Rekonstruksi Jalur Sutera: Jaringan Transportasi Kereta Api Trans Asia

Image

Sejak berabad silam Eropa mendambakan  perhiasan, sutra, batu giok, rempah-rempah dari Asia,  jalur transportasi ini sepanjang rute dikenal sebagai Jalur Sutera. Saat ini, Cina telah menjadi produsen dunia. Dan saat ini pengiriman dilakukannya melalui kapal kontainer raksasa. Namun demikian, pengiriman melalui kapal memiliki berbagai resiko dan seringkali terhambat di beberapa pelabuhan, saat ini China lagi mencari jalur darat, jalan sutera baru menuju Eropa.

Pengembangan infra struktur yang dibangun adalah melalui moderisasi kereta api. Dari Eropa, kereta dengan koridor berkecepatan tinggi yang menyebar di seluruh benua.

Roadmap pembangunan infra struktur kereta api angkutan Trans-Asia terpadu telah didesain selama 40 tahun, gagasan dari PBB (The United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific -UNESCAP). Ada rute koridor utara, yang menghubungkan Eropa dan Pasifik melalui Jerman, Polandia, Rusia, Kazakhstan, Mongolia dan China. Koridor selatan dari Eropa ke Asia Tenggara, melalui Turki, Iran, Pakistan, India, Myanmar dan Thailand. Jaringan Asia Tenggara hubungan antara Singapura dan Kunming, dan koridor utara-selatan dari Helsinki melalui Rusia ke Laut Kaspia, kemudian membelah menjadi tiga rute – untuk Iran barat melalui Azerbaijan, menyeberangi Laut Kaspia ke Iran, dan rute timur melalui Turkmenistan dan Uzbekistan. Ketiganya akan berkumpul di Teheran dan pergi selatan ke pelabuhan Iran Bandar Abbas. Dari rute utara sudah ada, sebagian besar melalui kereta api Trans-Siberia. Trans-Siberia mampu mengangkut 100 juta ton barang per tahun.

Koridor pusat melalui Kazakhstan dan Turki yang paling menjanjikan. Rute ini terhambat oleh dua rantai yang hilang antara Soviet di Asia Tengah dan Iran, dan di seberang Bosporus dari Turki ke Eropa. Namun akhir-akhir ini telah melihat kemajuan pesat. Turki telah lama memiliki jaringan berkembang dengan baik kereta api dari ukuran standar yang sama seperti Eropa Barat.

Turki sedang membangun terowongan rel 13,3 kilometer. Ini akan membawa barang dan kereta api berkecepatan tinggi serta lalu lintas komuter ke Istanbul dari sisi Asia. Kepentingan strategis terowongan itu akan hanya mencapai Eropa dari Asia tanpa melewati Rusia.

Cina telah mulai mengembangkan sendiri dengan titik penyebrangan di barat laut Xinjiang ke Dostyk, di Kazakhstan, dan pada tahun 2009 menyelesaikan sambungan melintasi perbatasan ke Khorgos. Sudah ada jalan dari Almaty, di Kazahkstan, melalui Tashkent, di Uzbekistan, untuk Tejen, di Turkmenistan, dan berakhir di Turkmenbashi, pelabuhan di Laut Kaspia. Pada tahun 1996, dibangun di sebelah selatan melintasi perbatasan ke Iran. Sehingga kereta api dari China sekarang bisa masuk Iran dan lintas selatan ke pelabuhan Teluk Bandar Abbas. Atau bisa berbelok ke barat melalui Kaukasus atau menyeberang ke perbatasan Turki.

Indonesia adalah link yang hilang

Jalan-jalan yang dilewati oleh jalur sutera berpotensi untuk pertumbuhan ekonomi. Apakah Indonesia merupakan bagian link dari jalur sutera baru di masa depan? Pada akhirnya, akan ada bermacam pilihan untuk menghubungkan Timur dan Barat. Jangankan antar negara, antar daerah di Indonesia saja masih banyak jalur rel kereta api yang kosong. Indonesia hingga saat ini belum mempunyai road map  moda transportasi ke depan. Akibatnya intermoda yang dimiliki belum terintegrasi satu sama lainnya. Kondisi ini menyebabkan biaya transportasi kita masih sangat tinggi.

Wilayah-wilayah di Indonesia masih belum terintegrasinya karena infrastruktur yang masih minim. Jika wilayah di Indonesia terkoneksi dengan baik, maka sumber daya alam dapat kita manfaatkan secara optimal.

Menurut hemat saya, hubungan antar pulau jembatan selat sunda pembangunannya perlu dipercepat sebagai antisipasi pengembangan infrastruktur transportasi global. Demikian pula jembatan di selat Malaka yang menghubungkan Malaysia ke Sumatera perlu dibuat roadmpnya kapan bisa dibangun.  Sampai politik dan ekonomi daerah dapat lebih selaras, sedikit demi sedikit terjadi kemajuan infra struktur transportasi.

Bagaimanapun, semua resiko keterbukaan dengan dunia luar pasti ada. Kecurigaan selalu muncul apakah nanti sumberdaya kita akan tereksploitasi ke luar negeri melalui jalur sutera, itu adalah pertanyaan lanjutan seberapa cerdaskah masyarakat kita dalam berdagang?

Rekonstruksi Jalur Sutera: Jaringan Transportasi Kereta Api Trans Asia

Membangun Kredibilitas Penguatan Simbol Rupiah: Redenominasi

Redenominasi Rupiah merupakan perubahan jumlah nol dalam mata uang rupiah hal ini dilakukan untuk mengangkat kembali martabat rupiah. Namun banyak kalangan berpendapat pro dan kontra dengan rencana itu, kebijakan itu dikhawatirkan menimbulkan spekulasi naiknya harga-harga.

Latar Belakang

Uang pada dasarnya merupakan alat tukar dimana merupakan instrumen transaksi perekonomian yang membantu pemerintah dalam mengatur ekonomi makro. Namun uang dalam arti lebih luas tidak hanya sebagai sarana transaksi ekonomi, tetapi merupakan identitas warga dan merupakan legitimasi pemerintah nasional. Pandangan ini berasal dari analisis bahwa uang merupakan fenomena sosial. Transaksi antara individu dapat terjadi tanpa uang, namun dengan uang memungkinkan individu untuk menghitung nilai transaksi, dan melakukan transaksi yang senilai. Selain itu, transaksi moneter membantu menciptakan komunitas, mata uang menarik orang untuk bersama-sama menggunakan mata uang yang sama dan beranggapan orang lain menerima mata uang tersebut. Sehingga uang berberfungsi sebagai sarana untuk menciptakan atau memperkuat identitas politik (Helleiner 2003, McNamara 2005). Sejalan dengan hal ini, tujuan utama dari mata uang secara teritorial pada abad kesembilan belas adalah membangun bangsa, sebagai suatu kesatuan komunitas ekonomi dan politik (Cohen 2004, hal. 5).

