Upaya Optimalisasi Penerimaan Cukai Produk Hasil Tembakau

*Opini pribadi ditulis dalam WARTA FISKAL | EDISI #2 /2013

Pada tahun 1776, Adam Smith dalam bukunya yang berjudul An Inquiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nations menyebutkan bahwa “Gula, rum, dan tembakau adalah komoditas yang bukan merupakan kebutuhan hidup, sehingga menjadi objek konsumsi yang hampir universal, oleh karena itu sangat tepat apabila dikenakan pajak …….. Pada dua abad berikutnya, Frank Ramsey (1927) dalam kontribusi teorinya terkait dengan penerimaan yang optimal, policy maker disarankan mengenakan pajak lebih besar terhadap komoditas yang permintaannya inelastis. Inelastis hal ini berarti kenaikan harga sedikit direspon dengan pengurangan permintaan. Upaya Ramsey memiliki dampak yang mendalam pada teori pajak serta bidang lain seperti harga dan barang publik. Mengingat karakteristik permintaan rokok cenderung adiktif sehingga permintaanya inelastis, maka pengenaan cukai sangat tepat dikenakan untuk komoditas ini.

Selain itupula konsumsi produk hasil tembakau banyak mengandung eksternalitas negatif, oleh karena itu menurut Alfred C. Pigou (1920) cukai dapat digunakan sebagai instrumen fiskal untuk memperbaiki inefisiensi dalam alokasi sumber daya kompetitif. Eksternalitas merupakan biaya yang dibebankan atau manfaat yang diberikan pada orang lain dimana tidak diperhitungkan oleh orang yang mengambil tindakan. Pigou berargumen bahwa keberadaan eksternalitas ini yang menjadi pembenaran intervensi pemerintah.

Di banyak negara, peningkatan cukai dan harga produk hasil tembakau telah terbukti menjadi instrumen fiskal yang paling efektif dan hemat biaya dalam rangka mengurangi konsumsi tembakau, khususnya untuk mencegah anak remaja dan miskin agar mengurangi konsumsi barang tersebut. Karena sifat permintaannya inelastis maka peningkatan cukai secara signifikan akan menghasilkan peningkatan penerimaan yang cukup besar. Kondisi di atas melatarbelakangi mengapa sampai saat ini produk hasil tembakau masih tetap dikenakan cukai.

Di Indonesia barang yang dikenakan cukai sesuai UU 39 tahun 2007 tentang Cukai, Pasal 2 disebutkan bahwa barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan, dikenai cukai. Obyek cukai hanya dikenakan selama ini terbatas pada 3 produk, yakni produk hasil tembakau, etil alkohol dan minuman mengandung etil alkohol.

Terdapat tiga kriteria untuk system pajak yang optimal (Sandmo, 1976). Pertama, Sebuah sistem pajak yang baik adalah meminimalkan biaya sumber daya yang terlibat dalam menilai, mengumpulkan dan membayar pajak. Hal ini tergantung efisiensi dan perilaku administrasi pajak. Kedua, sistem pajak dapat dievaluasi dalam hal “adil” atau “fair”. Karena konsep keadilan tidak mungkin tepat dalam banyak kasus. Ketiga, sistem pajak harus sejalan dengan kriteria efisiensi ekonomi. Kriteria ketiga juga merupakan titik utama dari awal teori ekonomi optimal perpajakan. Dengan kata lain, pengenaan pajak yang optimal adalah salah satu yang meminimalkan kerugian dead weight loss secara agregat untuk setiap penerimaan pajak tertentu atau tingkat pengeluaran publik. Teori perpajakan yang optimal juga secara bertahap diperluas dengan memperhitungkan pertimbangan distribusi.

Optimalisasi penerimaan cukai sampai saat ini telah dilakukan oleh pemerintah. Dibandingkan dengan penerimaan perpajakan keseluruhan, penerimaan cukai dari tahun 2005 sampai dengan 2012 selalu melampaui target. Hal ini merupakan success story dari penerapan kebijakan cukai yang telah dirumuskan pemerintah dalam kaitannya dengan penerimaan negara.

