Konsistensi pada sebuah Roadmap – Walk the Talk

Membaca berita detik hari ini Jakarta – Produksi dan penjualan mobil di Indonesia tahun ini ditargetkan mencapai 1,2 juta unit. Namun sejatinya penjualan mobil bisa mencapai 4,8 juta unit per tahun.

Jelas kata sejatinya tersebut tidak sinergis dengan roadmap yang selama ini sudah dirancang. Sulit untuk menilai konsistensi pada suatu Peta Panduan Pengembangan Klaster Industri Kendaraan Bermotor Tahun 2010-2014, selanjutnya disebut Roadmap. Roadmap ini adalah dokumen perencanaan nasional yang memuat sasaran, strategi dan kebijakan serta program/rencana aksi pengembangan klaster industri kendaraan bermotor untuk periode lima tahun.

Adalah hal yang selalu jadi pedoman operasional Aparatur Pemerintah dalam rangka menunjang secara komplementer dan sinergi untuk suksesnya pelaksanaan program pengembangan industri sesuai dengan bidang tugasnya. Demikian pula menjadi pedoman bagi Pelaku klaster Industri Kendaraan Bermotor, baik pengusaha maupun institusi lainnya, khususnya yang memiliki kegiatan usaha di sektor Industri Kendaraan Bermotor ataupun sektor lain yang terkait. Selain itupula menjadi Pedoman koordinasi perencanaan kegiatan antar sektor, antar instansi terkait di Pusat dan Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota).

Roadmap ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian RI Nomor : 123/M-IND/PER/10/2009 Tentang Peta Panduan (ROAD MAP) Pengembangan Klaster Industri Kendaraan Bermotor. Sudah jelas dinyatakan dalam lampiran peraturan tersebut mengenai target-target jumlah produksi yang dihasilkan. Target produksi 2013 adalah 1,2 juta sedangkan angka produksi 4,1 juta adalah target produksi s.d. tahun 2025.

Lantas kalau di suatu periode menyimpang dari roadmap apakah ada sanksi/teguran? Ternyata tidak, jadi apa gunanya suatu roadmap yang dibuat? Seharusnya rencana aksi yang kita lakukan adalah bagian dari suatu roadmap Indonesia yang lebih besar. Entahlah kalau tiap tahun kita selalu berubah.

Konsistensi pada sebuah Roadmap – Walk the Talk

Roadmap Industri Mobil (LCGC): Antara Target, Realisasi & Solusi

Beberapa hari ini sangat menarik mencermati komentar Jokowi mengenai LCGC Low Cost Green Car. Penerapan insentif mobil ini akan berdampak pada macetnya jalan di Ibu kota. Di sisi lain Kementrian Perindustrian menyatakan bahwa mobil ini tidak hanya dijual di Jakarta saja, namun di kota-kota lain terutama di daerah daerah dan diharapkan harganya terjangkau masyarakat.

Ada beberapa hal yang perlu dicermati dari permasalahan ini, pertama mengacu ke roadmap industri alat angkut nasional seperti apa, kemudian mengenai insentif. Memang benar di dalam rencana jangka menengah industri alat angkut nasional akan mengarah pada produksi SUV dan sedan kecil ramah lingkungan.

0394e8eb1873252b752ae8fca4652bd4_industri

Namun, roadmap industri industri alat angkut seyogyanya bersinergi dengan roadmap infra struktur pembangunan jalan. Tidak bisa suatu roadmap berdiri sendiri, suatu industri mobil produksi terus namun daya tampung jalan yang sudah penuh terjejali kendaraan bermotor.

Kalau dilihat dari target produksi jumlah mobil dalam roadmap tahun 2013 adalah sebesar 1000.000 unit. Namun demikian kondisi pada tahun 2013 produksi mobil akan mencapai 1,29 juta unit, dan yang diekspor 90.000 unit. Jadi di dalam negeri akan ada 1,2 juta unit, bertambah dari perkiraan awal 1,1 juta unit (http://www.tempo.co/read/news/2013/05/28…). Coba bandingkan dengan sasaran kuantitatif roadmap industri alat angkut di bawah ini.

Sasaran kuantitatif kendaraan Bermotor Jangka Menengah

6769d7b82a55e43ec07120d71973964d_roadmap

Dorongan produksi roda empat akan bergulir lebih cepat apabila diiringi insentif. Insentif fiskal ini sudah digulirkan melalui PMK 76/PMK. 011/2012 mengenai pembebasan bea masuk atas impor mesin serta barang dan bahan untuk pembangunan atau pengembangan industri dalam rangka penanaman modal. Kebijakan ini dilakukan dengan tujuan mendukung pengembangan industri perakitan otomotif di Indonesia. Namun demikian pembebasan bea masuk dalam rangka penanaman modal dirasa masih kurang efektif, sehingga ditambah lagi dengan insentif lain melalui PPnBM (PP 41/2013). Dalam pasal 3 ayat 1 huruf c PP tersebut disebutkan:
0% (nol persen) dari Harga Jual untuk kendaraan bermotor yang termasuk program mobil hemat energi dan harga terjangkau, selain sedan atau station wagon, dengan persyaratan sebagai berikut:
1. motor bakar cetus api dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1.200 cc dan konsumsi bahan bakar minyak paling sedikit 20 kilometer per liter atau bahan
2. bakar lain yang setara dengan itu; atau motor nyala kompresi (diesel atau semi diesel) dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1.500 cc dan konsumsi bahan bakar minyak paling sedikit 20 kilometer per liter atau bahan bakar lain yang setara dengan itu.