Efek psikologis menciptakan rasa identitas adalah alasan paling umum dalam sebuah negara yang melakukan redenominasi mata uang. Efek psikologis masyarakat bahwa merasa akan lebih baik apabila mata uang lokalnya diredenominasi. Dengan demikian, dari perspektif fenomena sosial uang berfungsi sebagai sarana menciptakan dan perekat identitas politik, yang akan menimbulkan kepuasan psikologis. Aspek simbolis jika masyarakat tidak percaya akan mata uangnya, misalnya, mereka lebih suka memegang dolar daripada rupiah, maka mata rupiah jatuh sehingga kepercayaan terhadap rupiah melemah, sehingga yang terjadi adalah substitusi mata uang asing.

Jika kekhawatiran tentang dimensi simbolik tersebut akurat, yang terjadi masyarakat mulai lebih percaya dolar ketimbang mata uang lokal, substitusi mata uang cenderung didorong setidaknya pada awalnya oleh inflasi yang tinggi (Feige et al, 2002, Leijonhufvud 2000). Substitusi mata uang semakin terus meluas seiring semakin ketatnya persaingan globalisasi keuangan. Globalisasi keuangan menempatkan mata uang nasional berkompetisi langsung dengan mata uang negara lain, dan keterbukaan keuangan memungkinkan masyarakat lebih mudah memperoleh mata uang substitusi (Balino et al, 1999, Cohen 1999, 2004). Sebuah studi pada pertengahan 1990-an, mata uang asing menyumbang 20 persen atau lebih dari persediaan uang lokal di lebih dari tiga puluh negara, studi lain menyebutkan 18 negara dimana mata uang asing meliputi 30 persen dari uang yang beredar (Krueger dan Ha 1996; Balino et al, dikutip dalam Cohen 2004, hal 13-14).

Argumen Redenominasi

Ada banyak alasan mengapa sebuah negara akan memutuskan untuk meredenominasi Mata uang mulai dari kredibilitas dan identitas untuk domestik dan politik internasional (IMF, 2003; Mosley, 2005; Martinez, 2007). Dari studi literatur, latar belakang keputusan dilakukannya redenominasi yakni terkait. kredibilitas, lokal dan global. Pemerintah ingin membangun kredibilitas mereka khususnya, dalam membangun komitmen untuk kebijakan inflasi rendah, untuk warga negara mereka sendiri, serta pasar modal internasional (Maxfield 1997). Sebagai bagian dari upaya untuk membangun komitmen yang kredibel, pemerintah dalam beberapa tahun terakhir telah meningkatkan independensi bank sentral mereka dan telah membuat komitmen eksplisit untuk target makroekonomi (misalnya Bernhard et al, 2002). Pada negara-negara yang akan bergabung dengan mata uang regional (misalnya EMU), maka komitmen mereka sangat penting untuk meyakinkan pasar internasional. Misalnya, Bank Sentral Romania melakukan redenominasi sebagai tanda bahwa hari-hari hiper-inflasi berakhir dan menggunakan mata uang baru. Romania telah menetapkan tujuan untuk bergabung dengan EMU tahun 2012, dan mata uang 29.890 terhadap dolar dipandang sebagai penghalang untuk melakukannya. Redenominasi bagi Indonesia juga akan mendukung kesetaraan ekonomi dengan kawasan lain dalam era Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Saat ini, denominasi rupiah sangat tinggi bila dibandingkan negara ASEAN lainnya.

Sejalan dengan hal ini, Turki memiliki dua argumen utama. Pertama adalah soal teknis, banyaknya nol maka statistik dan transaksi menjadi lebih kompleks. Kedua adalah tentang kredibilitas bahwa keberadaan 20.000.000 lira uang kertas, memiliki efek negatif pada kredibilitas mata uangnya. Penghapusan nol adalah alat untuk mengembalikan kredibilitas. Memang, pada tahun 2004 adalah tahun pertama inflasi satu digit di Turki sejak tahun 1972, membuat 2005 waktu tepat untuk memperkuat komitmen terhadap inflasi yang rendah. Demikian pula, pada Agustus 1997, pemerintah Rusia mengumumkan bahwa rubel akan redenominasi per 1 Januari 1998, dengan tiga angka nol dihapus dari mata uang. Hal ini dimaksudkan untuk meyakinkan masyarakat bahwa krisis ekonomi Rusia berakhir, Inflasi menurun, jatuh dari 875% pada tahun 1993, menjadi 200% pada tahun 1995 dan selanjutnya, sampai 15%, pada tahun 1997 (Washington Post, Januari 3, 1998).

Redenominasi dapat digunakan secara langsung dalam proses stabilisasi, hal ini merupakan upaya untuk mengubah ekspektasi inflasi masyarakat. Misalnya, reformasi mata uang Israel dilakukan pada September 1985, dengan penciptaan uang baru dibagi dengan 1.000 syikal. Pada saat itu Israel berada di tengah-tengah program stabilisasi ekonomi, dimana pada Agustus 1985 inflasi masih pada tingkat tahunan sebesar 386 persen (Bank Sentral Republik Turki 2004a). Demikian pula, pada bulan Desember 1993, Bank Nasional Yugoslavia memangkas sembilan nol dari dinar, berharap untuk memadamkan hiperinflasi (Financial Times, 30 Desember 1993).

Redenominasi memiliki dampak pada harapan masyarakat, ketika harga mahal dengan banyaknya nilai nol, konsumen dan perusahaan terus-menerus diingatkan bahwa harga meningkat secara dramatis di masa lalu, dan mereka terus menduga bahwa kenaikan tersebut akan terjadi lagi di masa depan. Ketika uang yang beredar jumlah nol nya kecil, warga negara lebih percaya diri bahwa kembali ke inflasi yang tinggi tidak mungkin, sehingga semacam ilusi uang yakni masalah nol, yang mendorong ekspektasi inflasi.

Secara khusus, tekanan inflasi, efek psikologis, kontrol mata uang substitusi dan politik dalam negeri diidentifikasi sebagai alasan utama redenominasi (Cohen, 2004; Mosley, 2005; Tarhan, 2006; Timbal Capital Limited, 2007). Redenominasi mata uang biasanya dilakukan pada saat negara mengalami tekanan hiper-inflasi yang memiliki efek membuat mata uang lokal tidak menarik.

Pemerintah menerapkan strategi redenominasi dalam rangka meningkatkan kedaulatan moneter mereka dan kontrol kecenderungan melakukan substitusi mata uang. Jika orang tidak menghargai mata uang lokal mereka, mereka mulai menggunakan mata uang asing, terutama mereka dengan prestise yang lebih besar. Aluko (2007) memberikan daftar banyak Negara-negara Afrika dan non-Afrika yang warganya nyaris kehilangan kepercayaan pada mata uangnya sendiri.

Alasan lain untuk redenominasi, meskipun tidak sering dikutip adalah masalah politik. Mosley (2005) berpendapat bahwa penggunaan redenominasi sebagai sarana meningkatkan kredibilitas berakar pada politik dalam negeri. Menurut dia, pemerintah mungkin ingin menjaga inflasi yang rendah karena mereka ingin untuk dihargai oleh para pemilih, selama pemilu, untuk kinerja ekonomi; terkesan pasar internasional yang memungkinkan mereka meminjam lebih murah dan menarik investasi asing yang pada gilirannya akan memfasilitasi pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi domestik.