Padahal pengenaan hanya pada satu jenis barang yakni produk hasil tembakau saja bisa menghasilkan penerimaan negara sebesar Rp. 90,55. triliun pada tahun 2012. Penerimaan ini tidak terlepas dari sistem cukai yang diterapkan. Di dunia ini terdapat tiga sistem cukai. Sistem cukai advalorem dipungut berdasarkan persentase dari harga, sistem spesifik dipungut berdasarkan jumlah barang yang dikonsumsi, sedangkan system hybrid berdasarkan gabungan antar keduanya. Ketika sebelum tahun 2007, pemerintah menerapkan sistem cukai ad valorem, penerimaan cukai mencapai di atas target dengan selisih sekitar 1%.

Kemudian pada tahun 2008 s.d 2009 pemerintah menerapkan sistem hybrid selisih antara target dan penerimaan mencapai sekitar 8%, dan tahun 2010 pemerintah menerapkan system spesifik dimana selisih target dan realisasi mencapai sekitar 11%. Sehingga dengan sistem spesifik realisasi penerimaan jauh melampaui target.

Adapun kenaikan penerimaan cukai ketika penerapan sistem cukai ad valorem rata-rata berkisar 15% per tahun. Sedangkan ketika sistem cukai hybrid diterapkan kenaikan penerimaan cukai rata-rata sekitar 13% per tahun. Namun ketika sistem spesifik diterapkan penerimaan cukai jauh melampaui target, dimana rata-rata peningkatannya mencapai sekitar 18% per tahun. Pencapaian target penerimaan tersebut tak terlepas dari sisi administrasi pemungutan yang sederhana, sistem spesifik memberikan efek positif terhadap pengawasan cukai hasil tembakau. Hal ini dapat terlihat dari semakin menurunnya intensitas kasus-kasus pemalsuan pita cukai maupun pelanggaran yang ditimbulkan dengan adanya disparitas harga jual eceran hasil tembakau. Sistem tariff cukai spesifik secara teoretis akan mengurangi disparitas harga antara harga jual eceran penetapan pemerintah dengan harga transaksi pasar. Adanya disparitas inilah yang menjadi faktor pemicu upaya-upaya pelarian cukai baik yang sifatnya pemalsuan pita cukai, penggunaan pita cukai yang bukan haknya bahkan tanpa pita cukai sama sekali.

Simplifikasi dan Penyesuaian Cukai Spesifik dengan Inflasi
Namun demikian, mengingat system cukai hasil tembakau saat ini adalah sistem cukai spesifik, maka untuk mengoptimalkan penerimaan Negara pemerintah menyesuaikan tarif cukai ini setiap tahun. Karena apabila tarif cukai tidak dikoreksi terhadap inflasi maka beban cukai riil akan mengalami penurunan. Rata-rata kenaikan beban cukai tersebut berbeda-beda tergantung dari golongan, jenis hasil tembakau dan batasan harga jual eceran. Golongan I adalah golongan yang produksinya mencapai diatas 2 milyar batang per tahun, golongan II adalah golongan yang produksinya mencapai antara 500 juta s.d 2 milyar batang per tahun, golongan III adalah golongan yang produksinya kurang dari 500 juta batang per tahun. Klasifikasi golongan II dan III dengan batasan 500 juta batang per tahun ini selanjutnya diturunkan menjadi 400 juta batang per tahun pada tahun 2010, dan menjadi 300 juta batang per tahun pada tahun 2012.

Selain menyesuaikan beban cukai, selama periode 2009-2013 pemerintah juga melakukan simplifikasi tariff spesifik. Pada tahun 2009 masih terdapat 19 layer cukai spesifik, dimana pada golongan I dan II masing-masing jenis hasil tembakau memiliki tiga tarif cukai yang berbeda, hanya pada jenis SKT golongan III saja yang tarifnya sama. Selanjutnya pada tahun 2012 layer tersebut dikurangi sehingga menjadi 15 layer, golongan II SKM yang semula 3 tarif cukai dikurangi hingga menjadi 2, demikian pula jenis SPM yang semula 2 menjadi 1 sejak tahun 2012 dan SKT golongan I yang semula 3 menjadi 2 sejak tahun 2012. Sehingga pada tahun 2013 hanya terdapat 13 layer harga.

