga, pendulum ekonomi berayun kembali ke negara-negara maju, yang mengakibatkan aliran uang mulai berbalik ke AS dan Eropa, setelah dua tahun lalu krisis menerpa Eropa dan empat tahun lalu menghantam AS.
Dalam tiga bulan terakhir indeks MSCI Asia Pacific telah jatuh 7,7 persen, dibandingkan dengan penurunan 1,2 persen pada indeks 500 Standard & Poor dan penurunan 1,6 persen di Indeks Stoxx 600 Eropa. Indeks India turun 1,6 persen, di Indonesia kehilangan 5,6 persen sementara Thailand turun 3,3 persen.
Mata uang India, Rupee, jatuh ke rekor rendah kemarin, policy makers India saat ini berjuang membendung jatuhnya kurs mata uang rupee dengan menarik arus modal untuk mengurangi defisit transaksi berjalan dan menggerakan kembali pertumbuhan. Mata uang Rupee telah melemah sekitar 28 persen terhadap dolar AS dalam dua tahun terakhir, Hal ini mengingatkan kembali pada peristiwa krisis ekonomi 1997/1998, ketika pemerintah menerima pinjaman IMF sebagai antisipasi berkurangnya cadangan devisa.
Dalam banyak studi ekonomi, pelemahan kurs mata uang berdampak terhadap output dan harga. Akibat kurs mata uang melemah kegiatan ekonomi seringkali menurun di samping kenaikan inflasi dalam jangka pendek. Pelemahan kurs cenderung mengurangi output dalam jangka pendek bahkan di mana faktor-faktor lain tetap konstan, untuk efek jangka panjang lebih beragam, namun secara keseluruhan terjadi efek kontraksi awal.
Perekonomian Thailand juga memasuki resesi mulai kuartal lalu. Pemerintah Thailand memangkas proyeksi pertumbuhan 2013 karena ekspor dan permintaan lokal melemah, dengan utang rumah tangga yang lebih tinggi. Kredit sektor swasta Thailand sebagai bagian dari produk domestik bruto telah meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir hal ini menjadi resiko bagi stabilitas keuangan.
Demikian pula terjadi di Taiwan, pekan lalu Taiwan memangkas pertumbuhan 2013 dan prakiraan ekspor. Prospek global untuk paruh kedua lebih buruk daripada bulan Mei. Pesanan ekspor mungkin turun untuk bulan keenam pada bulan Juli.
Di lain sisi, kredit macet bank China meningkat. Likuiditas di Asia yang semakin ketat dan perlambatan permintaan pembatasan China untuk komoditas dan barang memicu aksi jual saham emerging market. Namun China saat ini sedang melakukan upaya untuk meningkatkan kepercayaan diri. Likuiditas secara keseluruhan di Cina cukup, karena bank menyalurkan lebih banyak dana untuk pertanian dan usaha kecil.
Kondisi Ekonomi Indonesia Saat Ini
Indonesia merupakan salah satu negara yang paling menjanjikan pasar dunia, Indonesia telah menikmati besarnya volume investasi asing dan arus masuk modal. Namun akhir-akhir ini mengalami defisit perdagangan, karena ekspor telah menurun, sedangkan aliran impor terus meningkat. Defisit perdagangan tidak menjadi masalah kalau investasi asing terus mengalir masuk. Namun jika investasi asing mulai berkurang dan bahkan beberapa modal asing sudah ditarik maka pemerintah harus menggali ke dalam cadangan mata uang sendiri dalam rangka untuk menyeimbangkan perekonomian.
Pemerintah Indonesia saat ini memiliki USD 92,671 miliar (BI 14/8) dalam cadangan devisa, namun diprediksi akan menghabiskan $ 2-3 miliar per bulan menopang mata uangnya. Cadangan devisa saat ini setara 5,1 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri. Hal ini mungkin cukup untuk menstabilkan mata uang melemah di Indonesia. Penurunan cadangan devisa selain karena aktivitas impor juga juga didorong oleh pembayaran utang korporasi, pembagian dividen dalam mata uang dolar AS dan pasokan valas dari sisi ekspor yang belum masuk. Namun kalau itu penurunannya berlangsung terus menerus, maka akan menciptakan inflasi dan mempengaruhi harga aset. Dan kemudian menjadi efek snowball – investor panik menarik uang dan kemudian pasar tidak stabil. Ditambah resiko politik Indonesia menjelang Pemilu pada tahun 2014 yang mengkhawatirkan bagi para investor asing.