Di sisi lain, jika redenominasi dikelola dengan baik dapat meningkatkan capital inflow. Investor asing bisa mulai lebih percaya diri pada iklim investasi dan mendorong untuk memasukan uang ke pasar modal lebih banyak (Dengan asumsi tingkat inflasi menurun dan perekonomian makro membaik). Namun ini adalah efek jangka panjang dan tergantung kemampuan pemerintah mengkonsolidasikan strategi reformasi kebijakan yang ada.

Resiko

Ada beberapa resiko kebijakan redenominasi menurut Tarhan (2006) yakni efek inflasi dari pembulatan harga, menu dan biaya administrasi, yang meliputi perubahan label harga, mengubah hukum/peraturan, biaya pencetakan catatan baru dan mencetak uang logam baru, biaya membuang catatan lama dan koin/mata uang lama, biaya pendidikan dan iklan untuk disosialisasikan ke masyarakat khususnya di daerah pedesaan di akses saluran informasinya kurang, mengubah software dan neraca/catatan akuntansi, efek psikologis merasa tingkat pendapatannya menjadi yang lebih rendah, dan biaya ekstra untuk perekonomian jika beberapa angka nol hilang kembali ke akibat inflasi. Terutama soal efek psikologis pelaku usaha dan masyarakat yang membulatkan harga dengan menggampangkan transaksi keuangan. Penghapusan tiga nol membuat masyarakat merasa nilai uang lebih kecil, apalagi karena selama ini terbiasa membawa uang pecahan besar sampai ratusan ribu. Bila harga produk dibulatkan ke atas oleh pelaku usaha dengan alasan agar lebih memudahkan hitungan, efeknya bisa berujung pada inflasi. Hitungan yang biasanya besar harus dibiasakan dengan hitungan kecil, masyarakat akan mengiranya cuma Rp 1. Oleh karena itu perlu pengendalian, jangan sampai harga barang Rp 11 sekian oleh pelaku usaha kemudian dinaikkan menjadi Rp 12, padahal selisihnya besar kalau semua melakukan pembulatan maka akan menjadi berpotensi inflasi. Selain itu, resiko redenominasi lain adalah jika jumlah uang pecahan lama dengan pecahan baru hasil penyederhanaan tidak seimbang. Bila jumlah uang baru masih sedikit, masyarakat dapat dilanda kepanikan karena sulit menukarkan uang.

Ishiekwene (2007) menambah daftar ketidakpastian dan ketidakstabilan dalam kebijakan ekonomi negara berkembang yang dapat menyebabkan peningkatan spekulasi, pelarian, penurunan pengiriman uang asing, peningkatan penghindaran risiko, penerapan “wait and see” oleh investor. Beberapa biaya tidak langsung berhubungan dengan mata uang baru. misalnya, mata uang tidak layak harus ditarik dari peredaran dan diisi ulang dengan uang dicetak baru atau sistem teknologi informasi harus diperbarui secara teratur.

Studi empiris pada hasil redenominasi mata uang khususnya di Amerika Latin menunjukan reformasi ekonomi yang tidak efektif, redenominasi bukan obat mujarab untuk masalah ekonomi (Araki, 2001; Caballero, 2002; IMF, 2003; Calomiris 2006). Ini menunjukkan mengapa redenominasi dilaksanakan pada tahap terakhir paket stabilisasi ekonomi atau reformasi. Menurut Ishiekwene (2007), sejarah menunjukkan redenominasi sukses dalam lingkungan makroekonomi yang stabil, penurunan inflasi, nilai tukar yang stabil, pengendalian fiskal yang hati-hati serta kebijakan yang kredibel.

Mosley (2005) menunjukan di negara-negara seperti Angola, Argentina, Azerbaijan dan Republik Demokratik Kongo redenominasi digunakan untuk mengatasi tingkat hiper-inflasi namun inflasi tetap bertahan tinggi meski telah dilakukan redenominasi. Pada saat redenominasi, tingkat inflasi 2672% (1995), 672% (1985), 912% (1992) dan 1987% (1993), tetapi kemudian meningkat ke 4145% (1996), 3080% (1987 -1989), 1.129% (1993) dan masing-masing 2.377% (1994). Selanjutnya, Mata uang Argentina adalah 1100 ke dolar pada tahun 1962 dan 3500 pada tahun 1969, dan pada tahun 1980 dan 1982, setelah redenominasi pada tahun 1970 itu adalah 18.000 dan 180.000 masing-masing. Juga, terjadi di Azerbaijan dari 0,06 sen dolar AS ke manat pada tahun 1994 sebelum redenominasi menjadi 0,02 persen pada tahun 2003 setelah redenominasi.

Mosley (2005) mengutip sejumlah penelitian yang dilakukan di tingkat lokal dan antar negara menunjukkan bahwa redenominasi adalah murni teknis, tampaknya dampak yang kecil, di luar biaya mencetak uang baru dan iklan perubahan bagi masyarakat dan pasar keuangan.

Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa redenominasi bukan pendekatan yang bekerja sendiri terisolasi dari sektor produktif riil perekonomian. Studi empiris Caballero (2002), IMF (2003) dan Calomiris (2006) mengungkapkan bahwa tidak ada teori redenominasi mata uang yang dapat mengubah perekonomian di mana pengangguran terus berlanjut, nilai mata uang mengalami penurunan, impor melebihi ekspor, industri lokal yang terpuruk, dan biaya produksi yang mahal. Studi tentang kinerja dan efektivitas redenominasi mata uang masih belum meyakinkan.

Pengalaman Berbagai Negara

Setiap negara berhak dalam menentukan proses redenominasi mata uang mereka sendiri. Antara tahun 1960 dan 2003, di negara berkembang serta negara-negara yang mengalami transisi ekonomi terdapat 60 kasus redenominasi mata uang (Mosely, 2005). Pada 14 kasus redenominasi mata uang, ada yang hanya menghapus satu nol-nya saja, sembilan kasus menghapus enam nol. Beberapa kasus redenominasi menghapus tiga angka nol, seperti yang rencana pemerintah saat ini lakukan.

Sedangkan dari sisi frekuensi dilakukannya redenominasi, sembilan belas negara telah melakukan redenominasi sebanyak satu kali, sementara sepuluh negara telah melakukan dua kali redenominasi, bahkan ada yang melakukan redenominasi setelah bertahun-tahun baru melakukan redenominasi, seperti di Bolivia, pada tahun 1963 dan 1987, di Peru pada tahun 1985 dan 1991. Sedangkan negara-negara yang sering melakukan redenominasi adalah Argentina (4), bekas Yugoslavia/Serbia (5), dan Brazil (6) (Mosley, 2005; Martinez, 2007). Menurut Tarhan (2006), Brasil meredenominasi 18 nol selama 6 kali (1967/70/86/89/93/94), Argentina 13 nol selama 4 kali (1970/83/85/92), Israel 9 nol dalam 4 kali (1980/85), Bolivia 9 nol dalam 2 kali (1963/87), Peru 6 nol selama 2 kali (1985/91), Ukraina 5 angka nol dalam 1 kali (1996), Polandia 4 nol dalam 1 kali (1995), Meksiko 3 angka nol dalam 1 kali (1993), Rusia 3 nol dalam 3 kali (1947/61/98), dan Islandia 2 nol dalam 1 kali (1981).