Pada periode 2010 sampai dengan 2015, prioritas utama roadmap industri hasil tembakau adalah penerimaan negara. Sehingga pemerintah menggenjot penerimaan negara seoptimal mungkin, optimal dalam arti masih mempertimbangkan konsep teorema Laffer yakni jika tingkat cukai 0%, mengasumsikan bahwa tidak ada kenaikan penerimaan cukai. Namun, pada ekstrim kenaikan tarif cukai 100%, pemerintah secara teoritis mengumpulkan pendapatan nol karena pabrikan rokok mengubah perilaku mereka dalam merespon cukai, dimana mereka tidak memiliki insentif untuk memproduksi atau mereka menemukan cara untuk menghindari pembayaran cukai. Pada tahun 2010 rata rata kenaikan cukai per layer keseluruhan sebesar 15%, pada tahun 2011 sekitar 8%, pada tahun 2012 sekitar 16% dan pada 2013 sekitar 8% sehingga dengan besaran tarif tersebut pemerintah dapat menghasilkan penerimaan cukai yang optimal. Apabila dibuat dalam bentuk grafik dengan rata-rata cukai spesifik dan rata-rata HJE per batasan harga masing-masing golongan seperti pada gambar 1: Pada gambar 1, cukai pada SKM golongan I mengalami kenaikan secara bertahap dimana saat ini hanya terdapat 2 tarif saja.

Sedangkan pada golongan II, cukainya digabung pada tahun 2012. Harga jual minimum SKM per batang yang semula Rp. 374 dinaikan menjadi Rp. 440 pada tahun 2013. Sedangkan pada jenis SPM, kenaikan beban cukai pada golongan 1 terus terjadi dan sejak tahun 2012 tarifnya digabung menjadi satu. Adapun untuk golongan dua, beban cukainya terus mengalami kenaikan dan pada tahun 2013 tarifnya yang semula tiga
direduksi menjadi dua. Harga jual minimum SPM yang paling rendah semula Rp. 217 dinaikan menjadi Rp. 345 pada tahun 2013.

Pada SKT Golongan I yang semula 3 layer digabung menjadi 2 layer, sedangakn pada golongan 3 tidak terjadi perubahan layer, hal ini masih menunjukan adanya perhatian pemerintah atas industri kecil. Memperhatikan adanya inflasi harga maka batasan harga jual minimal (minimum threshold) untuk SKT per batang yang semula adalah Rp. 234, namun pada tahun 2013 harga jual minimal tersebut dinaikan menjadi Rp. 250 per batang.

Upaya pemerintah dalam menyesuaikan tarif cukai dengan inflasi tidaklah berjalan mulus begitu saja. Salah satu asosiasi rokok, Formasi (Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia), melayangkan gugatan ke Mahkamah Agung mengenai kebijakan cukai ini (PMK 167/PMK.011/2011) karena kenaikan cukai pada layer tertentu dianggap melebihi batas 57%.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam UU 39 tahun 2007 pada pasal 5 menyebutkan bahwa barang kena cukai berupa hasil tembakau dikenai cukai berdasarkan tarif paling tinggi 57% dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.

Adanya gugatan ini selanjutnya Mahkamah Agung menerima gugatan uji materil terhadap kebijakan tarif Cukai hasil tembakau. Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan kebijakan baru melalui PMK 179/PMK.011/2012, peraturan ini mengubah batasan layer HJE, dengan menaikan layer HJE maka efektif tarif cukai spesifik yang
diterapkan menjadi di bawah 57%.

Banyaknya layer perbedaan tarif cukai menimbulkan potensi untuk tax avoidance, dimana pabrikan besar membuat anak usaha pabrikan rokok kecil (nglungsungi) guna menghindari cukai yang tinggi. Kondisi ini mengakibatkan persaingan antar pabrikan rokok menjadi tidak fair. Menyadari kondisi demikian maka pemerintah saat ini tengah menggodok peraturan untuk mencegah tindakan nglungsungi tersebut, dimana produsen besar bisa menghindari cukai tinggi dengan cara membuat pabrikan kecil agar cukainya rendah. Trobosan yang dilakukan Pemerintah yakni melakukan penelitian keterkaitan antara pengusaha pabrik pada aspek permodalan, manajemen kunci dan bahan baku.

