Redenominasi Rupiah merupakan perubahan jumlah nol dalam mata uang rupiah hal ini dilakukan untuk mengangkat kembali martabat rupiah. Namun banyak kalangan berpendapat pro dan kontra dengan rencana itu, kebijakan itu dikhawatirkan menimbulkan spekulasi naiknya harga-harga.
Latar Belakang
Uang pada dasarnya merupakan alat tukar dimana merupakan instrumen transaksi perekonomian yang membantu pemerintah dalam mengatur ekonomi makro. Namun uang dalam arti lebih luas tidak hanya sebagai sarana transaksi ekonomi, tetapi merupakan identitas warga dan merupakan legitimasi pemerintah nasional. Pandangan ini berasal dari analisis bahwa uang merupakan fenomena sosial. Transaksi antara individu dapat terjadi tanpa uang, namun dengan uang memungkinkan individu untuk menghitung nilai transaksi, dan melakukan transaksi yang senilai. Selain itu, transaksi moneter membantu menciptakan komunitas, mata uang menarik orang untuk bersama-sama menggunakan mata uang yang sama dan beranggapan orang lain menerima mata uang tersebut. Sehingga uang berberfungsi sebagai sarana untuk menciptakan atau memperkuat identitas politik (Helleiner 2003, McNamara 2005). Sejalan dengan hal ini, tujuan utama dari mata uang secara teritorial pada abad kesembilan belas adalah membangun bangsa, sebagai suatu kesatuan komunitas ekonomi dan politik (Cohen 2004, hal. 5).
Efek psikologis menciptakan rasa identitas adalah alasan paling umum dalam sebuah negara yang melakukan redenominasi mata uang. Efek psikologis masyarakat bahwa merasa akan lebih baik apabila mata uang lokalnya diredenominasi. Dengan demikian, dari perspektif fenomena sosial uang berfungsi sebagai sarana menciptakan dan perekat identitas politik, yang akan menimbulkan kepuasan psikologis. Aspek simbolis jika masyarakat tidak percaya akan mata uangnya, misalnya, mereka lebih suka memegang dolar daripada rupiah, maka mata rupiah jatuh sehingga kepercayaan terhadap rupiah melemah, sehingga yang terjadi adalah substitusi mata uang asing.
Jika kekhawatiran tentang dimensi simbolik tersebut akurat, yang terjadi masyarakat mulai lebih percaya dolar ketimbang mata uang lokal, substitusi mata uang cenderung didorong setidaknya pada awalnya oleh inflasi yang tinggi (Feige et al, 2002, Leijonhufvud 2000). Substitusi mata uang semakin terus meluas seiring semakin ketatnya persaingan globalisasi keuangan. Globalisasi keuangan menempatkan mata uang nasional berkompetisi langsung dengan mata uang negara lain, dan keterbukaan keuangan memungkinkan masyarakat lebih mudah memperoleh mata uang substitusi (Balino et al, 1999, Cohen 1999, 2004). Sebuah studi pada pertengahan 1990-an, mata uang asing menyumbang 20 persen atau lebih dari persediaan uang lokal di lebih dari tiga puluh negara, studi lain menyebutkan 18 negara dimana mata uang asing meliputi 30 persen dari uang yang beredar (Krueger dan Ha 1996; Balino et al, dikutip dalam Cohen 2004, hal 13-14).