Adapun jangka waktu yang diperlukan untuk kebijakan redenominasi, Uni Soviet pada tahun 1991 dan Nikaragua pada tahun 1988 hanya memberikan waktu tiga hari bagi warganya untuk swap mata uang lama dengan mata uang yang baru (Mosely, 2005). Sedangkan Laos menerapkannya dalam satu hari pada tahun 1976. Apabila terlalu cepat jangka waktu pelaksanaan maka sangat mungkin tidak semua mata uang lama akan ditukar. Terlau pendeknya jangka waktu pelaksanaan redenominasi bisa menimbulkan kekacauan tersendiri.

Momentum pelaksanaan redenominasi biasanya dilakukan pada akhir program stabilisasi perekonomian, sebagai sinyal kepada masyarakat dan kalangan usaha bahwa inflasi tinggi sudah berakhir. Redenominasi merupakan tanda bahwa Inflasi telah dijinakkan dan penghapusan nol berfungsi untuk mengingatkan warga dan investor akan keberhasilan pemerintah dalam mengurangi inflasi atau untuk menghapus sejarah inflasi masa lalu. Dibuatnya mata uang baru merupakan bagian dari program stabilisasi perekonomian, bukan penyebab terjadinya ketidakstabilan.

Tarhan (2006) mengutip sebuah kasus yang hiper-inflasi di Turki di mana sebotol air minum harganya mencapai 300.000 TL, harga tiket film 7.500.000 TL, Toyota Corolla: 32.900.000.000 TL (32 miliar), dan PDB pada tahun 2002: 273.463.167.795.000.000 TL (273 quadrillion) sehingga redenominasi dilakukan dengan menghilangkan enam angka nol. Pada tanggal 1 Januari 2005, Turki memangkas enam nol mata uangnya. Satu juta lira Turki lama dikonversi ke satu lira Turki baru. Sebelum dilakukan redenominasi di Turki, 1 setara 1,8 juta lira Turki. Setelah redenominasi itu, 1 setara 1,8 lira Turki baru.

Aluko (2007) mengutip contoh dari Zimbabwe yang mengalami inflasi 1.200% per tahun. Redenominasi untuk mengatasi hiper-inflasi dilakukan setelah negara mereformasi kebijakan moneter dan fiskal guna tercapai stabilitas makroekonomi. Pada bulan Juli 2008, Zimbabwe memangkas sepuluh nol mata uangnya. Pada saat redenominasi Zimbabwe mata uangnya diperdagangkan 110 miliar Zimbabwe setara dengan satu dolar AS. Ketika dilakukan redenominasi mata uang maka neraca hutang, dan portofolio keuangan dilakukan penyesuaian.

Namun, beberapa negara sangat berhati-hati mempertimbangkan redenominasi (Ishiekwene, 2007). Misalnya, Won Korea Selatan satu dolar adalah 932, Forint Hungaria adalah 216 dan yen Jepang adalah 117, namun negara-negara ini menganggap tidak tepat untuk meredenominasi mata uang mereka (Araki, 2001; Mosley, 2005). Jepang telah membahas perdebatan isu redenominasi untuk mata uang yen. Pada tahun 2008, yen diperdagangkan sekitar 110 yen per satu dolar AS. Adanya mata uang Euro mendorong kekhawatiran jepang atas mata uang yen sebagai mata uang internasional yang kemungkinan terpukul karena adanya kompetisi mata uang baru. Perekonomian Jepang yang melambat pada tahun 1990-an mendorong pembuat kebijakan Jepang mempertimbangkan untuk melakukan redenominasi. Pada tahun 1999, Partai Demokratik Liberal membentuk sebuah komite untuk mengevaluasi ide menghapus dua nol dari yen.

Di negara-negara dimana telah terjadi hiperinflasi, adalah suatu upaya perjuangan yang berat untuk memperoleh kembali kepercayaan pasar internasional dan dukungan masyarakat. Cara memulihkan kepercayaan adalah melalui program stabilisasi, dengan meningkatkan kemandirian operasional bank sentral, dan menghapus kebijakan ekonomi distortif. Penggunaan redenominasi sebagai sarana meningkatkan kredibilitas bersumber pada politik dalam negeri. Pemerintah ingin menjaga inflasi rendah karena ingin dihargai oleh masyarakat atas kinerja di bidang ekonomi, dan inflasi rendah membantu perekonomian. Pemerintah ingin memberi kesan positif pada pasar internasional, karena hal ini memungkinkan mereka untuk memperoleh pinjaman luar negeri lebih murah dan untuk menarik investasi asing, yang pada gilirannya mendorong pertumbuhan ekonomi domestik.

Pengalaman Indonesia

Redenominasi, penurunan atau penambahan nol, tidak sama seperti revaluasi dan devaluasi, tidak ada perubahan nilai mata uang atau nilai pembeliannya tetap sama. Revaluasi mata uang adalah peningkatan nilai dari mata uang lain dibawah sistem kurs tetap, Devaluasi, kebalikan dari revaluasi adalah penurunan nilai mata uang mata uang lainnya dibawah sistem nilai tukar tetap (CBN, 2007; Ojameruaye, 2007).

Sanering
Redenominasi bukan sanering. sanering berasal dari bahasa Belanda pemotongan nilai mata uang sekaligus nilai tukarnya. Pengalaman Indonesia pada tahun 1950, Menteri Keuangan Syafrudin Prawiranegara melakukan pemotongan mata uang rupiah atau sanering untuk mengerem inflasi. Kebijakan yang dikenal dengan Gunting Syafrudin ini justru membuat harga-harga kian meroket.

Kebijakan ini dilakukan kembali oleh pemerintah pada tahun 1959, Presiden Soekarno pun memerintahkan Menteri Keuangan yang dirangkap oleh Menteri Pertama Djuanda 24 Agustus 1959 menurunkan nilai mata uang Rp 10.000 yang bergambar gajah dan Rp 5.000 yang bergambar macan, diturunkan nilainya hanya jadi Rp 100 dan Rp 50. Tak hanya itu. Simpanan giro dan deposito milik masyarakat dibekukan dan kemudian diubah menjadi simpanan berjangka. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pun didevaluasi 74,5%. Pemerintah melakukan sanering uang dengan menurunkan nilai uang pecahan Rp500 dan Rp 1.000 menjadi Rp50 dan Rp100. Langkah ini dilakukan untuk menangani laju inflasi yang terus berlangsung hingga awal 1960-an. Indonesia melakukannya ketika terjadi hiper inflasi dan mata uang pada saat itu dipatok terhadap mata uang asing. Karena nilai rupiah tidak mencerminkan nilai tukar riilnya lagi, maka sanering adalah pilihan pahit yang harus dilakukan pemerintah pada saat itu.