Diantara negara di Asia tenggara, Indonesia adalah ekonomi Asia Tenggara yang paling penting. Namun kondisi minggu ini, Indeks Harga Saham Gabungan pada perdagangan Senin ditutup melemah 255,136 poin (5,58%) ke level 4.313,518. Hal ini dipicu maraknya aksi lepas saham yang dilakukan investor asing. Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terus melemah di posisi Rp 10.485 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu di Rp 10.390 per dolar AS. Koreksi yang terjadi pada indeks acuan dan nilai tukar ini disebabkan oleh kombinasi sentimen negatif dari kondisi global dan domestik. Kondisi global diakibatkan berbagai macam sentimen negatif yang membuat mata uang berbagai negara di Asia demikian pula pasar modalnya pun mengalami kemerosotan,
Pada sisi domestik, akibat pengaruh dari kenaikan defisit transaksi berjalan yang mencapai 4,4% dari PDB per akhir Juni. Pengaruh kenaikan Bahan Bakar Minyak bersubsidi turut menjadi pemicu inflasi.
Tawaran Solusi Bagi Indonesia
Belajar dari sejarah Krisis Keuangan Asia sebelunya pada tahun 1998 ketika itu diselesaikan oleh IMF dengan menyediakan pinjaman untuk menstabilkan perekonomian. Namun sayangnya IMF mengharuskan pemerintah untuk mematuhi kondisi perjanjian pinjaman yang terlalu ketat, termasuk pajak yang lebih tinggi, mengurangi belanja publik, privatisasi perusahaan milik negara dan suku bunga yang lebih tinggi dirancang guna mendinginkan ekonomi terlalu panas. Selain itu, moral hazard yang diciptakan oleh IMF dapat menjadi penyebab berlarutnya krisis.
Sehingga apabila Indonesia tidak ingin mendatangkan IMF lagi maka saat ini pemerintah perlu melakukan langkah langkah sistematis dan stakeholder tidak perlu panik dalam menghadapi anjloknya rupiah serta IHSG. Di lain sisi pengelolaan kebijakan ekonomi perlu memastikan kondisi perekonomian Indonesia tetap aman.
Untuk itu perlu fokus dalam mengendalikan belanja pemerintah yang berkualitas dan optimalisasi penyerapan Belanja Pemerintah untuk proyek-proyek infrastruktur dan perlunya pedoman bagi modal swasta di industri tertentu yang mengakibatkan penggelembungan aset.
Selalu waspadai Bubbles Asset – Investor harus hati-hati atas penggelembungan aset yang mengakibatkan ekonomi memanas – overheating.
Intervensi Pemerintah untuk melakukan stabilisasi kurs tukar Rupiah terhadap US$ sangat diperlukan. Hal tersebut ditujukan untuk mempertahankan kinerja industri nasional yang kondisinya semakin memburuk akibat kenaikan bahan baku yang masih banyak diimpor dalam dollar. Sehingga upaya BI sangat diperlukan guna menstabilkan nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamental ekonomi.
Impor konsumsi mestinya perlu dikendalikan, jangan sampai terlalu tinggi, sedangkan untuk impor bahan baku bagi industri mestinya perlu diberikan insentif agar dapat diekspor ke luar negeri.
Apabila krisis berkepanjangan, di luar aspek ekonomi, mengingat tahun 2014 Indonesia akan menyelenggarakan Pemilu, hal ini menjadi resiko bagi investor asing menanamkan modalnya ke Indonesia. Oleh karena itu stabilitas politik dan keamanan perlu dukungan semua pihak. Sehingga diharapkan pemilu dan pergantian kekuasaan di Indonesia berlangsung aman dan damai. Jangan sampai sejarah berulang dimana krisis ekonomi menimbulkan krisis politik seperti tahun 1998.