Argumen Redenominasi
Ada banyak alasan mengapa sebuah negara akan memutuskan untuk meredenominasi Mata uang mulai dari kredibilitas dan identitas untuk domestik dan politik internasional (IMF, 2003; Mosley, 2005; Martinez, 2007). Dari studi literatur, latar belakang keputusan dilakukannya redenominasi yakni terkait. kredibilitas, lokal dan global. Pemerintah ingin membangun kredibilitas mereka khususnya, dalam membangun komitmen untuk kebijakan inflasi rendah, untuk warga negara mereka sendiri, serta pasar modal internasional (Maxfield 1997). Sebagai bagian dari upaya untuk membangun komitmen yang kredibel, pemerintah dalam beberapa tahun terakhir telah meningkatkan independensi bank sentral mereka dan telah membuat komitmen eksplisit untuk target makroekonomi (misalnya Bernhard et al, 2002). Pada negara-negara yang akan bergabung dengan mata uang regional (misalnya EMU), maka komitmen mereka sangat penting untuk meyakinkan pasar internasional. Misalnya, Bank Sentral Romania melakukan redenominasi sebagai tanda bahwa hari-hari hiper-inflasi berakhir dan menggunakan mata uang baru. Romania telah menetapkan tujuan untuk bergabung dengan EMU tahun 2012, dan mata uang 29.890 terhadap dolar dipandang sebagai penghalang untuk melakukannya. Redenominasi bagi Indonesia juga akan mendukung kesetaraan ekonomi dengan kawasan lain dalam era Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Saat ini, denominasi rupiah sangat tinggi bila dibandingkan negara ASEAN lainnya.
Sejalan dengan hal ini, Turki memiliki dua argumen utama. Pertama adalah soal teknis, banyaknya nol maka statistik dan transaksi menjadi lebih kompleks. Kedua adalah tentang kredibilitas bahwa keberadaan 20.000.000 lira uang kertas, memiliki efek negatif pada kredibilitas mata uangnya. Penghapusan nol adalah alat untuk mengembalikan kredibilitas. Memang, pada tahun 2004 adalah tahun pertama inflasi satu digit di Turki sejak tahun 1972, membuat 2005 waktu tepat untuk memperkuat komitmen terhadap inflasi yang rendah. Demikian pula, pada Agustus 1997, pemerintah Rusia mengumumkan bahwa rubel akan redenominasi per 1 Januari 1998, dengan tiga angka nol dihapus dari mata uang. Hal ini dimaksudkan untuk meyakinkan masyarakat bahwa krisis ekonomi Rusia berakhir, Inflasi menurun, jatuh dari 875% pada tahun 1993, menjadi 200% pada tahun 1995 dan selanjutnya, sampai 15%, pada tahun 1997 (Washington Post, Januari 3, 1998).
Redenominasi dapat digunakan secara langsung dalam proses stabilisasi, hal ini merupakan upaya untuk mengubah ekspektasi inflasi masyarakat. Misalnya, reformasi mata uang Israel dilakukan pada September 1985, dengan penciptaan uang baru dibagi dengan 1.000 syikal. Pada saat itu Israel berada di tengah-tengah program stabilisasi ekonomi, dimana pada Agustus 1985 inflasi masih pada tingkat tahunan sebesar 386 persen (Bank Sentral Republik Turki 2004a). Demikian pula, pada bulan Desember 1993, Bank Nasional Yugoslavia memangkas sembilan nol dari dinar, berharap untuk memadamkan hiperinflasi (Financial Times, 30 Desember 1993).
Redenominasi memiliki dampak pada harapan masyarakat, ketika harga mahal dengan banyaknya nilai nol, konsumen dan perusahaan terus-menerus diingatkan bahwa harga meningkat secara dramatis di masa lalu, dan mereka terus menduga bahwa kenaikan tersebut akan terjadi lagi di masa depan. Ketika uang yang beredar jumlah nol nya kecil, warga negara lebih percaya diri bahwa kembali ke inflasi yang tinggi tidak mungkin, sehingga semacam ilusi uang yakni masalah nol, yang mendorong ekspektasi inflasi.
Secara khusus, tekanan inflasi, efek psikologis, kontrol mata uang substitusi dan politik dalam negeri diidentifikasi sebagai alasan utama redenominasi (Cohen, 2004; Mosley, 2005; Tarhan, 2006; Timbal Capital Limited, 2007). Redenominasi mata uang biasanya dilakukan pada saat negara mengalami tekanan hiper-inflasi yang memiliki efek membuat mata uang lokal tidak menarik.