Sanering membuat trauma bagi masyarakat Indonesia yang pernah mengalaminya. Ketika kondisi politik tanah air yang sangat tidak stabil, lalu harga-harga naik tinggi karena hiper inflasi, dan uang yang beredar di masyarakat tiba-tiba berkurang nilainya. Akibat kebijakan itu, kekayaan rakyat yang dikumpulkan bertahun-tahun berkurang nilainya secara drastis. Sementara masalah perekonomian masih belum membaik. Demikian pula posisi rupiah terhadap mata uang asing semakin terpuruk. Anehnya, pemerintah Soekarno justru kembali melakukan sanering ketiga pada 13 Desember 1965. Uang lama Rp 1.000 diganti uang nilai baru Rp 1.Kebijakan itu membuat perekonomian Indonesia semakin terpuruk. Harga barang-barang terus meningkat, bahkan inflasi sempat mencapai 594%. Pada tahun 1966, ketika inflasi mencapai 635,5%, masyarakat semakin menderita karena pendapatan mereka yang hanya US$ 80 per tahun habis oleh inflasi. Buruknya kinerja perekonomian ini menjadi pendorong kejatuhan pemerintah Orde Lama.

Devaluasi
Di masa pemerintahan Orde Baru, kebijakan sanering tak lagi dipergunakan. Namun di bawah Presiden Soeharto, rupiah beberapa kali didevaluasi. Devaluasi adalah penyesuaian nilai mata uang dalam negeri dengan menurunkan nilainya terhadap mata uang asing atau acuan, misalnya rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Indonesia sudah berpengalaman ketika Pemerintahan Orde Baru yang menerapkan kurs tetap. Devaluasi dilakukan karena kurs yang dipakai sudah tidak mencerminkan nilai tukar riil uang itu sendiri, sehingga ketika nilainya dipatok pada angka tertentu maka bank sentral sewaktu-waktu harus menyesuaikan dengan nilai tukar riilnya.

Pada saat Amerika harus menghentikan pertukaran dollar dengan emas. Presiden Nixon khawatir dengan terkurasnya cadangan emas jika dollar dibolehkan terus ditukar emas, dimana 1 troy onz emas = US$ 34.00. Maka untuk menjaga cadangan emas, pemerintah AS menghapuskan sistem penilaian dollar yang dikaitkan dengan emas. Indonesia terkena imbasnya dari dampak kebijakan tersebut sehingga pada tanggal 21 Agustus 1971 dibawah Menkeu Ali Wardhana. pemerintah mendevaluasi Rupiah dari Rp. 378 menjadi Rp. 415 per 1 US$, kurs rupiah dipotong 10%.

Pada tahun 1973, Indonesia mendapat penerimaan kenaikan harga minyak akibat Perang Arab – Israel, namun sayangnya kenaikan pendapatan ini tidak menimbulkan pertumbuhan ekonomi (dutch disease) bahkan Pertamina justru nyaris bangkrut dengan utang US$ 10 milyar. Tetap tidak bisa dihindari kebijakan devaluasi dilakukan oleh Menkeu Ali Wardana pada 15 November 1978 dari Rp. 415 menjadi Rp. 625 per 1 US$.

Pada tanggal 30 Maret 1983, Menkeu Radius Prawiro mendevaluasi rupiah 48% jadi hampir sama dengan menggunting nilai separuh. Kurs 1 dolar AS naik dari Rp 702,50 menjadi Rp 970. Kebijakan ini dilakukan kembali oleh menteri yang sama, pada 12 September 1986, pemerintah kembali mendevaluasi rupiah sebesar 47%, dari Rp 1.134 ke Rp 1.664 per 1 dolar AS.

Ketika krisis moneter melanda Indonesia, 1997, pemerintah justru membiarkan rupiah mengambang bebas. Nilai rupiah pun terpuruk. Apalagi setelah BI mencetak uang pecahan Rp 50.000. Puncaknya terjadi April 1998, ketika itu nilai rupiah jatuh menjadi Rp 17.200 per dolar. Krisis moneter ini membuat jatuhnya pemerintah Orde Baru.

Setelah reformasi nilai tukar rupiah relatif stabil. Namun kredibilitasnya telah jatuh terhadap sejumlah mata uang asing, terutama terhadap dolar AS. Saat ini dollar sudah mencapai Rp.10.100, oleh karena rencana redenominasi perlu dilakukan secara hati-hati. Meski redenominasi berbeda dengan devaluasi ataupun sanering. Faktor-faktor di luar ekonomi seperti sosial, politik, dan tentu saja psikologi masyarakat menjadi pertimbangan dalam melaksanakan kebijakan redenominasi.

Membangun Kredibilitas Penguatan Simbol Rupiah: Redenominasi

Cahaya Lampu Menggambarkan Peta Urbanisasi

Image

Citra lampu kota di Indonesia tampak dari data the Defense Meteorological Satellite Program (DMSP) Operational Linescan System (OLS). Awalnya dirancang untuk melihat awan dengan cahaya bulan, OLS juga digunakan untuk memetakan lokasi lampu permanen di permukaan bumi.

Daerah terang di Indonesia menunjukkan yang paling perkotaan. Kota-kota cenderung tumbuh di sepanjang garis pantai dan jaringan transportasi. Sistem jalan raya di pesisir pantai utara jawa, menghubungkan titik-titik terang dari pusat kota. Kebanyakan kota-kota terang ada di pulau jawa, kemudian Sumatera. Titik titik terang selain menunjukan kepadatan penduduk yang besar juga merupakan kawasan industry. Adapun kawasan Indonesia timur masih banyak yang gelap.

Hutan di pedalaman Kalimantan ataupun Papua kebanyakan masih gelap, namun lampu mulai muncul di sana. Peta ini menggambarkan bagaimana data cahaya kota diggunakan sebagai peta urbanisasi.

Yang jelas, kota-kota ‘bercahaya’ ini memberikan kemakmuran yang lebih banyak, sutainable dan menampung mobilitas sosial. Kota-kota di Indonesia luasnya kurang dari 1% dari tanah di daratan Indonesia, menghasilkan produk domestik bruto dan menampung mayoritas pekerjaan di Indonesia. Setiap pertumbuhan penduduk baru perkotaan akan meningkatkan basis pajak kita.

Cahaya Lampu Menggambarkan Peta Urbanisasi

Perusahaan Bir Asing Mo Investasi di Indonesia?

Berita Detik (11/07/2013) Jakarta- Produsen minuman beralkohol asing kesulitan masuk ke Indonesia gara-gara adanya aturan Daftar Negatif Investasi (DNI) yang melarang investasi baru. Padahal banyak investor asing yang sudah mengantre ingin masuk, seperti Jack Daniels dan Johnnie Walker. “Ada 2-3 lah, Johnnie Walker, terus ada dari Australia, produsen Jack Daniels, tapi kita bilang nggak boleh,” kata Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Benny Wahyudi saat ditemui di kantor Kementerian Perindustrian, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, (11/7/2013). Karena tidak ada investasi baru di sektor tersebut, kata Benny, kapasitas produksi minuman alkohol dalam negeri tidak dapat menutupi tingginya pertumbuhan permintaan. Sehingga, langkah yang diambil adalah impor.
“Pasarnya diambil oleh impor,” katanya. Dalam kesempatan itu Benny menyebutkan, Kementerian Perindustrian tengah mengusulkan agar aturan mengenai DNI agak diperlonggar, dengan beberapa persyaratan yang diajukan. “Pabrik baru nanti harus kerja sama dengan lokal, ada beberapa persyaratan berapa persen untuk ekspor. Kita usulin karena ingin ada investasi tambahan,” katanya. Hal tersebut dilakukan agar Indonesia tak lagi impor minuman beralkohol yang jumlahnya mencapai 1,8 juta liter di tahun 2012.