Tantangan Optimalisasi Cukai ke depan
Ada beberapa tantangan yang harus diantisipasi pemerintah dalam mengejar penerimaan cukai yang optimal di masa mendatang. Hal-hal tersebut antara lain adalah:
– Roadmap industri hasil tembakau
Bahwa periode 2010-2015 merupakan periode dimana penerimaan Negara menjadi ujung tombak dari roadmap ini. Namun pada tahun-tahun mendatang (setelah 2015) arah kebijakan cukai akan menuju ke prioritas kesehatan tentunya memerlukan persiapan yang matang. Terlebih saat ini pemerintah telah menetapkan PP No. 109/ 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Sehingga kemungkinan penerimaan akan turun apabila tariff cukainya tidak disesuaikan. Namun demikian, selama ini kebijakan cukai masih sinergi dengan upaya mengurangi konsumsi produk hasil tembakau, dengan beban cukai tinggi penerimaan cukai juga semakin meningkat.

– Penerapan Pajak Rokok Daerah
Sesuai dengan amanat UU No.28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) bahwa rokok akan dikenai pajak daerah, dalam UU itu disebutkan 10% dari penerimaan cukai akan menjadi penerimaan daerah. Pada saat 1 Januari 2014 undang-undang mengenai pajak rokok tersebut mulai diberlakukan, pengenaan Pajak Rokok sebesar 10% dari cukai rokok diperhitungkan dalam penetapan tariff cukai nasional. Hal ini dimaksudkan agar terdapat keseimbangan antara beban cukai yang harus dipikul oleh industri rokok dengan kebutuhan fiskal nasional dan daerah. Penerapan pajak rokok ini tentunya berimplikasi kepada target penerimaan cukai pemerintah pusat selama ini.

Di dalam penjelasan UU tersebut diilustrasikan sebagai berikut, ketika tahun 2011 penerimaan cukai nasional sebesar 100, dan diproyeksikan meningkat 10% setiap tahunnya sesuai dengan roadmap industri rokok nasional. Tanpa adanya pengenaan pajak rokok oleh daerah, penerimaan cukai nasional tahun 2012 menjadi 110, kemudian meningkat menjadi 121 di tahun 2013. Namun pada tahun 2014, saat mulai diberlakukannya pajak rokok, penerimaan cukai nasional diproyeksikan sebesar 133, yang terdiri dari 121 sebagai penerimaan cukai Pemerintah dan 12 sebagai pajak rokok untuk daerah. Pola ini berlanjut untuk tahun 2015 dan seterusnya.

– Modernisasi administrasi pungutan cukai.

Modernisasi administrasi cukai terus menerus dilakukan oleh DJBC. Modernisasi administrasi ini menjadi sangat penting dalam upaya mengoptimalisasikan penerimaan cukai. Dengan jumlah pegawai yang sangat sedikit dibandingkan jumlah pegawai yang berurusan dengan pabean, sampai saat ini DJBC mampu mengelola penerimaan cukai
tersebut dengan baik. Antisipasi kebijakan kenaikan cukai tentunya perlu didukung dengan kesiapan teknologi yang memadai. Arah otomatisasi ini perlu diperluas dengan adanya sistem trace and track, pengamanan dan monitoring pita cukai dimana peredarannya dapat terlacak secara real time.

Kesimpulan
Dengan adanya sistem cukai spesifik, pemerintah mengoptimalkan penerimaan cukai dengan menyederhanakan struktur dan menyesuaikan tarif cukai yang baru sesuai dengan inflasi. Kebijakan tariff cukai dalam beberapa tahun terakhir ini merupakan success story bagi penerimaan negara. Betapa tidak, karena realisasi penerimaan cukai selalu melampaui target. Tercapainya target tidak terlepas dari sinergi antara tax planning, tax policy dan administrasi pemungutan. Terlebih ketika system cukai spesifik diterapkan, rata-rata realisasi penerimaan melampaui target di atas 10%. Target penerimaan yang terus tercapai sejalan dengan roadmap industri hasil tembakau pada periode 2010-2015 dimana penerimaan negara menjadi prioritas utamanya.
Akan tetapi dari sisi pembatasan konsumsi, tujuan ini masih belum optimal mengingat konsumsi rokok terus mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan konsumsi ini terjadi karena tingkat affordabilitas pembelian rokok masih terjangkau. Hal ini akan menjadi tugas pemerintah, dimana pada periode salanjutnya aspek kesehatan yang menjadi prioritas utama, sebagaimana tertuang dalam roadmap industri hasil tembakau.

Upaya Optimalisasi Penerimaan Cukai Produk Hasil Tembakau