Pemerintah menerapkan strategi redenominasi dalam rangka meningkatkan kedaulatan moneter mereka dan kontrol kecenderungan melakukan substitusi mata uang. Jika orang tidak menghargai mata uang lokal mereka, mereka mulai menggunakan mata uang asing, terutama mereka dengan prestise yang lebih besar. Aluko (2007) memberikan daftar banyak Negara-negara Afrika dan non-Afrika yang warganya nyaris kehilangan kepercayaan pada mata uangnya sendiri.
Alasan lain untuk redenominasi, meskipun tidak sering dikutip adalah masalah politik. Mosley (2005) berpendapat bahwa penggunaan redenominasi sebagai sarana meningkatkan kredibilitas berakar pada politik dalam negeri. Menurut dia, pemerintah mungkin ingin menjaga inflasi yang rendah karena mereka ingin untuk dihargai oleh para pemilih, selama pemilu, untuk kinerja ekonomi; terkesan pasar internasional yang memungkinkan mereka meminjam lebih murah dan menarik investasi asing yang pada gilirannya akan memfasilitasi pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi domestik.
Di sisi lain, jika redenominasi dikelola dengan baik dapat meningkatkan capital inflow. Investor asing bisa mulai lebih percaya diri pada iklim investasi dan mendorong untuk memasukan uang ke pasar modal lebih banyak (Dengan asumsi tingkat inflasi menurun dan perekonomian makro membaik). Namun ini adalah efek jangka panjang dan tergantung kemampuan pemerintah mengkonsolidasikan strategi reformasi kebijakan yang ada.
Resiko
Ada beberapa resiko kebijakan redenominasi menurut Tarhan (2006) yakni efek inflasi dari pembulatan harga, menu dan biaya administrasi, yang meliputi perubahan label harga, mengubah hukum/peraturan, biaya pencetakan catatan baru dan mencetak uang logam baru, biaya membuang catatan lama dan koin/mata uang lama, biaya pendidikan dan iklan untuk disosialisasikan ke masyarakat khususnya di daerah pedesaan di akses saluran informasinya kurang, mengubah software dan neraca/catatan akuntansi, efek psikologis merasa tingkat pendapatannya menjadi yang lebih rendah, dan biaya ekstra untuk perekonomian jika beberapa angka nol hilang kembali ke akibat inflasi. Terutama soal efek psikologis pelaku usaha dan masyarakat yang membulatkan harga dengan menggampangkan transaksi keuangan. Penghapusan tiga nol membuat masyarakat merasa nilai uang lebih kecil, apalagi karena selama ini terbiasa membawa uang pecahan besar sampai ratusan ribu. Bila harga produk dibulatkan ke atas oleh pelaku usaha dengan alasan agar lebih memudahkan hitungan, efeknya bisa berujung pada inflasi. Hitungan yang biasanya besar harus dibiasakan dengan hitungan kecil, masyarakat akan mengiranya cuma Rp 1. Oleh karena itu perlu pengendalian, jangan sampai harga barang Rp 11 sekian oleh pelaku usaha kemudian dinaikkan menjadi Rp 12, padahal selisihnya besar kalau semua melakukan pembulatan maka akan menjadi berpotensi inflasi. Selain itu, resiko redenominasi lain adalah jika jumlah uang pecahan lama dengan pecahan baru hasil penyederhanaan tidak seimbang. Bila jumlah uang baru masih sedikit, masyarakat dapat dilanda kepanikan karena sulit menukarkan uang.
Ishiekwene (2007) menambah daftar ketidakpastian dan ketidakstabilan dalam kebijakan ekonomi negara berkembang yang dapat menyebabkan peningkatan spekulasi, pelarian, penurunan pengiriman uang asing, peningkatan penghindaran risiko, penerapan “wait and see” oleh investor. Beberapa biaya tidak langsung berhubungan dengan mata uang baru. misalnya, mata uang tidak layak harus ditarik dari peredaran dan diisi ulang dengan uang dicetak baru atau sistem teknologi informasi harus diperbarui secara teratur.