 

 

Berita ini cukup mengagetkan bagi saya, apalagi di bulan Pusa Ramadhan, Yang benar saja?, berarti Indonesia masih surganya minuman kalau begitu. Sama seperti rokok, investor asing melalui pembelian saham datang ke Indonesia karena Indonesia dianggap regulasinya belum seketat di negara luar, demikian tarif cukai tidak terlampau tinggi, iklan masih bebas disana-sini, beberapa acara olah raga didanai oleh mereka. Ketika di negara maju industri ini ditekan aturannya secara ketat maka otomatis industri ini akan mencari pangsa pasar lokasi-lokasi baru di negara-negara lain yang masih menjadi surga para konsumen tersebut.

 

Sekali lagi mestinya pemerintah mempertimbangkan lagi secara matang, tidak semua investor boleh masuk, sehingga ada yang namanya daftar negatif investasi (sebagaimana diatur dalam Perpres 36 tahun 2010). Dalam lampiran Perpres tersebut disebutkan industri Minuman Mengandung Alkohol (Minuman Keras, Anggur, dan Minuman Mengandung Malt) merupakan bidang usaha tertutup bagi penanaman modal demikian pula sama dengan perjudia dan kasino dimasukan dalam bidag usaha tertutup . Bidang usaha yang tertutup merupakan bidang usaha tertentu yang dilarang diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal.

 

Demikian pula industri rokok dapat investasi namun dengan persyaratan. Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan adalah bidang usaha tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal dengan syarat tertentu, yaitu bidang usaha yang dicadangkan untuk Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan kemitraan, bidang usaha yang dipersyaratkan kepemilikan modalnya, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan lokasi tertentu, dan bidang usaha yang dipersyaratkan dengan perizinan khusus.

 Apa artinya investor bir mau masuk ke Indonesia? Hal ini berarti permintaan minuman alkohol di Indonesia terus meningkat, di lain sisi aturan untuk pembatasan konsumsi ini masih longgar di bandingkan dengan negara-negara luar. Apalagi saat ini minuman mengandung etil alkohol tersebut telah dibebaskan dari PpnBM, karena sudah dianggap bukan barang mewah lagi. Meski demikian pemerintah telah meng off setnya dengan menaikan tariff cukai minuman alkohol ini (dalam PMK Nomor 62/PMK.011/ 2010 tentang Tarif Cukai Etil Alkohol, Minuman Mengandung Etil Alkohol, dan Konsentrat mengandung Etil Alkohol), meski kalau dihitung-hitung tidak sebesar ketika dikenakan PPnBM .

 Minuman alkohol kalau dihitung dari mudharatnya jauh lebih banyak daripada manfaatnya. Di beberapa negara penerapan aturan konsumsi ini sangat dijaga ketat. Banyak sekali korban akibat minuman ini, jumlah kecelakaan lalu lintas meningkat karena konsumsi ini. Sehingga layak minuman ini dikenakan cukai . Karena sesuai dengan filosofi UU Cukai, barang ini konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi dan pemakaiannya menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup.

Kesimpulannya

Bagi penulis PP 36/2010 lampiran bidang usaha tertutup untuk penanaman modal masih perlu dipertahankan. Sehingga ide-ide untuk membuka investor minuman alkohol ataupun perjudian menurut hemat saya tidak perlu. Kalau toh sekarang masih banyak miras yang diimpor bukan berarti keran investasi harus dibuka untuk investor bir ini. Justru tidak masalah impor minimal pemerintah masih memperoleh pendapatan dari bea masuk dan pajak dalam rangka impor.

 “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar dari manfaatnya.(QS: Al Baqarah :219).

Perusahaan Bir Asing Mo Investasi di Indonesia?

Hanya Sebuah Roadmap?

Peta jalan adalah kata sederhana, namun adalah sangat penting untuk menjadi rencana aksi. Roadmap ibaratnya adalah sebuah mimpi besar, harapan yang akan diwujudkan, dan secara detail menghipnotis semua orang tertarik dan seolah merasakannya  dalam ujung sebuah proses yang dituju.

Kalau seorang arsitek membuat roadmap-nya menjadi sebuah sebuah maket, arsitek secara sadar mengajak mitranya merasakan bagaimana indahnya sebuah bangunan yang dirancang dan hasil akhir ujung dari sebuah maha karya. Sehingga para teknisi yang membangun bangunan tersebut mengacu pada ‘roadmap maket’, mulai dari susunan pondasi yang dibuat kokoh, satu persatu bata disusun, direkatkan dengan semen, selanjutnya dibangun sebuah tiang dan atap genteng di atasnnya. Sekali lagi, bangunan tersebut dibuat bukannya secara kebetulan. Masing-masing teknisi sadar akan perannya dan memiliki mimpi besar yang sama dengan para arsitek untuk membuat bangunan. Bayangkan ketika maket awal tidak dibuat, para teknisi bangunan akan berbenturan dengan tukang kayu, tukang listrik di bangunan tersebut.

Kalau para teknokrat mewujudkan roadmapnya konkret, para ahli sosial memiliki tingkat kerumitan tersendiri dalam merumuskan sosial engineering yang sangat abstrak. Anda bisa bayangkan bagaimana menyusun sistem demokrasi atau sistem politik di dalam tatanan masyarakat. Mau seperti apa sistem politik Indonesia masa depan? Negeri ini disusun dari roadmap yang dibuat oleh para ahli sosial. Ideal rancangan sosial yang disosialisasikan mestinya sudah menjadi ranah opini publik yang menyatu menjadi cita-cita bersama. Pertanyaannya adalah kita mau kemana? Kalau gambaran maket sosial di masa depan masih kabur, maka dapat dibayangkan masing-masing pakar membuat bangunan sesuai seleranya yang bisa jadi saling bertabrakan satu sama lain. Sinergi diperlukan setelah adanya satu visi bersama.

Demikian pula sebuah kebijakan yang diambil, sudah seharus perumus kebijakan menyadari apa akibat dari kebijakan yang diambil dan bentuk ideal tatanan sosial apa yang akan diwujudkan terumuskan dengan jelas. Kesalahan abstraksi masa depan akan mengakibatkan rusaknya rencana aksi yang dilakukan saat ini.

