Pemberitaan media massa beberapa pekan terakhir membawa pemerintah dalam posisi dilematis menyikapi aturan larangan ekspor mineral mentah. Dalam forum resmi dengar pendapat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dengan DPR disepakati pemerintah mesti konsisten menjalankan UU No 4 tahun 2009 yakni melarang ekspor mineral mentah mulai 12 Januari 2014. Intinya bagi perusahaan kontrak karya, PKP2B dan lainnya tidak boleh lagi mengekspor mineral mentah. Aturan ini berakibat sebagian besar produksi Freeport Indonesia tidak bisa dijual demikian pula sebagian produksi Newmont Nusa Tenggara di Sumbawa Barat hanya akan ditimbun begitu saja, karena dilarang untuk diekspor. Hal ini terjadi karena selama ini Freeport hanya mengelola sebagian kecil bijih mineralnya di Pabrik Smelter di Gresik, demikian pula yang dilakukan Newmont, jadi sisanya mereka hanya menimbun saja. Pemerintah sudah melakukan berbagai cara, mencari solusi agar perusahaan-perusahaan yang sudah berniat membangun smelter diperbolehkan mengekspor mineral mentah, namun DPR tetap ingin Pemerintah mematuhi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.
Dilain sisi, setting kondisi posisi neraca perdagangan barang triwulan II-2013 mengalami defisit sebesar USD 0,6 miliar dollar. Defisit ini tercatat merupakan yang pertama kali dalam kurun waktu tiga dasawarsa terakhir. Penyebab defisit ini antara lain berkurangnya surplus neraca perdagangan non-migas yang semula surplus USD 4,5 menjadi USD 1,7 miliar. Kenaikan impor non-migas khususnya impor bahan baku dan barang konsumsi yang meningkat terkait pola konsumsi domestik yang meningkat di triwulan II, serta akibat penurunan tarif bea masuk dengan negara mitra yang mulai efektif berlaku beberapa tahun terakhir. Fenomena kenaikan impor terutama terjadi pada barang kategori perdagangan umum. Sedangan barang impor untuk diolah justru mengalami penurunan, dan andalan ekspor kita adalah barang barang sumber daya alam termasuk barang tambang.
Sampai saat ini baik nilai maupun volume ekspor impor sektor pertambangan bukan migas selalu menunjukan tren surplus, sehingga dapat dikatakan ekspor Indonesia paling banyak didukung oleh sektor pertambangan. Hal ini berbeda dengan sektor-sektor lainnya dimana sebagian besar mengalami defisit transaksi neraca perdagangan. Bahwa ekspor Indonesia selama lima tahun terakhir didominasi oleh komoditi dasar (primary goods), khususnya produk pertambangan. Ketika harga komoditas tersebut meningkat di pasar internasional, Indonesia menikmati surplus perdagangan, namun ketika harga komoditas tersebut menurun seperti yang terjadi belakangan ini, maka Indonesiapun mengalamai defisit. Kalau ditambah dengan impor BBM, maka defisit Indonesia semakin parah karena defisit Indonesia memang didominasi oleh meningkatnya impor BBM.
Sumber: diolah dari BPS
Aturan Larangan Ekspor
Sifat sistem perdagangan dunia yang sangat merkantilis. Oleh karenanya, respon kebijakan pemerintah biasanya bertujuan meningkatan ekspor dan/atau menurunkan impor, kebijakan yang sering dipakai adalah mengenakan bea masuk dan subsidi ekspor. Pajak ekspor dan larangan ekspor, bagaimanapun, adalah dua instrumen kebijakan yang tampak lebih unik.
Secara eksplisit larangan ekspor memang tidak disebut dalam suatu pasal di Undang-Undang Minerba. Di dalam UU tersebut dinyatakan bahwa Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara. (Pasal 102). Pemegang kontrak karya yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang Minerba ini diundangkan. Kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian (Pasal 170).
Semangat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 sangat bagus untuk menjadikan ekspor bahan tambang Indonesia bernilai tambah, tidak hanya barang mentah saja diekspor ke luar negeri. Kebijakan hilirisasi yang mulai dilakukan adalah satu program yang tepat, sebagai terapi biasanya akan ada dampak jangka pendek berupa penurunan nilai ekspor, namun untuk jangka panjang dampak positifnya akan lebih besar. Sayangnya ketentuan selambat-lambatnya 5 tahun tidak dipersiapkan oleh pembina sektor secara matang untuk membangun smelter baru. Alih-alih membuat roadmap industri smelter, yang ada hanyalah bom waktu bahwa lima tahun sudah terlewati dan untuk memenuhi interpretasi UU tersebut maka tahun 2014 harus dilarang ekspor. Timing kebijakan larangan ekspor memang menjadi kurang pas ditambah lagi kondisi perekonomian saat ini dimana defisit neraca perdagangan terjadi di tahun 2013 dan kondisi mata uang rupiah yang mengalami penurunan terhadap dollar.