Studi empiris pada hasil redenominasi mata uang khususnya di Amerika Latin menunjukan reformasi ekonomi yang tidak efektif, redenominasi bukan obat mujarab untuk masalah ekonomi (Araki, 2001; Caballero, 2002; IMF, 2003; Calomiris 2006). Ini menunjukkan mengapa redenominasi dilaksanakan pada tahap terakhir paket stabilisasi ekonomi atau reformasi. Menurut Ishiekwene (2007), sejarah menunjukkan redenominasi sukses dalam lingkungan makroekonomi yang stabil, penurunan inflasi, nilai tukar yang stabil, pengendalian fiskal yang hati-hati serta kebijakan yang kredibel.
Mosley (2005) menunjukan di negara-negara seperti Angola, Argentina, Azerbaijan dan Republik Demokratik Kongo redenominasi digunakan untuk mengatasi tingkat hiper-inflasi namun inflasi tetap bertahan tinggi meski telah dilakukan redenominasi. Pada saat redenominasi, tingkat inflasi 2672% (1995), 672% (1985), 912% (1992) dan 1987% (1993), tetapi kemudian meningkat ke 4145% (1996), 3080% (1987 -1989), 1.129% (1993) dan masing-masing 2.377% (1994). Selanjutnya, Mata uang Argentina adalah 1100 ke dolar pada tahun 1962 dan 3500 pada tahun 1969, dan pada tahun 1980 dan 1982, setelah redenominasi pada tahun 1970 itu adalah 18.000 dan 180.000 masing-masing. Juga, terjadi di Azerbaijan dari 0,06 sen dolar AS ke manat pada tahun 1994 sebelum redenominasi menjadi 0,02 persen pada tahun 2003 setelah redenominasi.
Mosley (2005) mengutip sejumlah penelitian yang dilakukan di tingkat lokal dan antar negara menunjukkan bahwa redenominasi adalah murni teknis, tampaknya dampak yang kecil, di luar biaya mencetak uang baru dan iklan perubahan bagi masyarakat dan pasar keuangan.
Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa redenominasi bukan pendekatan yang bekerja sendiri terisolasi dari sektor produktif riil perekonomian. Studi empiris Caballero (2002), IMF (2003) dan Calomiris (2006) mengungkapkan bahwa tidak ada teori redenominasi mata uang yang dapat mengubah perekonomian di mana pengangguran terus berlanjut, nilai mata uang mengalami penurunan, impor melebihi ekspor, industri lokal yang terpuruk, dan biaya produksi yang mahal. Studi tentang kinerja dan efektivitas redenominasi mata uang masih belum meyakinkan.
Pengalaman Berbagai Negara
Setiap negara berhak dalam menentukan proses redenominasi mata uang mereka sendiri. Antara tahun 1960 dan 2003, di negara berkembang serta negara-negara yang mengalami transisi ekonomi terdapat 60 kasus redenominasi mata uang (Mosely, 2005). Pada 14 kasus redenominasi mata uang, ada yang hanya menghapus satu nol-nya saja, sembilan kasus menghapus enam nol. Beberapa kasus redenominasi menghapus tiga angka nol, seperti yang rencana pemerintah saat ini lakukan.
Sedangkan dari sisi frekuensi dilakukannya redenominasi, sembilan belas negara telah melakukan redenominasi sebanyak satu kali, sementara sepuluh negara telah melakukan dua kali redenominasi, bahkan ada yang melakukan redenominasi setelah bertahun-tahun baru melakukan redenominasi, seperti di Bolivia, pada tahun 1963 dan 1987, di Peru pada tahun 1985 dan 1991. Sedangkan negara-negara yang sering melakukan redenominasi adalah Argentina (4), bekas Yugoslavia/Serbia (5), dan Brazil (6) (Mosley, 2005; Martinez, 2007). Menurut Tarhan (2006), Brasil meredenominasi 18 nol selama 6 kali (1967/70/86/89/93/94), Argentina 13 nol selama 4 kali (1970/83/85/92), Israel 9 nol dalam 4 kali (1980/85), Bolivia 9 nol dalam 2 kali (1963/87), Peru 6 nol selama 2 kali (1985/91), Ukraina 5 angka nol dalam 1 kali (1996), Polandia 4 nol dalam 1 kali (1995), Meksiko 3 angka nol dalam 1 kali (1993), Rusia 3 nol dalam 3 kali (1947/61/98), dan Islandia 2 nol dalam 1 kali (1981).