Rasanya sudah menjadi tradisi berganti pemimpin maka berganti arah kebijakan. Seringnya pergantian roadmap ini yang cukup membingungkan masyarakat. Pembangunan yang disusun mestinya ada sebuah arah yang jelas untuk melangkah. Contoh pertanyaan sederhana, apa yang bisa kita perbuat dengan kemacetan lalu lintas saat ini? Motor dimana-mana kemungkinan ke depan seluruh jalan di jakarta macet total kalau semua motor masuk ke jalan raya. Apakah kita tidak berharap di 2015 bebas macet?, transportasi masal murah dsb. Sehingga wajar masing-masing sektor berbuat sendiri-sendiri misalnya produksi motor/mobil terus bertambah, dilain sisi percepatan pembangunan jalan masih lambat.

Peran pemimpin ideal semestinya bisa menggambarkan arah masa depan dengan jelas, Mau kemana kita? Tentunya hal-hal yang indah, masa depan yang cerah yang dituju. Arah tatanan ideal ini selanjutnya ditransformasikan ke dalam kesadaran masyarakat secara kolektif. Kesadaran inilah yang menumbuhkan masyarakat tumbuh berkarya dalam suatu visi yang sama.

Tidak banyak orang yang bisa menggambarkan negeri ini ke depan dengan baik. Perasaan pesimis selalu dimunculkan dalam setiap kesempatan di media. Semakin kita melihat gambaran pesimis maka semakin terpuruk juga kondisi yang ada, yang menjadikan kesenjangan antara harapan dan kenyataan.

Hanya Sebuah Roadmap?

Reformasi Pembebasan Pajak Barang Impor (De-Minimus) Kiriman Kilat

Semakin besar nilai de-minimus semakin memudahkan barang impor masuk dari luar negeri namun semakin mengurangi penerimaan negara

Istilah de-minimus artinya pada harga tertentu barang kiriman kilat dari luar negeri dibebaskan dari pengenaan pajak (bea masuk dan pajak dalam rangka impor). Dengan naiknya batas nilai barang yang dibebaskan maka diharapkan waktu penyelesaian prosedur impor akan lebih cepat dan petugas pabean akan lebih fokus dalam pemeriksaan barang lainnya yang memiliki nilai penerimaan yang lebih tinggi. Dengan kenaikan de minimus diharapkan biaya penerimaan pungutan pajak lebih besar dari biaya administrasi petugas dalam memungutnya. Sehingga de minimus menjadi kunci dalam fasilitasi perdagangan dimana akan mengurangi biaya transaksi pengiriman untuk barang kiriman yang harganya murah.

Dalam suatu studi di beberapa nggota APEC mengenai de minimus dengan skenario batas USD 200, artinya di bawah nilai USD 200 barang barang kiriman dibebaskan bea masuk dan pajak dalam rangka impor di negara-negara APEC, hasil studi menunjukan keuntungan ekonomi sekitar USD5.9 miliar per tahun untuk 6 negara anggota APEC atau sekitar USD30.3 miliar untuk 21 negara anggota APEC (Holoway dan Rae, 2012). Untuk case Indonesia jika de minimus dinaikan menjadi USD100 maka net economic benefitnya diperkirakan akan meningkat USD 38.8 juta, jika dinaikan USD200 maka akan meningkatkan net economic benefit USD48.7.

Ketentuan Barang Kiriman di Beberapa Negara
Ketentuan komitmen de-minimus telah dicanangkan oleh para pemimpin APEC. Komitmen ini dilakukan dalam rangka mencapai target kinerja peningkatan supply chain 10%. Pada tahun 2015de minimus diharapkan mampu mengurangi waktu, biaya dan ketidakpastian dalam pergerakan barang, dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi negara tersebut. Beberapa studi saat ini menunjukan semakin besar de minimus maka akan menguntungkan bagi administrasi kepabeanan, sektor swasta dan konsumen dalam mengurangi biaya transaksi, khususnya bagi fasilitasi dengan cara penyelesaian pengiriman barang secara cepat sehingga meningkatkan pergerakan barang antar negara.
Kondisi di beberapa negara batas pembebasan barang kiriman antara lain sebagai berikut:
Brunei Darussalam ($ 400 BND)
Hong Kong, China (no tariff on imports)
Japan (10,000)
Korea (150,000 KRW)
Malaysia ($500 MYR)
New Zealand ($400 NZD)
Russian Federation (200)
Singapore ($400 SGD)
Chinese Taipei ($3,000 TWD)
United States ($200 USD)

Ketentuan Saat ini di Indonesia
Barang kiriman dengan nilai pabean paling banyak USD 50,00 untuk setiap orang per kiriman, diberikan pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor untuk setiap orang per kiriman, diberikan pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor. Dalam hal pabean melebihi batas pembebasan bea masuk, maka barang kiriman dipungut bea masuk dan pajak dalam rangka impor dengan dasar nilai pabean penuh dikurangi dengan nilai pabean yang mendapatkan pembebasan bea masuk.

Meskipun studi de minimus telah dilakukan, namun penyesuaian de minimus menurut saya perlu kajian mendalam, dengan memperhatikan beberapa faktor:
– Penerimaan negara
Selama ini berapa pendapatan negara yang diperoleh dari barang kiriman kilat dari luar negeri, kemudian apakah trennya apakah semakin meningkat? Dengan menaikan de minimus berarti lost bagi penerimaan negara ke depan.
– Hambatan bagi dunia usaha
Apakah selama ini proses pengenaan de-minimus yang rendah dirasakan menghambat masyarakat pengguna? Apakah dengan rendahnya de minimus menimbulkan potensi suap bagi aparat fiskus?
– Jenis Barangnya
Barang-barang apa yang diimpor melalui pos atau express consignment? Apakah barang modal? Ataukah barang-barang konsumtif? Atau apakah barang tersebut merupakan barang substitusi dengan yang sudah banyak diproduksi di dalam negeri?. Kalau ternyata kebanyakan barang modal untuk usaha industri dalam negeri sehingga diolah lagi menjadi nilai tambah lebih besar maka de minimus tersebut layak dinaikan, kalau hanya sekedar barang konsumtif maka perlu dipertimbangkan lebih dalam.
– Pengimpornya
Selama ini pengimpornya didominasi kalangan mana? Apakah trader ataukah konsumen biasa? Kalau trader akan memiliki potensi tax avoidance dengan cara mengimpor barang kiriman secara berulang-ulang dengan maksud menghindari pajak.
– Besaran nilai De-minimus
Menurut hemat saya nilai de minimus tidak harus disamakan dengan negara maju secara nominal, hal ini karena tingkat willingness to pay dan income mereka berbeda dengan kondisi domestik dalam negeri.
Kalau sekiranya besaran nilai de minimus untuk barang kiriman kilat dinaikkan maka perlu juga diharmonisasikan dengan ketentuan de minimus untuk barang penumpang yang selama ini dibebaskan. Ketentuan barang impor yang dibebaskan untuk penumpang sebesar USD250 atau USD1000 per keluarga. Adapun untuk pelintas batas daerah perbatasan Indonesia dengan Malaysia 600MYR, Philipina USD250, Papua New Guinea USD300 dan Timor Timor USD50, yang selama ini nilai de minimus-nya berbeda-beda. Jangan sampai nilai de minimus untuk barang kiriman kilat jauh lebih besar dengan de minimus yang ada di perbatasan. Sedangkan teknis perhitungannya dihitung bukan sebagai pengurang sebagaimana yang selama ini telah dilakukan, misalkan harga barang impor USD101, sedangkan nilai de minimus USD100 maka yang dikenakan bea masuk dan pajak selama ini USD1, mengingat USD1 nilainya terlalu kecil untuk penerimaan negara sebaiknya dihitung dari nilai transaksi total USD101.