Kendaraan bermotor pada dasarnya dikenakan PPnBM 10-75%, dengan dikenakan PPnBM sebesar 0% maka akan ada disparitas harga sehingga menjadi insentif bagi mobil hemat energi dan harga terjangkau akan menjadi lebih murah dibandingkan kendaraan bermotor lainnya yang masih terkena PPnBM. Sehingga wajar saja di pasar harga mobil ini bisa mencapai Rp. 106 juta sampai Rp. 117 juta, karena selisih beda tarif pajaknya. Kemungkinan skenario ke depan akan semakin banyak lagi mobil yang diproduksi karena insentif PPnBM ini.

Oleh karena itu menurut hemat saya, karena produksi roda 4 sudah melebihi target produksi dalam roadmap industri alat angkut, seyogyanya insentif ini perlu dikaji kembali dan ditujukan bukan untuk mobil yang nyata-nyata sudah ditargetkan harganya murah. Sesuai hukum permintaan pasar ketika harga murah otomatis demandnya akan meningkat. Ketika industri bermotor diberi insentif maka subsidi bagi transportasi umum mestinya lebih tinggi lagi dan perlu ditambah serta dimaksudkan mengarahkan masyarakat agar memakai fasilitas transportasi umum bukan malah sebaliknya beralih ke kendaraan pribadi, yang berdampak pada kemacetan jalan. Adapun insentif kendaraan bermotor ke depan seyogyanya diarahkan ke mobil-mobil nasional seperti Esemka untuk melanjutkan kemandirian bangsa, dimana produksinya masih kecil masih jauh untuk menimbulkan kemacetan. Di negara-negara seperti Korea atau Jepang jalan-jalan di sana dipenuhi oleh produk mereka sendiri, bagaimana dengan kita?

Tawaran pak Jokowi mensiasati potensi meningkatnya mobil adalah melalui ERP (Electronic Road Pricing), ERP adalah pungutan untuk jalan di tempat-tempat tertentu dengan cara membayar secara elektronik. Setiap kali pengguna kendaraan melewati jalan tertentu maka mereka harus membayar. Namun nampaknya ide ini akan melalui proses panjang untuk dapat diimplementasikan, karena landasan hukum ERP belum ada. Dalam pembuatan peraturan daerah mengenai pungutan apapun harus mengacu pada UU PDRD. Pembahasan ERP pernah diusulkan dalam pembahasan UU PDRD namun usulan ERP kala itu kandas tidak disetujui DPR.

Roadmap Industri Mobil (LCGC): Antara Target, Realisasi & Solusi

Optimis Indonesia Makin Kompetitif

Meski saat ini rupiah bergejolak namun indeks kompetitif kita semakin meningkat. Hal ini merupakan laporan dari Global Competitiveness Report 2012-2013, World Economic Forum. Ada 12 pilar kompetitif tersebut yakni (1)Institusi (2)Infrastruktur (3)makroekonomi (4)kesehatan dan pendidikan dasar (5)pendidikan tinggi dan training (6)efisiensi pasar yang bagus (7)efisiensi tenaga kerja (8)pembangunan pasar keuangan (9)kesiapan teknologi (10)ukuran pasar (11)kecanggihan bisnis (12)Inovasi.

Indonesia turun empat posisi di tahun ini, namun tetap mempertahankan skor dan tetap di atas 50 GCI. Negara ini tetap menjadi salah satu pemain terbaik di kawasan berkembang Asia, di belakang Malaysia, China, dan Thailand tetapi di atas Filipina, Vietnam, dan semua negara-negara Asia Selatan. Beberapa kekurangan terbesar ditemukan dalam daya saing. Kerangka kelembagaan (72) nilainya rendah oleh kekhawatiran tentang korupsi dan suap, perilaku tidak etis dalam sektor swasta, dan biaya untuk kejahatan bisnis dan kekerasan. Namun birokrasi kurang memberatkan dan belanja publik kurang boros daripada di kebanyakan negara di wilayah tersebut, dan situasi ini terus membaik.

Infrastruktur sebagian besar masih terbelakang (78). Selain itu, kondisi kesehatan masyarakat merupakan penyebab perlu lebih perhatian (103). Sebaliknya, Indonesia menyediakan pendidikan dasar hampir universal memuaskan kualitas (ke-51) dan lingkungan ekonomi makro stabil, dilihat dari peringkat ke-25 negara . Stabilitas makroekonomi didukung oleh solid
kinerja pada indikator fundamental: anggaran defisit disimpan di bawah 2 persen dari PDB, rasio utang masyarakat terhadap PDB berjumlah hanya 25 persen, dan tingkat tabungan tetap tinggi. Inflasi berkurang menjadi sekitar 5 persen dalam beberapa tahun terakhir. 

Perkembangan positif tercermin dalam meningkatkan (meskipun masih rendah) peringkat kredit negara, karena negara telah memasuki tahap pembangunan yang efisien, daya saing
semakin tergantung pada unsur-unsur yang lebih kompleks, yang harus ditangani secara prioritas. Dalam konteks ini, mengatasi banyak kekakuan (134) dan inefisiensi pasar tenaga kerja (70) untuk transisi dari angkatan kerja ke sektor-sektor yang lebih ekoonomi produktif. Peningkatan produktivitas tambahan melalui peningkatan kesiapan teknologi (85).

Optimis Indonesia Makin Kompetitif