Adapun jangka waktu yang diperlukan untuk kebijakan redenominasi, Uni Soviet pada tahun 1991 dan Nikaragua pada tahun 1988 hanya memberikan waktu tiga hari bagi warganya untuk swap mata uang lama dengan mata uang yang baru (Mosely, 2005). Sedangkan Laos menerapkannya dalam satu hari pada tahun 1976. Apabila terlalu cepat jangka waktu pelaksanaan maka sangat mungkin tidak semua mata uang lama akan ditukar. Terlau pendeknya jangka waktu pelaksanaan redenominasi bisa menimbulkan kekacauan tersendiri.
Momentum pelaksanaan redenominasi biasanya dilakukan pada akhir program stabilisasi perekonomian, sebagai sinyal kepada masyarakat dan kalangan usaha bahwa inflasi tinggi sudah berakhir. Redenominasi merupakan tanda bahwa Inflasi telah dijinakkan dan penghapusan nol berfungsi untuk mengingatkan warga dan investor akan keberhasilan pemerintah dalam mengurangi inflasi atau untuk menghapus sejarah inflasi masa lalu. Dibuatnya mata uang baru merupakan bagian dari program stabilisasi perekonomian, bukan penyebab terjadinya ketidakstabilan.
Tarhan (2006) mengutip sebuah kasus yang hiper-inflasi di Turki di mana sebotol air minum harganya mencapai 300.000 TL, harga tiket film 7.500.000 TL, Toyota Corolla: 32.900.000.000 TL (32 miliar), dan PDB pada tahun 2002: 273.463.167.795.000.000 TL (273 quadrillion) sehingga redenominasi dilakukan dengan menghilangkan enam angka nol. Pada tanggal 1 Januari 2005, Turki memangkas enam nol mata uangnya. Satu juta lira Turki lama dikonversi ke satu lira Turki baru. Sebelum dilakukan redenominasi di Turki, 1 setara 1,8 juta lira Turki. Setelah redenominasi itu, 1 setara 1,8 lira Turki baru.
Aluko (2007) mengutip contoh dari Zimbabwe yang mengalami inflasi 1.200% per tahun. Redenominasi untuk mengatasi hiper-inflasi dilakukan setelah negara mereformasi kebijakan moneter dan fiskal guna tercapai stabilitas makroekonomi. Pada bulan Juli 2008, Zimbabwe memangkas sepuluh nol mata uangnya. Pada saat redenominasi Zimbabwe mata uangnya diperdagangkan 110 miliar Zimbabwe setara dengan satu dolar AS. Ketika dilakukan redenominasi mata uang maka neraca hutang, dan portofolio keuangan dilakukan penyesuaian.
Namun, beberapa negara sangat berhati-hati mempertimbangkan redenominasi (Ishiekwene, 2007). Misalnya, Won Korea Selatan satu dolar adalah 932, Forint Hungaria adalah 216 dan yen Jepang adalah 117, namun negara-negara ini menganggap tidak tepat untuk meredenominasi mata uang mereka (Araki, 2001; Mosley, 2005). Jepang telah membahas perdebatan isu redenominasi untuk mata uang yen. Pada tahun 2008, yen diperdagangkan sekitar 110 yen per satu dolar AS. Adanya mata uang Euro mendorong kekhawatiran jepang atas mata uang yen sebagai mata uang internasional yang kemungkinan terpukul karena adanya kompetisi mata uang baru. Perekonomian Jepang yang melambat pada tahun 1990-an mendorong pembuat kebijakan Jepang mempertimbangkan untuk melakukan redenominasi. Pada tahun 1999, Partai Demokratik Liberal membentuk sebuah komite untuk mengevaluasi ide menghapus dua nol dari yen.