Reformasi Pembebasan Pajak Barang Impor (De-Minimus) Kiriman Kilat

Prosedur bongkar muat pelabuhan yang perlu di”bongkar”

Ketua Asosiasi Logistik & Forwader Indonesia mengatakan waktu tunggu bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta Utara mencapai 9 hari. Menurut dia hal ini menjadi bukti ketidakseriusan PT Pelindo II, otoritas pelabuhan serta pejabat terkait lainnya untuk menekan waktu bongkar muat. Waktu bongkar muat yang begitu lama disebabkan tidak adanya tempat penampungan barang sementara. Selain keterbatasan infrastruktur, mekanisme pengurusan dokumen yang berbelit-belit serta kenaikan arus bongkar muat menjelang bulan puasa menjadi penyebab lain. Data ALFI menyebutkan saat ini ada 3.864 peti kemas yang menumpuk di Pelabuhan Tanjung Priok. Pengusaha menerima bermacam-macam alasan seperti gudang yang penuh serta prosedur kepabeanan yang belum selesai. Akibatnya pengusaha merugi karena mesti membayar biaya gudang dan ongkos bongkar muat ekstra. Saat ini pengusaha logistik sulit memberi jaminan waktu kepada sektor industri pengguna jasa. Frekuensi pengangkutan barang pun berkurang dari 4 trip menjadi 1 trip per hari. Dan ternyata masalah waktu bongkar muat tidak hanya terjadi di Tanjung Priok. Antrean kapal di Pelabuhan Panjang Lampung, Teluk Bayur Padang, Jambi, Palembang, Surabaya, Medan dan Makassar juga cukup banyak.

Sebenarnya apa yang dikeluhkan pengusaha tersebut sudah tercermin dengan survei yang pernah dilakukan oleh Bank Dunia dengan Logistic Performance Index (LPI). LPI merupakan indeks ukuran kinerja logistik di suatu negara. Nilai indeks ini diperoleh dari hasil survei terhadap tenaga profesional di bidang logistik yang bekerja di perusahaan ekspedisi angkutan barang multinasional dan perusahaan jasa pengiriman ekspres yang besar. Terdapat enam indikator dalam penilaian (1) Efisiensi proses kepabeanan/clearance, sehubungan dengan kecepatan, kesederhanaan dan prediktibilitas formalitas oleh instansi pengawas perbatasan; (2) Kualitas infrastruktur perdagangan dan transportasi; (3) Kemudahan mengatur pengiriman dengan harga kompetitif, yang menunjukkan ketersediaan koneksi transportasi internasional yang terjangkau di suatu negara; (4) Kompetensi dan kualitas pelayanan logistik (misalnya operator transportasi, perusahaan pengurusan jasa kepabeanan/customs brokers); (5) Kemampuan untuk jejak lacak kiriman ketika mengirim ke suatu negara tertentu; dan (6) Ketepatan waktu yang menunjukkan frekuensi kiriman untuk diterima oleh penerima kiriman dalam waktu yang dijadwalkan atau diharapkan sehingga mengukur keterandalan dan prediktibilitas rantai penawaran.

Peringkat Indeks Kinerja Logistik Beberapa Negara di Dunia
Image

Sumber: dari data Bank Dunia

Pada tahun 2012 posisi Singapura menduduki peringkat pertama, sedangkan Indonesia menduduki peringkat 67, sayangnya posisi ini Indonesia masih dibawah Vietnam (62). LPI ini mengindikasikan situasi logistik suatu negara, sehingga diharapkan dapat mendorong dialog pemerintah-swasta dan memicu momentum untuk reformasi. LPI juga dapat digunakan untuk menandai bidang-bidang kebijakan yang mungkin perlu diintervensi serta memantau kemajuan reformasi, meskipun ukuran-ukuran lain yang bersifat spesifik-negara diperlukan untuk analisa yang terperinci. Dari survei Bank Dunia logistic performance index negara Indonesia mengalami fluktuatif yang semula tahun 2007 sebesar 3.01, kemudian menurun pada tahun 2010 menjadi 2.76 dan kembali meningkat pada tahun 2012 menjadi 2.94. Dibandingkan tahun 2007 kondisi tahun 2012 sedikit mengalami penurunan.

Gambar Indikator Kinerja Logistik Indonesia

Image

Sumber: dari data Bank Dunia

Upaya solusi yang dilakukan pemerintah beberapa waktu ini yakni dengan mewajibkan pelayanan pemeriksaan barang sampai pukul 23.00 WIB , mengkoordinasikan stakeholders, menyempurnakan dan menerapkan manajemen risiko, memfasilitasi langkah sinergis antara operator pelabuhan dan penyedia Tempat Pemeriksaan Fisik Terpadu dan juga dengan pihak terkait lainnya, memfasilitasi proses penyelesaian terhadap kontainer yang longstay di Pelabuhan Tanjung Priok dengan melibatkan berbagai pihak terkait dan yang bertanggungjawab, sehingga tidak terus mengganggu arus barang dalam pelabuhan, penambahan staf KPU BC Tanjung Priok.

Menurut hemat penulis adalah lebih penting lagi adalah komitmen jangka panjang dari pemangku kebijakan di pelabuhan. Implementasi dengan pendekatan top down dan menyeluruh, konsultasi dengan para pelaku usaha dan tanggung jawab yang jelas di pelabuhan perlu dirumuskan. Otomatisasi di pelabuhan sangat diperlukan meskipun akan menambah biaya dalam penerapannya. Pendanaan akan otomatisasi kepelabuhanan ini seharusnya berjalan secara kontinyu. Keberlanjutan pendanaan dan manajemen yang utuh untuk menjaga fungsi dan operasional otomasi sistem sangat diperlukan. Demikian pula sering melakukan perbaharuan prosedur sistem kepelabuhanan perlu dikaji cost and benefitnya.

Meski otomatisasi berperan meningkatkan efisiensi kepabeanan, otomatisasi sendiri bukanlah obat segalanya untuk menyelesaikan hambatan di pelabuhan. Seringkali terjadi mispersepsi bahwa otomatisasi merupakan solusi atas semua masalah yang dihadapi oleh bea cukai seperti penerimaan bea masuk yang rendah, korupsi, kolusi dan sebagainya. Dari berbagai pengalaman di dunia, otomatisasi ini harus dibarengi dengan penyederhanaan, perampingan serta manajemen yang tepat, sehingga perlu ada re-engineering seluruh prosedur kepelabuhanan termasuk di dalamnya sistem kepabeanan.

Prosedur bongkar muat pelabuhan yang perlu di”bongkar”