Adalah salah satu tarik ulur apakah dilarang dan diperbolehkan ekspor. Terkesan dengan kebijakan larangan ekspor menunjukan bahwa kita pro nasionalis. Dengan kebijakan revolusioner melarang ekspor maka akan mendorong pembangunan smelter di dalam negeri. Dengan argumen dilarang ekspor maka barang tambang yang seharusnya diekspor akan menjadi bahan input industri smelter di dalam negeri sehingga ekspor kita memiliki nilai tambah yang cukup tinggi.
Larangan Ekspor Melanggar WTO?
Tidak ada larangan pengenaan bea keluar dalam aturan WTO, namun untuk larangan ekspor tidak diperkenankan dalam aturan WTO dengan beberapa pengecualian. Sebagaimana diatur dalam Pasal XI perjanjian WTO, Perjanjian Umum mengenai Tarif dan Perdagangan, menyatakan bahwa selain dari bea masuk, pajak dan pungutan lainnya, pemerintah tidak bisa memaksakan larangan atau pembatasan impor atau ekspor seperti kuota atau impor atau lisensi ekspor. Namun dalam penjelasan selanjutnya disebutkan bahwa hal ini tidak mencakup hal-hal berikut:
(a) larangan ekspor atau pembatasan sementara diterapkan untuk mencegah atau mengurangi kekurangan kritis bahan makanan atau produk lain yang penting/essensial bagi negara pengekspor;. “.
Namun dengan kebijakan larangan ekspor, apakah mungkin kita bisa menghambat derasnya permintaan pasar internasional akan bahan mentah tersebut? Apakah akan muncul penyelundupan ekspor dan jika betul betul dilarang maka potensi defisit neraca perdagangan di tahun 2014 akan semakin melebar karena nilai ekspor pertambangan praktis nol dan praktis penerimaan bea keluar tidak diperoleh pemerintah. Larangan ekspor ini juga bisa counterproductive dengan industri tambang lokal yang nota bene skala kecil dan menengah dimiliki rakyat Indonesia (baca:bukan asing), karena dengan pelarangan ekspor akan mematikan industri mereka yang belum siap membangun smelter. Di lain sisi para penambang2 besar sudah mempersiapkan smelter tersebut.
Sedangkan kalau membolehkan bahan mentah diekspor terkesan kita pro asing. Kalau UU tersebut tidak dipenuhi ekspor barang tambang akan berjalan seperti biasa, kekayaan alam negeri akan mengalir ke luar tanpa nilai tambah yang berarti. yang diharapkan defisit neraca perdagangan semakin berkurang apalagi proyeksi harga barang tambang semakin naik di tahun depan mengakibatkan potensi ekspor akan semakin meningkat.
Alternatif Solusi
Mengingat dampaknya bagi kinerja ekonomi nasional dan potensi guncangan sosial masyarakat sekitar pertambangan, pemerintah selayaknya menemukan jalan keluar atas dilema aturan larangan tersebut. Kepastian hukum bagi pelaku usaha tambang menjadi taruhan. Di sisi lain banyak pihak mendesak pemerintah menjalankan larangan ekspor mineral mentah demi nilai tambah domestik. Tanggal 12 Januari 2014 kini dalam hitungan hari, namun belum ada pernyataan resmi mana langkah yang ditempuh pemerintah. Apapun langkah yang ditempuh, sangat terlambat dan menyulitkan siapapun. Akhirnya tak ada pilihan lain kecuali jalan kompromi untuk meredam potensi gejolak ekonomi nasional yang merembet pada stabilitas sosial masyarakat di tahun politik ini.
Salah satu usulan serius yang pantas dipertimbangkan pemerintah adalah tidak secara total melarang ekspor mineral mentah melainkan menetapkan batasan atau kriteria atas mineral mentah yang diijinkan diekspor. Kriteria tersebut harus ketat dan mengarah pada batasan produk hasil pengolahan dan pemurnian sebagaimana disebut UU No 4 tahun 2009. Setiap mineral mentah memiliki karakteristik dan nilai tambah berbeda pada setiap level pengolahannya, sehingga kriteria produk yang diijinkan diekspor harus presisi dan memberi kepastian bahwa berdirinya pabrik pengolahan di dalam negeri merupakan kondisi terbaik di masa depan.
Pemberian ijin ekspor harus diikuti dengan kebijakan susulan agar tidak menjadi moral hazard bagi pelaku usaha tambang di dalam negeri. Dalam konteks ini pemerintah dapat menerapkan instrumen fiskal (bea keluar) untuk tetap mengendalikan komoditi mineral yang diijinkan diekspor meski sudah memenuhi kriteria yang sudah ditetapkan. Langkah-langkah usulan ini bisa menjadi modal pemerintah mendorong peningkatan nilai tambah mineral sekaligus tidak mengingkari amanat UU No 4 tahun 2009. Meski demikian pemerintah harus memastikan bahwa jalan yang ditempuh ini sudah sesuai secara filosofi dan tafsiran hukum UU No 4 tahun 2009 serta menempuh kebenaran administrasi hukum sekaligus menutup peluang perselisihan hukum baik ranah domestik maupun arbitrase internasional.