Di negara-negara dimana telah terjadi hiperinflasi, adalah suatu upaya perjuangan yang berat untuk memperoleh kembali kepercayaan pasar internasional dan dukungan masyarakat. Cara memulihkan kepercayaan adalah melalui program stabilisasi, dengan meningkatkan kemandirian operasional bank sentral, dan menghapus kebijakan ekonomi distortif. Penggunaan redenominasi sebagai sarana meningkatkan kredibilitas bersumber pada politik dalam negeri. Pemerintah ingin menjaga inflasi rendah karena ingin dihargai oleh masyarakat atas kinerja di bidang ekonomi, dan inflasi rendah membantu perekonomian. Pemerintah ingin memberi kesan positif pada pasar internasional, karena hal ini memungkinkan mereka untuk memperoleh pinjaman luar negeri lebih murah dan untuk menarik investasi asing, yang pada gilirannya mendorong pertumbuhan ekonomi domestik.
Pengalaman Indonesia
Redenominasi, penurunan atau penambahan nol, tidak sama seperti revaluasi dan devaluasi, tidak ada perubahan nilai mata uang atau nilai pembeliannya tetap sama. Revaluasi mata uang adalah peningkatan nilai dari mata uang lain dibawah sistem kurs tetap, Devaluasi, kebalikan dari revaluasi adalah penurunan nilai mata uang mata uang lainnya dibawah sistem nilai tukar tetap (CBN, 2007; Ojameruaye, 2007).
Sanering
Redenominasi bukan sanering. sanering berasal dari bahasa Belanda pemotongan nilai mata uang sekaligus nilai tukarnya. Pengalaman Indonesia pada tahun 1950, Menteri Keuangan Syafrudin Prawiranegara melakukan pemotongan mata uang rupiah atau sanering untuk mengerem inflasi. Kebijakan yang dikenal dengan Gunting Syafrudin ini justru membuat harga-harga kian meroket.
Kebijakan ini dilakukan kembali oleh pemerintah pada tahun 1959, Presiden Soekarno pun memerintahkan Menteri Keuangan yang dirangkap oleh Menteri Pertama Djuanda 24 Agustus 1959 menurunkan nilai mata uang Rp 10.000 yang bergambar gajah dan Rp 5.000 yang bergambar macan, diturunkan nilainya hanya jadi Rp 100 dan Rp 50. Tak hanya itu. Simpanan giro dan deposito milik masyarakat dibekukan dan kemudian diubah menjadi simpanan berjangka. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pun didevaluasi 74,5%. Pemerintah melakukan sanering uang dengan menurunkan nilai uang pecahan Rp500 dan Rp 1.000 menjadi Rp50 dan Rp100. Langkah ini dilakukan untuk menangani laju inflasi yang terus berlangsung hingga awal 1960-an. Indonesia melakukannya ketika terjadi hiper inflasi dan mata uang pada saat itu dipatok terhadap mata uang asing. Karena nilai rupiah tidak mencerminkan nilai tukar riilnya lagi, maka sanering adalah pilihan pahit yang harus dilakukan pemerintah pada saat itu.
Sanering membuat trauma bagi masyarakat Indonesia yang pernah mengalaminya. Ketika kondisi politik tanah air yang sangat tidak stabil, lalu harga-harga naik tinggi karena hiper inflasi, dan uang yang beredar di masyarakat tiba-tiba berkurang nilainya. Akibat kebijakan itu, kekayaan rakyat yang dikumpulkan bertahun-tahun berkurang nilainya secara drastis. Sementara masalah perekonomian masih belum membaik. Demikian pula posisi rupiah terhadap mata uang asing semakin terpuruk. Anehnya, pemerintah Soekarno justru kembali melakukan sanering ketiga pada 13 Desember 1965. Uang lama Rp 1.000 diganti uang nilai baru Rp 1.Kebijakan itu membuat perekonomian Indonesia semakin terpuruk. Harga barang-barang terus meningkat, bahkan inflasi sempat mencapai 594%. Pada tahun 1966, ketika inflasi mencapai 635,5%, masyarakat semakin menderita karena pendapatan mereka yang hanya US$ 80 per tahun habis oleh inflasi. Buruknya kinerja perekonomian ini menjadi pendorong kejatuhan pemerintah Orde Lama.
Devaluasi
Di masa pemerintahan Orde Baru, kebijakan sanering tak lagi dipergunakan. Namun di bawah Presiden Soeharto, rupiah beberapa kali didevaluasi. Devaluasi adalah penyesuaian nilai mata uang dalam negeri dengan menurunkan nilainya terhadap mata uang asing atau acuan, misalnya rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Indonesia sudah berpengalaman ketika Pemerintahan Orde Baru yang menerapkan kurs tetap. Devaluasi dilakukan karena kurs yang dipakai sudah tidak mencerminkan nilai tukar riil uang itu sendiri, sehingga ketika nilainya dipatok pada angka tertentu maka bank sentral sewaktu-waktu harus menyesuaikan dengan nilai tukar riilnya.
Pada saat Amerika harus menghentikan pertukaran dollar dengan emas. Presiden Nixon khawatir dengan terkurasnya cadangan emas jika dollar dibolehkan terus ditukar emas, dimana 1 troy onz emas = US$ 34.00. Maka untuk menjaga cadangan emas, pemerintah AS menghapuskan sistem penilaian dollar yang dikaitkan dengan emas. Indonesia terkena imbasnya dari dampak kebijakan tersebut sehingga pada tanggal 21 Agustus 1971 dibawah Menkeu Ali Wardhana. pemerintah mendevaluasi Rupiah dari Rp. 378 menjadi Rp. 415 per 1 US$, kurs rupiah dipotong 10%.
Pada tahun 1973, Indonesia mendapat penerimaan kenaikan harga minyak akibat Perang Arab – Israel, namun sayangnya kenaikan pendapatan ini tidak menimbulkan pertumbuhan ekonomi (dutch disease) bahkan Pertamina justru nyaris bangkrut dengan utang US$ 10 milyar. Tetap tidak bisa dihindari kebijakan devaluasi dilakukan oleh Menkeu Ali Wardana pada 15 November 1978 dari Rp. 415 menjadi Rp. 625 per 1 US$.
Pada tanggal 30 Maret 1983, Menkeu Radius Prawiro mendevaluasi rupiah 48% jadi hampir sama dengan menggunting nilai separuh. Kurs 1 dolar AS naik dari Rp 702,50 menjadi Rp 970. Kebijakan ini dilakukan kembali oleh menteri yang sama, pada 12 September 1986, pemerintah kembali mendevaluasi rupiah sebesar 47%, dari Rp 1.134 ke Rp 1.664 per 1 dolar AS.
Ketika krisis moneter melanda Indonesia, 1997, pemerintah justru membiarkan rupiah mengambang bebas. Nilai rupiah pun terpuruk. Apalagi setelah BI mencetak uang pecahan Rp 50.000. Puncaknya terjadi April 1998, ketika itu nilai rupiah jatuh menjadi Rp 17.200 per dolar. Krisis moneter ini membuat jatuhnya pemerintah Orde Baru.
Setelah reformasi nilai tukar rupiah relatif stabil. Namun kredibilitasnya telah jatuh terhadap sejumlah mata uang asing, terutama terhadap dolar AS. Saat ini dollar sudah mencapai Rp.10.100, oleh karena rencana redenominasi perlu dilakukan secara hati-hati. Meski redenominasi berbeda dengan devaluasi ataupun sanering. Faktor-faktor di luar ekonomi seperti sosial, politik, dan tentu saja psikologi masyarakat menjadi pertimbangan dalam melaksanakan kebijakan redenominasi.